Oleh: Mukhlas Syarkun --- Entah apa yang ada dalam benak di kalangan kelompok takfiri (Salafi-Wahabi) yang telah menggunakan berbagai cara untuk memalsukan ta'bir kitab kitab mu'tabar.
Kini ada modus baru, yaitu menggunakan potongan ta'bir kitab Mu'tabar lalu dikomentari. Mereka membuat opini seolah-olah amalan-amalan yang diamalkan masyarakat Islam di Nusantara adalah bid'ah munkarot.
Baca Juga: Pertama di Indonesia, Pentas Wayang Perjuangan Hadratussyaikh, Dalang Ki Cahyo Kuntadi Riset Dulu
Dalam sepekan ini saja kami mendapat kiriman dua potongan video narasi yang sama. Yaitu menyerang amalan masyarakat di Nusantara dengan menggunakan kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan masyarakat Islam Nusantara pada umumnya, khususnya warga NU.
Pertama, potongan video seseorang yang begitu bersemangat menyerang amalan masyarakat Nusantara, khususnya amalan tahlilan dengan menggunakan ta'bir kitab Fathul Mu'in. Lalu dikomentari bahwa kitab Fathul Mu'in ini kitab rujukan hampir semua pesantren, tapi mengapa tidak diikuti. Demikian opini yang dihembuskan.
Padahal ta'bir yang dibaca (dimaksud) adalah mengenai niyaha atau tradisi meratap kematian yang lazim dilakukan wanita jahiliyah. Juga tradisi masyarakat tentu yang melakukan niyaha berjamaah (meratap massal).
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Tradisi itu kemudian dihapus oleh nabi dengan konsep ta'ziyah berdoa, dan sholat janazah.
Kedua, video seseorang yang mengklaim pengurus Ansor. Ia membaca nukilan dari kitab karya Kiai Sholeh Darat, seorang ulama yang menjadi Guru KH. Ahmad Dahlan dan Hadratussyaikh KHM Hasyim Asyari.
Dia mengomentari yang intinya kiyai Sholeh Darat menilai bahwa amalan selametan 3 dan 7 hari adalah bid'ah munkarot.
Baca Juga: Dalang Cilik Sebagai Dai Kamtibmas Raih Apresiasi Polres Ngawi
Padahal narasi Kiai Sholah Darat yang dituangkan dalam kitab tersebut obyek pembahasan adalah hukum tentang penggunaan tirkah atau harta waris (yang salah sasaran), termasuk jika digunakan pada acara kenduri 3 atau 7 hari kematian (yang lazim) itu adalah bid'ah munkarot.
Memang demikian dalam kajiah fiqih mawarist, harta tirkah harus dibagi yang berhak. Apalagi ada yatimnya. Jangankan untuk acara 3 atau 7 hari, seandainya disumbangkan ke masjid juga hukumnya haram (bid'ah munkarot)
Penyesatan ta'bir kitab ini juga sering kita jumpai termasuk nukilan ta'bir dalam kitab um karya iman Syafi'i yang mengadakan math'am dalam sekitar acara kematian hukumnya haram.
Baca Juga: Benarkah Merayakan HUT Kemerdekaan RI Bid'ah dan Haram?
Ta'bir ini digunakan menyerang amalan tahlilan yang lazimnya ada suguhan dan berkat adalah sebagai amalan yang dilarang.
Padahal dua hal yang berbeda math'am. Yang dimaksud oleh Imam Syafi'i adalah semacam pesta pora, sementara acara tahlilan adalah mendoakan. Makanan yang disugukan adalah sedekah dan juga ikramul dhuyuf ( menghormat tamu)
Perlu dipahami, acara tahlilan dan selametan adalah formulasi sunnah nabi untuk menggeser tradisi niyaha (meratap) dan math'am (pesta pora), diganti dengan doa dan sedekah.
Baca Juga: Bersih Desa Urek-Urek Tanggap Wayang Kulit, Bupati Malang Apresiasi Pemdes Pertahankan Tradisi
Bukankah doa dan sedekah adalah sunnah Nabi !!
Mukhlas Syarkun adalah Redaktur Majalah Risalah PBNU ( 2006 -2015). Kini Wakil ketua JATMI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News