Presiden Melarang Ekspor Batu Bara, Tapi Menteri Memperbolehkan

Presiden Melarang Ekspor Batu Bara, Tapi Menteri Memperbolehkan Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Kebijakan Presiden Jokowi melarang ekspor dianggap sikap tegas. Tapi bagaimana dengan sikap menteri yang kemudian memperbolehkan ekspor? 

Simak tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com hari ini, Jumat (14/1/2022). Selamat membaca:

PRESIDEN melarang ekspor – tepatnya sebenarnya oleh dirjen Minerba. Menteri membolehkannya –seminggu kemudian.

Pihak yang mendukung dan yang oposisi punya analisisnya sendiri-sendiri. Medsos sudah membahas dua-duanya.

Itu menunjukkan Presiden Jokowi tidak ragu-ragu menjatuhkan hukuman drastis secara mendadak. Tapi presiden juga realistis: silakan menterinya mencabut larangan itu bila mana tujuan pokok hukuman sudah tercapai.

Yang oposisi menilai: itu memalukan (keputusan presiden dianulir menteri), tidak ada harga diri (berlawanan dengan ajaran Jawa: idu geni), mudah terpengaruh (setelah ditekan negara lain), dan sebangsa itu.

Saya mendengarkan dua-duanya. Diskusi yang sangat menarik. Sikap saya sendiri jelas –mirip yang kemudian menjadi sikap Dewan Energi Nasional: sebanyak-banyaknya harus untuk menghasilkan energi murah di dalam negeri –demi mendapatkan keunggulan dalam persaingan industri.

Pemerintah sebenarnya juga sudah mengakomodasikan itu: lewat DMO (domestic market obligation). Para pemegang izin harus menyisihkan 25 persen nya untuk diabdikan bagi kepentingan dalam negeri.

Aturan DMO itu sudah berlaku lama sekali. Sejak zaman Presiden SBY. Presiden Jokowi lantas menyempurnakannya.

Di zaman Pak SBY, yang penting ada alokasi untuk dalam negeri: sebanyak 25 persen dari total produksi masing-masing pemegang izin. Aturan itu tidak mencampuri urusan harga: itu business to business.

Di tahun 2017, Pak Jokowi tidak hanya mengatur persentase: harga DMO itu dipatok. Yakni USD 70/ton –berdasar kualitas 6.322. Ada rumus harga berikutnya: kalau kualitas di atas itu. Atau di bawahnya.

Penetapan harga DMO itu sebenarnya masih tetap menguntungkan pemilik tambang. Ada hitungan rasionalnya. Sangat rinci: cost plus plus plus.

Yakni seluruh biaya menambang sudah dimasukkan. Masih ditambah biaya bunga. Lalu ditambah biaya jasa. Ditambah pula keuntungan untuk pemilik tambang. Jadilah USD 70/ton.

Tapi tetap saja banyak yang tidak mau memenuhi kewajiban DMO. Lebih banyak dari yang taat. Dari 600 lebih penambang, kurang dari 50 yang taat DMO.

Sampai-sampai mengalami krisis . Sampai-sampai harus menggunakan LNG yang mahal.

Heboh.

Para penambang pilih menggenjot ekspor habis-habisan. Sampai melebihi 500 juta ton setahun. Di tahun kemarin. All out. Habis-habisan. Seolah itu tidak akan pernah habis.

Harga ekspor memang lagi gila-gilaan: naik dari USD 80 menjadi USD 250/ton. Sekarang harga itu memang sudah turun. Tapi hanya sedikit. Masih di angka USD 170. Masih selisih USD 100 di atas harga DMO.

Sebenarnya penetapan harga USD 70 itu sangat membantu –yang tarif listriknya tidak bisa naik-turun mengikuti fluktuasi harga . Tapi selisih USD 100 itu menjadi Rp 1,5 triliun untuk setiap 1 juta ton. Mata Anak Alay pun akan berubah menjadi bang-jo melihatnya.

Maka muncullah ide baru dari pemerintah: membentuk BLU –badan layanan umum. Yakni seperti perusahaan tapi bukan BUMN. Atau seperti lembaga pemerintah tapi di luar APBN.

Berarti kementerian ESDM yang akan mendirikan BLU itu. Anda bisa mengusulkan nama nya: misalnya, Rezeki Denbey.

Pemerintah tidak mau tahu lagi: seluruh pemilik tambang harus menyerahkan 25 persen produk mereka ke BLU.

Berarti BLU akan punya stok dalam jumlah puluhan atau ratusan juta ton.

Mungkin BLU akan membangun stok pile –gudang terbuka yang mahaluas. Berarti, BLU juga harus membangun pelabuhan besar. Ini menyangkut biaya triliunan rupiah.

Atau BLU menyewa saja fasilitas seperti itu. Baik di lokasi milik penambang sendiri atau di gudang-gudang milik . Atau milik siapa pun.

Saya harus akui ide BLU itu bagus –kalau dilaksanakan sejak 15 tahun lalu. Fasilitas itu bisa sekaligus untuk blending . Batu bara yang sangat baik dicampur dengan yang kurang baik: menghasilkan baik. Juga yang punya standar mutu yang konsisten.

Sekali lagi investasinya sangat besar: termasuk mesin-mesin blender raksasa.

Berarti BLU mendapat itu dengan harga beli USD 70. Lalu BLU-lah yang menjual ke . Dengan demikian tidak perlu lagi punya anak usaha . Juga tidak perlu lagi ada divisi pembelian .

Kalau memegang angka tahun lalu, jumlah produksi Indonesia 600 juta ton. Kalau DMO-nya 25 persen berarti BLU akan menerima 150 juta ton.

hanya memerlukan sekitar 125 juta ton. Berarti BLU bisa mengekspor selebihnya: 25 juta ton. Dengan harga internasional.

Maka BLU akan mendapat laba luar biasa besar: sekitar Rp 40 triliun setahun. Kalau harga tetap seperti sekarang. Duh besarnya. Hahaha SWF bisa tiba-tiba memutar uang itu untuk proyek apa saja –asal jangan kereta cepat Jakarta-Bandung.

Tentu ada harapan baru: untuk tol Sumatera dan Kalimantan. Lewat SWF. Dari sini dana itu bisa diabdikan kembali ke daerah penghasil .

Krisis di ternyata bisa menghasilkan ide brilian untuk membangun jalan tol di mana-mana. (Dahlan Iskan)


Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Artikel Berjudul Jantung Babi

Sadewa

Kelihatan nya aturan yg baik, namun itu juga taktik Si Bos, agar tidak membayarkan tunjangan kesehatan ke sebagian besar karyawannya. Apalagi karyawan media, mereka butuh inspirasi. Inspirasi butuh rokok. Jadi menurut saya, itu akal-akalan Abah untuk penghematan di Perusahaannya. hehehe...

Udin Salemo

Saya setuju dengan cara Abah Dis waktu di JP dulu itu: semua mendapat tunjangan kesehatan kecuali yang merokok. Tapi saya tak akan seketat itu. Kalau saya jadi boss, bagi perokok saya hanya akan berikan tunjangan kesehatan sebesar 25% dari mereka yang tidak merokok. Saya pikir itu juga sudah bagus. Sederhana saja jawabannya kalau ada yang protes. "Anda sendiri aja gak peduli akan kesehatan anda dengan mengkonsumsi rokok. Saya pimpinan Anda masih peduli dengan kesehatan koen, memberikan tunjangan kesehatan." Jadi pimpinan kan punya power, punya kekuasaan untuk menentukan kebijakan perusahaan.

Edi Siswanto

" Semua karyawan dapat tunjangan, kecuali yang perokok",.... besoknya iklan rokok 1 halaman penuh. hasilnya buat tunjangan karyawan

donwori

pernah ga sengaja makan mie yg mengandung daging babi, krn sikon yg ga mendukung jg waktu itu di tempat yg susah cari makanan halal jadi asal pilih aja. ternyata rasanya ga seenak yg dibayangkan. tapi sadarnya pas seporsi udah habis ... lain kali mau nyoba ga sengaja makan bipang, kira2 rasanya sama atau malah kremes2 ala kaepci gitu yak ...

Juve Zhang

Agama yang mengharamkan makan babi itu diantaranya Islam, Yahudi, Advent. Dll cukup banyak yg melarang umatnya makan Babi.bisa dilihat di Google. Bahkan yg Yahudi dan Advent lebih banyak yg gak boleh dimakan seperti cumi, kerang, dll sepertinya mereka hanya makan ikan ,sapi,ayam . saja.

Johan

Sebagai salah satu peradaban paling awal di muka bumi, timur tengah memiliki kebudayaan dan standar moral yang tinggi. Produk agama samawi sebagai contoh nya. Saya jadi berpikir, mungkin tidak, asal mula daging babi di haram kan, karena wujud jelek dan kebiasaan yang jorok, rasa daging nya juga mirip dengan daging manusia. Manusia zaman kuno tentu berpengalaman mencicipi kedua jenis daging ini, kemudian diperbandingkan, kok enaknya sama, tekstur kurang lebih, gurih, uenak. Seiring berjalannya waktu, makan daging manusia mulai ditinggalkan, karena perkembangan moral manusia disana, kemudian tiba giliran daging babi, sesuai alasan yang disebutkan di atas. Maka dibuatlah aturan, dengan bantuan alasan dilarang oleh mahluk gaib yang disembah, karena babi hewan yang begini begitu, ma ka jadilah awal daging babi di haram kan. Hanya pikiran liar saja, jangan dianggap serius. :)

Lihat juga video 'Emak-emak di Surabaya Kecewa Tak Bisa Foto Bareng Jokowi':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO