Oleh: M Mas’ud Adnan --- Apa judul itu tidak salah? Bukankah pemerintahan Jokowi antitesis pemerintahan Orde Baru yang presidennya Soeharto? Bukankah Jokowi kader PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri? Bukankah Megawati Soekarnoputri anti Soeharto karena Bung Karno didzalimi secara politik, bahkan dikarantina secara fisik?
Tidak! Tidak salah. Judul itu benar. Pemerintahan Jokowi memang telah membangkitkan kecintaan pada Soeharto. Diakui atau tidak. Disadari atau tidak. Ingin bukti?
Baca Juga: Alasan PDIP Pecat Jokowi dan Kelucuan Pidato Gibran Para-Para Kiai
Anda tentu masih ingat ketika patung diorama G30S PKI dan patung Pahlawan Revolusi di Markas Kostrad tiba-tiba dibongkar. Saat itu mantan Panglima TNI (Purn) Jenderal Gatot Normantyo mempersoalkan. Sebagai petinggi TNI tentu ia sangat paham. Apa yang sedang terjadi.
Anda boleh berbeda paradigma politik dengan Gatot. Atau bahkan beda pilihan politik. Tapi menyangkut TNI tentu beda masalahnya. TNI adalah institusi yang harus dijaga marwah dan independensinya.
Hanya saja Jenderal Gatot memiliki kecurigaan politik. Mengaitkan dengan fenomena munculnya gerakan PKI, partai yang pernah membantai kiai dan jenderal.
Baca Juga: Kedudukan Pers Sangat Tinggi dalam Undang-Undang, Wartawan Harus jaga Marwah Pers
Yang pasti, tak lama berselang Kepala Penerangan Kostrad Kolonel Inf Haryantana menjelaskan bahwa pembongkaran patung itu permintaan Letjen TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution selaku pemilik ide.
"Letnan Jenderal TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution meminta untuk patung-patung yang telah dibuatnya untuk dibongkar demi ketenangan lahir dan batin, sehingga pihak Kostrad mempersilakan," kata Haryantana dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/9/2021).
Selesai? Seharusnya begitu. Bukankah alasan Haryatana sangat masuk akal. Untuk apa dipersoalkan, lha wong yang punya ide sudah minta dibongkar.
Baca Juga: Sidang Restitusi, Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Tuntut Rp17,5 M dan Tagih Janji Presiden
Apalagi alasannya sangat mendasar. Demi ketenangan lahir dan batin. Siapa yang tak ingin tenang lahir batin? Bukankah hanya orang sinting yang tak ingin tenang lahir batin?
Tapi ingat! Nurani publik tak bisa ditutup dengan logika. Maksudnya? Logika bisa dibuat dan direkayasa sesuai kecerdasan akal manusia. Tapi nurani selalu jujur, tak bisa diatur. Tak kenal kompromi.
Maka mata batin publik melihat. Ternyata dalam deretan patung para jenderal yang dibongkar itu ada patung Jenderal Soeharto. Nah. Mata batin publik pun mulai curiga. Jangan-jangan ini sasarannya: Soeharto. Itulah yang kini diistilahkan De-Soehartoisasi.
Baca Juga: Rocky Gerung Ajak Pemuda di Surabaya Kritis Memilih Pemimpin
Saya sebagai insan pers termasuk orang yang sangat bersuka cita ketika Soeharto dilengserkan oleh gerakan mahasiswa pada 1998. Sebagai wartawan saya merasakan betapa pengapnya alam demokrasi saat Soeharto berkuasa. Jadi saya pun anti kediktatoran Soeharto!
Karena itu saya yakin - bahkan haqqul yaqin - Soeharto tak akan mendapat simpati publik sampai 50 tahun kedepan. Bahkan 100 tahun kedepan. Bahkan sampai kapanpun. Terlalu banyak dosa-dosa Soeharto pada negeri ini, meski harus diakui banyak juga jasanya. Meminjam istilah Gus Dur, Soeharto itu banyak jasanya, tapi juga banyak dosanya.
Ada juga alasan lain, kenapa saya yakin Soeharto tak akan mendapat simpati publik. Presiden Orde Baru yang berkuasa 32 tahun itu berbeda secara diametral dengan Soekarno. Bung Karno sangat fenomenal. Bung Karno seorang intelektual sekaligus orator yang memukau massa. Banyak sekali warisan pemikirannya yang cemerlang sehingga tetap relevan dengan Indonesia masa depan.
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Bung Karno sama dengan Gus Dur. Memiliki kapasitas dan kecerdasan intelektual luar biasa. Maka jangan heran jika pemikirannya banyak dikutip dan dijadikan jargon memukau. Bahkan muncul komunitas Gusdurian dan Soekarnoisme. Hingga sekarang!
Soeharto? Beda sekali. Soeharto seorang maniak kekuasaan. Bukan intelektual. Ada yang menyebut Soeharto ahli strategi. Memang. Tapi ia sangat otoriter, represif, hegemonik, oligarkis dan tentu saja kontra demokrasi. Apalagi ia berlatar belakang militer yang menganut sistem komando.
Karena itu saya yakin Soeharto tak akan mendapat simpati publik. Setidaknya dalam 50 tahun bahkan 100 tahun kedepan. Bahkan selamanya. Terutama karena ia tak punya warisan pemikiran cemerlang seperti Gus Dur dan Bung Karno.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Tapi mencermati politik pemerintahan Jokowi yang cenderung melakukan De-Soerhatoisasi, saya justeru was-was. Jangan-jangan Soeharto segera mendapat simpati publik kembali. Sehingga terjadi apa yang sekarang diistilahkan dengan Re-Soehartoisasi.
Dan tampaknya fenomena inilah yang sedang terjadi. Ironisnya, pemerintahan Jokowi berwajah ganda. Pada satu sisi ditengarai melakukan politik De-Soehartoisasi. Tapi pada sisi lain justru meniru cara-cara berpolitik Soeharto. Terutama dalam upaya memperpanjang usia kekuasaan. Setidaknya, inilah yang dilakukan orang-orang di sekeliling Jokowi.
Kita semua tahu, Soeharto adalah rejim yang sangat kuat. Tapi otoriter dan represif. Ia membungkam pers. Ia bahkan mempermainkan opini dengan memanfaatkan intelektual tukang (meminjam istilah Gus Dur). Itulah kenapa saya sebagai wartawan sangat merasakan sumpeknya demokrasi saat Soeharto berkuasa.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Gilanya, kini ada buzzer dan influencer. Hasil penelitian Center for Media and Democrazy Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menunjukkan bahwa para buzzer dan influenzer itu adalah “kaki tangan” politikus yang selama ini telah berhasil “memanipulasi opini publik”.
Di antaranya dalam kasus revisi UU KPK. Mereka menciptakan tagar #KPKdanTaliban. Tujuannya untuk memberikan citra buruk bahwa di dalam KPK ada ekstremis dan radikalis. Citra buruk itu sengaja mereka cipta agar dalam jajak pendapat mereka bisa unggul.
Salah satu kepiawaian politik Soeharto adalah menjinakkan para politisi. Terutama para pimpinan parpol. Pada era Soeharto parpol dibonsai menjadi tiga kekuatan politik. Golkar, PDI dan PPP. Golkar bahkan tak disebut sebagai partai. Tapi golongan karya.
Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran
Golkar adalah partai pemerintah. Otomatis menjadi penyangga utama kekuasaan Soeharto. Tapi, PDI dan PPP justru lebih Golkar daripada Golkar. Terutama saat PPP dipimpin oleh J Naro dan Ismail Hasan Metareum. Banyak tokoh-tokoh PPP yang kritis dan vokal disingkirkan. Kebetulan tokoh-tokoh vokal saat itu berasal dari NU. Diantaranya KH M Yusuf Hasyim, pengasuh Pesantren Tebuireng.
Para ketua umum parpol Orde Baru hampir seratus persen terkooptasi Soeharto. Mereka lebih suka menikmati kekuasaan dengan cara menjadi “pelayan politik” Soeharto yang hegemonik ketimbang berpikir cerdas untuk berkhidmat pada rakyat atau umat.
Sialnya, kini kita menyaksikan indikator politik yang nyaris sama. Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Ketua Umum PAN Zulkifili Hasan, dan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, kompak mengusulkan penundaan pemilu. Pengusul awal Cak Imin. Lalu diikuti Zulhas – panggilan Zulkifli Hasan dan Airlangga.
Banyak sekali tokoh nasional yang mencibir. Mereka menganggap usul itu sebagai politik “cari muka”. Tapi mereka jalan terus. Padahal Jokowi sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas dan vulgar. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan bahwa usul masa jabatan presiden tiga periode justru menjerumuskan dirinya. Menurut dia, orang yang mengusulkan dirinya menjabat tiga periode itu hanya orang cari muka pada dirinya.
"Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode, itu ada tiga. Ingin menampar muka saya, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Ketiga, ingin menjerumuskan. Itu saja, sudah saya sampaikan," kata Jokowi dalam video yang beredar luas.
Tapi – seperti kita cermati - dalam politik fundamental - terutama untuk kepentingan demokrasi - Jokowi sering tak konsisten dengan pernyataannya. Karena itu masih kita tunggu realitasnya.
Manuver politik Cak Imin, Zulhas dan Airlangga persis gerakan politik Orde Baru, era Soeharto. Rubrik Jati Diri Jawa Pos (8/3/2022) menulis, pada politik Orde Baru ada istilah “kebulatan tekad”. Para elit politik Orde Baru saat itu membual bahwa rakyat masih sangat mencintai Soeharto.
Saya masih ingat. Salah satu tokoh politiknya adalah Harmoko. Mantan menteri penerangan itu mengaku sudah berkeling Indonesia. Hasilnya, menurut dia, rakyat ingin Pak Harto memimpin Indonesia lima tahun lagi.
Untuk memperkuat kesan publik, para politisi Orde Baru itu mengumpulkan tokoh masyarakat, termasuk para kiai. Para tokoh itulah yang kemudian memdeklarasikan “kebulatan tekad” mendukung Soeharto dengan alasan rakyat masih membutuhkan.
Namun – seperti kita saksikan – Soeharto tumbang karena ulah para politisi penjilat itu. Soeharto yang dikenal sebagai tokoh politik sangat hati-hati dan penuh perhitungan dalam mengambil keputusan justru gagal memahami eksistensi dirinya. Akibatnya, ia terjungkal oleh gerakan massa, terutama para mahasiswa. Soeharto alpa bahwa rakyat sudah muak sehingga harus lengser secara tidak terhormat. Soeharto pun mengakhiri kepemimpinannya dengan suul khotimah (berakhir jelek).
Lebih ironis lagi, Harmoko yang semula getol mendukung Soeharto jadi presiden lagi, dua bulan kemudian justru minta Soeharto lengser karena tekanan mahasiswa. Saat itu Harmoko menjabat Ketua DPR/MPR RI.
Kini kita juga menyaksikan fenomena politik lain. Yaitu tentang indikator De-Soehartoisasi. Ini bisa kita lihat pada keputusan Presiden Jokowi yang menetapkan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara tanpa menyebut Soeharto sebagai tokoh sentral. Kepres Presiden Jokowi itu justru memasang Presiden Soekarno dan PM Hatta sebagai tokoh penggagas , disamping Panglima Besar Soedirman dan Sri Sulta Hamengkubuwono IX sebagai kepala daerah Jogjakarta, yang waktu itu menjadi ibu kota negara dan diduduki tentara Belanda (Pradipto Niwandhono, Jawa Pos (8/3/2022).
Keputusan sejarah memang sering identik dengan penguasa. Itu juga yang dilakukan Soeharto ketika berkuasa. Semua peran dan jejak Bung Karno dihabisi. Terjadilah De-Soekarnoisasi besar-besaran. Tapi mata batin bangsa tak bisa dikelabuhi. Publik justru penasaran. Konsekuensinya, semua yang bernuansa Soekarno diburu. Terutama buku-buku tentang Bung Karno.
Bahkan munculnya Megawati sebagai tokoh nasional tak lepas dari pendzalimam politik atau “politik aniaya” Soeharto terhadap Bung Karno. Kharisma Mega – diakui atau tidak – karena faktor Bung Karno yang didzalimi Soeharto.
Demikianlah, jika pemerintahan Jokowi melakukan De-Soerhartoisasi, maka sama saja dengan membangkitkan kecintaan pada Soeharto. Ingat, generasi kita– terutama milenial - tak pernah mengalami represivitas politik Soeharto saat berkuasa. Sehingga mereka bisa saja langsung simpati ketika menyaksikan pengusa melakukan pendzaliman politik terhadap Soeharto.
Itulah yang disebut efek tak terkontrol. Niatnya menghabisi peran dan jejak serta simpati publik pada Soeharto, namun yang terjadi sebaliknya. Publik justru simpati terhadap penguasa Orba yang sangat otoriter dan represif itu karena terkesan terdzalimi. Wallahu’alam bisshawab.
M Mas’ud Adnan, alumnus Pascasarjana Unair dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News