Inilah Manfaat Besar Tobat pada Bulan Ramadan

Inilah Manfaat Besar Tobat pada Bulan Ramadan Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA. Foto: bangsaonline.com

Oleh: Prof Dr KH Imam Ghazali Said, MA --- Tobat dan memohon ampun pada Allah adalah dua kata kunci ketika kita memasuki bulan suci Ramadan. Kesalahan dan baik itu besar atau kecil telah kita lakukan sejak Syawal tahun lalu, kini kita ketemu lagi dengan Ramadan, al-hamdulillah. Tobat yang substansinya bermakna: “sekali kembali pada Allah, maka akan terus berada di sisi-Nya, dan tak akan pernah berpaling dan lari dari Allah. Realitanya, kita biasa bersikap “Tomat” (sakiki , esuk kumat).

Karena itu, kita harus selalu mengulangi dan memperbaharui itu. Tobat adalah tekad hati untuk kembali ke ajaran dan petunjuk Alah. Istighfar adalah praktik dan teknis kembali pada Allah itu dengan ibadah, minta ampun dan janji untuk tidak mengulangi kesalahan dan gelimang yang pernah dilakukan.

Baca Juga: Pro-Kontra Tesis Kiai Imaduddin Soal Nasab Ba'Alawi

Marilah kita merujuk pada Hadits Nabi laporan sahabat Abu Musa al-Asy’ari, r.a yang menyatakan :”Rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut beberapa nama beliau sendiri pada kami, yang sebagian kami hafal. Beliau bersabda: aku ini bernama Muhammad, Ahmad, al- Muqaffi, Pengumpul (al-Hasyir), nabiy al-Rahmah, nabiy al-Taubah dan nabiy al-Malhamah” ( Shahih Muslim no: 2355).

Pada kesempatan ini kami hanya membahas nama beliau : “nabi yang selalu ber” Apa nabi pernah salah dan berbuat ? Tentu bukan itu maksudnya ! Nabi itu terjaga dari berbuat (ma’sum) tak mungkin, beliau salah dan berbuat .

Sahabat Abu Hurairah r.a berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah sungguh aku selalu mohon ampun pada Allah dan ber kepada-Nya dalam satu hari lebih 70 kali permohonan ampun” (Shahih al-Bukhari no: 6307).

Baca Juga: Catatan Nasab Domain Private, Bukan Konsumsi Publik

Sahabat Al-Aghar bin Yasar r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia berlah kalian pada Allah dan mintalah ampun pada-Nya, sungguh aku ber, sekaligus meminta ampun pada-Nya seratus kali dalam satu hari”. ( Shahih Muslim, no: 2702).

Dari tiga hadis sahih di atas dapat kita pahami, bahwa Rasulullah itu sepanjang hidup selalu 0 dalam suasana peran yang sungguh-sungguh. Tobat, bukan karena beliau ber. Tetapi sebuah “ istimewa” yang bertujuan ibadah formal ( al-‘ibadah) dan ibadah substansial (al-‘ubudiyah) sekaligus. Suatu motivasi agar beliau mencapai tingkat kedudukan (maqam) tertinggi, yaitu meraih cinta Allah. Suatu tingkat kebahagiaan tertinggi yang hanya bisa dicapai oleh seorang hamba pilihan dalam proses “perjalanan” menuju Allah.

Kita renungi dengan penuh rasa firman Allah: “ Sungguh Allah itu mencintai hamba-hamba yang suka ber dan selalu menyucikan diri”. (Qs. Al-Baqarah: 2: 222). Jadi, dilakukan, tidak hanya karena seseorang itu berbuat salah atau , tetapi itu adalah salah satu bentuk ibadah dan ubudiyah. Dengan demikian, tak seorang-pun umat Muhamad yang merasa tidak perlu dan tak butuh . Masing-masing mereka -dalam proses menuju Allah- harus melewati pintu

Baca Juga: Sebelum Masuki Bulan Suci Ramadan, Inilah Empat Rukun yang Perlu Dilakukan

Peran Manusia.

Kita, sebagai manusia biasa, tak memiliki atribut maqam wali maupun nabi, tentu hidup penuh dengan salah dan . Ada yang merasa tak pernah salah dan ? Jika ada, itulah kesalahan besarnya. Merasa tidak bersalah, itu bersalah, itu . Sebab semua manusia di jaga raya ini tidak ada yang terus menerus berbuat baik. Sebaik-sebaik manusia pasti pernah berbuat salah dan . Karena itu adalah jalan keluar untuk membersihkan itu.

Sebaliknya, sejahat-jahat manusia pasti pernah berbuat baik. Karena itu mereka tidak boleh putus asa. Allah selalu membuka -Nya. Rasa bersalah dan keinginan kuat untuk ber biasanya muncul ketika seseorang berpuasa di bulan Ramadan.

Baca Juga: Bagaimana Hukum Mintakan Ampun Dosa dan Nyekar Makam Orang Tua Non-Muslim?

Bersih kotornya manusia tergantung pada kondisi “hatinya” (qalbu). Hanya hati bersih yang bisa “nyambung” (wushul) dengan Allah. Hakikatnya, secara alami hati manusia itu baik dan bersih. Perbuatan dan salah yang membuat hati menjadi itu gelap dan kotor. Kotor dan gelap hati inilah yang menghalangi ketersambungannya dengan Allah. Ibaratnya, hati itu kaca, maka debu yang menempel di kaca itu adalah nya. Semakin tebal debunya, maka semakin gelap kaca itu. Kilauan dan kacanya macet bahkan mati. Jika kaca sudah gelap, maka kemampuan untuk melihat “bayangan sang kekasih” juga semakin gelap dan sulit. Aksi pembersihan kaca, itulah nya.

Mengingat -secara alami- debu itu akan datang dan menempel di kaca setiap hari, maka pembersihan dengan juga harus dilakukan tiap hari. Jika tidak bisa, dilakukan tiap minggu bulan dan tahun. Nabi yang tak ber saja melakukan aksi pembersihan dan peran tiap hari. Kita ber tiap hari, minggu, bulan dan tahun ? Mungkin, kita melakukan tiap hari, minggu dan bulan, sesuai tingkat kesalahan yang kita perbuat. Tapi, pada suasana bulan suci Ramadan ini kita intensifkan peran kita. Jika ini kita lakukan, maka koneksitas kita dengan Allah akan bisa kita rasakan. Jika itu yang terjadi, maka itulah kebahagiaan sejati. Suatu kebahagiaan “luberan cinta” sangat indah yang tak akan mampu diungkap dengan rangkaian kata. Semoga kita bisa mengalami dan merasakannya !

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beberapa riwayat Hadits yang kemudian direkonstruksi dalam beberapa kitab sirah; mengalami pembelahan dada dan pembersihan hati tiga kali. Pertama, ketika nabi masih balita. Dua malaikat membelah dada beliau untuk menggusur “kandang setan” yang berada di satu titik di hati beliau.

Baca Juga: Dialog Tuhan Satu dan Tuhan Banyak, Tafsir Al-Quran Aktual HARIAN BANGSA

Kemudian titik bekas “kandang” tersebut diisi dengan ketenangan (sakinah). Karena itu, Rasul selalu tenang dalam menghadapi aneka persoalan dan keruwetan duniawi. Sikap tenang beliau itulah yang membuat kebijakannya “diterima” oleh kawan dan lawan. Muatan sakinah di hati ini terus diperkuat dengan 70 bahkan 100 kali dalam satu hari.

Sedang bagi manusia biasa seperti kita, kandang dan setan yang betah tinggal di kandang tersebut, dapat “diusir” sampai bersih dengan cara aksi yang sepenuh hati ( tawbatan nashuhan) dalam bentuk memperkuat solidaritas sosial dan ibadah formal (al-‘ibadah) serta berusaha maksimal untuk meningkatkan ibadah yang bersifat substansial (al-‘ubudiyah). Jika aksi dengan teknis seperti dilakukan oleh nabi, niscaya hati manusia tersebut, akan mendapat “luberan ketenangan”(fuyudh al-sakinah). Luberan ketenangan tersebut akan terpantul dalam tutur kata, sikap hidup dan perilaku sehari-harinya yang memberi manfaat pada manusia yang menjadi tetangga dan manusia yang berhubungan dengannya.

Kedua, Rasulullah mengalami pembedahan dada dan pembersihan hati saat beliau berusia remaja, sekitar (15-17) tahun. Aksi pembersihan tersebut dilakukan oleh dua malaikat. “Kotoran” bekas kandang setan itu dibersihkan secara maksimal, sehingga titik noda dalam hati nabi betul-betul bersih, dan tak membekas.

Baca Juga: Mengenal Jam'iyah Ruqyah Aswaja, Dakwah Lewat Pengobatan ala Nabi Muhammad

Kemudian, hati kemilau yang sangat bersih itu dituangi hikmah (kebijakan). Hikmah secara harfiah bisa berarti bijak, rahasia di balik yang nyata, ilmu yang bermanfaat, rahasia ilmu dan filsafat. Karena itu, tidak heran jika nabi dalam perjalanan dakwahnya memiliki kemampuan ilmu hikmah dan filosofi jauh di atas rata-rata manusia pada umumnya.

Sebagai umat Muhamad kita mendapatkan pantulan berkah “hikmah” nabi tersebut berupa kemampuan untuk menerima hikmah itu berupa ilmu yang bermanfaat dan mengetahui sebagian rahasia alam yang tentu sangat bermanfaat bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Pantulan hikmah ini bisa kita peroleh melalui konsistensi peran yang tulus tiap hari seperti yang dipraktikkan nabi. Allah berfirman: “Dia memberi hikmah kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Barang siapa yang dikasih hikmah, berarti ia dikasih banyak kebaikan” ( Qs. al-Baqarah: 2: 269).

Baca Juga: Bolehkah Berdoa Buruk ketika Terdzalimi? Ini Penjelasan Kiai Abd Salam Nawawi

Ketiga, Rasulullah mengalami pembelahan dada menjelang peristiwa isra’-mikraj, saat beliau berusia 52 tahun. Dua malaikat membedah dada beliau untuk memasang “alat detektor” yang super sensitif di hati yang sudah super bersih itu. Ini, agar nabi mampu menangkap “cahaya Allah” secara sempurna. Pada saatnya pancaran sinar Allah itu mampu ditangkap oleh detektor tersebut.

Ketika itu terjadi pertemuan dua sinar istimewa: Allah dan Muhamd. Detektor di hati nabi itu apa ? “Sarana super sensitif” itulah bernama mahabbatullah (kecintaan Allah ). Cinta aktif dari kedua belah pihak . Allah mencintai nabi, dan nabi-pun mencintai Allah. Rasa “cinta” ini terus terbina dan terjaga dengan berulang-ulangnya untaian , mohon ampun, zikir dan jenis ibadah yang lain.

Singkat kata, secara substansial manusia biasa bisa mengarungi perjalanan menuju Allah lewat “pintu gerbang” . Pada tahap awal, seseorang yang ber secara intens, akan mendapatkan anugerah kedamaian dan ketenangan hati, (sakinatul qalb). Jika ia secara istikamah menjaga, bahkan meningkatkan gerak, aksi dan untaian nya, niscaya hatinya akan mendapatkan luberan kebijakan (faidh al-hikam), yang akan membuat ia mudah untuk menangkap ilmu, baik itu ilmu lahir maupun ilmu yang langsung diperoleh dari Allah yang di kalangan kaum sufi populer dengan ilmu ladunni.

Baca Juga: Tafsir Thaha 65-69: Kesaktian Tongkat Sahabat

Selanjutnya, jika mampu lagi meningkatkan kuantitas dan kualitas nya melebihi tahap kedua, maka ia mendapatkan anugerah “kecintaan Allah” (mahabbatullah) yang menjadi puncak taqarrub tertinggi seorang hamba dengan sang Pencipta. Inilah esensi pemahaman firman-Nya: “Sungguh Allah mencintai manusia yang terus menerus ber, mereka selalu menyucikan dirinya”.(Qs al-Baqarah: 2: 222).

Tobat dan Cinta Rasul

Kisah menarik pernah terjadi, seperti tertulis dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim oleh Imam Ibn Katsir, bahwa suat ketika seorang Arab desa datang menziarahi makam Rasul di Masjid Nabawi. Dengan sikap tawadu’ ia berdiri di hadapan pusara Rasul itu dengan mata berlinang ia berkata: “salam sejahtera bagimu”, wahai kekasihku ! Berpegang teguh dengan firman Allah: “...andaikan ketika mereka menganiaya diri (berbuat ) datang mengunjungimu, maka mereka mohon ampun pada Allah, dan rasul berkenan memintakan ampun, niscaya mereka menemukan Allah itu Maha Penerima dan Maha Penyayang” (Qs. al-Nisa’: 4: 64), “aku datang mengunjungimu.”

Sungguh aku datang dengan penuh . Aku ber dan mohon ampun pada Allah, dengan mengandalkan belas kasih syafaatmu. Tolonglah diriku....! Wahai kekasih.... Kemudian ia mengumandangkan puisi :

Wahai manusia terbaik dan teragung yang dikubur di suatu kawasan suci.

Lantaran keberadaanmu, tanah, gunung dan masjid sekalipun ikut menjadi mulia.

Diriku rela menjadi tebusan sebagai imbalan kemuliaan dan keberadaanmu di kuburan.

Sungguh perjalanan hidupmu penuh jasa, kehormatan, kedermawanan dan semua kebaikan.

Tolonglah... aku kekasih ! Kemudian orang desa itu pergi. Untaian kata-katanya dan perilakunya di hadapan pusara Rasul itu didengar dan diamat oleh seorang alim dan saleh yang kebetulan juga berziarah ke makam Rasul...

Tak lama kemudian, orang saleh ini terlelap sekejap... ia bermimpi ketemu Rasul..,, seraya bersabda: “Semua rangkaian kata orang desa tadi itu benar”. “Berilah kabar gembira kepadanya”, bahwa “Allah telah mengampuni semua nya”.

Inilah kehebatan cinta Rasul dan kedahsyatan cinta dan kecintaan pada Allah, membuat diterima dan semua menjadi sirna. Semoga semua bisa kita alami. Dengan ber dan memohon ampun pada Allah saat bulan suci Ramadan ini, - kita diampuni, dan keinginan kita terkabulkan. Amin 3×. Wallahu a’lam

Surabaya, 2 Ramadan 1443 H/ 4 April 2022

Penulis pengasuh Rubrik Tanya Jawab Islam HARIAN BANGSA dan pengasuh Pesantren Mahasiswa An Nur Wonocolo Surabaya serta guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Pandemi, Ketua TP PKK Kabupaten Mojokerto Ajak Anggotanya Peduli Sesama':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO