BANDUNG, BANGSAONLINE.com – Ada temuan menarik dalam Disertasi Wakil Bupati Mojokerto, Muhammad Al Barra (Gus Bara), yang dipaparkan pada Sidang Promosi Doktor di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Bandung, Selasa (28/6/2022).
Ternyata KH Abdul Chalim tidak hanya menjadi penulis dan kurir yang mengantar surat undangan dalam proses pendirian organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Tapi juga berperan sebagai komunikator dalam proses komunikasi KH Abdul Wahab Hasbullah dengan gurunya, Hadratussyaikh KH Muhamamd Hasyim Asy’ari, ketika proses pendirian NU.
Baca Juga: Gus Barra Komitmen Jalankan Pemerintahan Anti-KKN saat Kampanye di Desa Bening
Saat itu, Kiai Abdul Wahab berinisiatif mendirikan NU. Tapi tak kunjung mendapat izin dan restu dari Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari. Padahal restu Hadratussyaikh bagi Kiai Wahab adalah kunci atau modal utama untuk mendirikan NU.
Kenapa? Karena Hadratussyaikh bagi Kiai Wahab bukan saja guru yang sangat dihormati, tapi juga karena Hadratussyaikh adalah ulama paling berpengaruh dan disegani di nusantara saat itu. Termasuk oleh penjajah sekali pun.
Baca Juga: Jualannya Diborong Kiai Asep, Pedagang Pasar Pugeran: Kami Setia Coblos Paslon Mubarok
(Para syaikh dari Sudan dan Mesir. Foto: MMA/BANGSAONLINE.com)
Kiai Wahab pun curhat atau mencurahkan isi hatinya kepada Kiai Abdul Chalim. “Saya sudah 10 tahun belum mendapat izin. Kalau memang tak dapat izin, saya akan kembali kepada organisasi dengan melakukan perubahan-perubahan. Atau saya kembali ke pesantren,” kata Kiai Wahab Hasbullah kepada Kiai Abdul Chalim , seperti ditirukan Gus Bara di depan para penguji disertasinya yang dipimpin Prof. Dra. Aquarini Priyatna Prabasmoro, MA, M.Hum, Ph.D.
Dalam naskah asli Kiai Abdul Chalim yang sudah diindonesiakan tertulis:
Baca Juga: Warga Jetis Ucapkan Janji Setia untuk Menangkan Pasangan Mubarok
Kalau kali ini nyata luput
Milih satu antara dua yang patut
Masuk organisasi merombak terus
Baca Juga: Jelang Debat Kedua Pilgub Jatim 2024, Khofifah Didoakan Kiai Asep
Atau pulang memelihara pondok yang khsusus
Dari syair itu tampak bahwa Kiai Wahab hampir “menyerah” karena 10 tahun belum mendapat izin dari Hadratussyaikh. Nah, saat itulah Kiai Abdul Chalim terus memberi semangat kepada Kiai Wahab yang dianggap sebagai gurunya.
Bahkan Kiai Abdul Chalim mampu berperan sebagai komunikator atau penyampai pesan yang baik, antara Kiai Wahab dan Hadratussyaikh.
Baca Juga: Cinta Bola, Gus Barra Hadiri Pertandingan Mubarok FC Vs Kapede Sawo FC
Terutama ketika Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari memberikan respon menggembirakan.
Bagaimana respon Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari? “Saya sudah memikirkan nasib kiai,” kata Hadratussyaikh, seperti diungkap Gus Bara.
“Kiai yang dimaksud adalah Kiai Wahab Hasbullah,” jelas Gus Bara lagi.
Baca Juga: Najib Alfalaq Terus Kobarkan Semangat Menangkan Paslon Mubarok
Kepada BANGSAONLINE.com Gus Bara kemudian menunjukkan naskah Kiai Abdul Chalim tentang dawuh Hadratussyaikh. Naskah dalam bentuk syair itu tertulis sebagai berikut:
Saya terima kata darilah paduka
Pak Ki Hasyim yang mulia malah berkata
Baca Juga: Gus Barra Lebih Inovatif, Gagas Pindahkan Pusat Pemerintahan sebagai Pengungkit Pertumbuhan Ekonomi
Mas Dul Halim sebelum NU berdiri
Ialah saya kasihan pada kiai
Abdul wahab yang ditendang sana sini
Baca Juga: Ribuan Warga Mojokerto Ikuti Senam Sehat Bareng Gus Barra dan Kosgoro Jawa Timur
Mau bantu tak dapat jalan izin
Tiga tahun itulah saya memikirkan
Barulah sekarang terdapatnya jalan
Menurut Gus Bara, kalimat “Mas Dul Halim” menunjukkan keakraban antara Kiai Abdul Halim dan Hadratussyaikh.
"Dan komunikasi ini menandakan bahwa terjadi sangat intens antara keduanya dan Kiai Chalim sebagai komunikator atau mediator antara dua tokoh penting di NU, Kiai Hasyim, dan Kiai Wahab," kata Gus Bara kepada BANGSAONLINE.com.
(Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim dan istrinya, Nyai Hj Alif Fadilah dan istri Gus Barra, Ning Hana. Foto: MMA/BANGSAONLINE.com)
Gus Bara menduga Hadratusyaikh cukup lama belum memberikan izin karena banyak persiapan dan pertimbangan, terutama secara spiritual.
“Mungkin masih salat istikharah atau apa,” kata Gus Bara kepada BANGSAONLINE.com.
Menurut Gus Bara, dari proses komunikasi itu berarti Kiai Abdul Chalim tidak hanya akrab dengah Kiai Wahab Hasbullah. Tapi juga dengan Hadratussyaikh. Buktinya, tutur Gus Bara, Hadratussyaikh memanggil Kiai Abdul Chalim dengan panggilan Mas.
“Kiai Hasyim memanggil Mas Dul Chalim kepada Kiai Abdul Chalim. Panggilan Mas itu kan berarti akrab,” tutur Gus Bara kepada BANGSAONLINE.com.
Dari mana data disertasi Gus Bara yang berjudul: Naskah Perjuangan Kyai Abdul Wahab Edisi Teks dan Kajian Historiografi Nahdlatul Ulama itu?
Inilah yang menarik. Ternyata naskah berasal dari tulisan Kiai Abdul Chalim, kakeknya sendiri. Kiai Abdul Chalim adalah ayahanda Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA. Sedang Gus Bara adalah putra pertama Kiai Asep Saifuddin Chalim.
Kiai Abdul Chalim tercatat sebagai Katib Tsani (Wakil Katib) pada kepengurusan PBNU periode pertama. Kiai Abdul Chalim juga punya kemampuan menulis, terutama dalam syair.
"Kiai Abdul Chalim memang ahli ilmu arudl," tutur Gus Bara. Ilmu arudl adalah ilmu yang membahas tentang syair Arab yang banyak dipelajari di pesantren.
Menurut Gus Bara, naskah itu didapatkan dari keluarga secara turun temurun.
Tulisan itu berupa syair atau nadzam yang ditulis dalam huruf atau abjad pegon. Huruf pegon adalah huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa, Madura, Sunda, atau bahasa Indonesia.
“Naskah itu ditulis pada tahun 70. Setahun sebelum Kiai Abdul Chalim wafat,” kata Gus Bara. Menurut Gus Bara, naskah itu ditulis atas permintaan PBNU yang saat itu ketua umumnya KH Idham Chalid.
(Para penguji disertasi Gus Barra saat sidang promosi doktor di Fakultas Ilmu Budaya Unpad. Foto: MMA/BANGSAONLINE.com)
Para profesor dan doktor penguji Gus Bara pun penasaran. Maka mengalirlah berbagai pertanyaan dari mereka. Antara lain: “Kenapa naskah itu ditulis dalam bentuk syair atau puisi?”. “Apakah syair atau puisi itu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah?”
Gus Bara menjawab dengan baik. “Naskah itu ditulis dalam bentuk syair, agar mudah dihafal,” jawab Gus Bara mengutip alasan Kiai Abdul Chalim yang tertulis dalam karyanya itu.
Mengutip naskah yang ditulis Kiai Abdul Chalim, Gus Bara mengungkapkan, sebenarnya Kiai Abdul Chalim punya keinginan suatu saat menulis naskah dalam bentuk prosa atau narasi biasa. Tapi karena Kiai Abdul Chalim keburu wafat, maka niat baik itu pun tak terlaksana.
“Tulisan Kiai Abdul Chalim banyak,” kata Gus Bara sembari mengutip beberapa judul naskahnya.
Gus Bara juga menjelaskan bahwa karya ilmiah juga bisa ditulis dalam bentuk puisi atau syair. Alumnus Universitas Al Azhar Mesr itu kemudian menyebut beberapa kitab klasik populer yang merupakan karya ilmiah tapi ditulis dalam bentuk nadzam atau syair. Di antaranya Kitab Alfiah karya Imam Ibnu Malik yang berisi tentang gramatika bahasa Arab. Kitab Alfiah terdiri dari 1002 bait yang banyak dihafal oleh para santri di pesantren.
Pertanyaan lain dari penguji yang mencuat, apa relevansi dan manfaat karya ini dengan generasi milenial ke depan. Gus Bara menjawab bahwa karya ini bisa memberi maanfaat, terutama motivasi kepada generasi milenial dari segi usia.
“Ketika umur 16 tahun Kiai Abdul Chalim menjadi pengurus SI cabang Makkah, dan Kiai Wahab juga menjadi pengurus bersama Kiai Asnawi. Kiai Wahab waktu itu berumur 26 tahun,” kata Gus Bara.
Menurut Gus Bara, dalam usia semuda itu Kiai Abdul Chalim dan Kiai Abdul Wahab sudah memikirkan masalah sosial dan kemasyarakatan, termasuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan itulah yang sangat relevan untuk dijadikan semangat bagi generasi milenial ke depan.
Para penguji yang terdiri para guru besar dan doktor itu mengapresiasi Gus Bara karena dalam kesibukannya sebagai wakil bupati dan ketua berbagai organisasi seperti GP Ansor Mojokerto dan Ketua Alumni Universitas Al Azhar masih bisa menyelesaikan studi dan disertasinya.
Setelah sidang diskors 15 menit, Prof. Dra. Aquarini Priyatna Prabasmoro, MA, M.Hum, Ph.D. selaku ketua sidang mengumumkan bahwa Gus Bara mendapat nilai “sangat memuaskan” dan berhak menggunakan gelar doktor.
Sidang promosi doktor ini cukup istimewa karena dihadiri banyak tokoh, termasuk dari luar negeri. Beberapa syaikh dari Sudan dan Mesir hadir. Antara lain Imam Besar Universitas Al Azhar Mesir, Syaikh Zakaria Marzuq. Bahkan Syaikh Zakaria inilah yang memimpin doa saat penutupan.
Selain para syaikh dari Mesir dan Sudan juga hadir perwakilan KBRI, Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziah PWNU Jawa Barat dan Majalengka. Juga hadir Ketua DPRD dan para Wakil Ketua DPRD Mojokerto Jawa Timur.
Sebelum sidang ditutup, Prof. Dra. Aquarini Priyatna mempersilakan Kiai Asep Saifuddin Chalim untuk menyampaikan pesan-pesan selaku orang tua. Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto Jawa Timur itu menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Padjadjaran, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, dan para tim penguji yang telah membimbing putranya selama menjadi mahasiswa S3 hingga lulus dan meraih gelar doktor.
Kepada Gus Bara, Kiai Asep minta disertasinya itu segera diterbitkan dalam bentuk buku agar isinya bisa didicernai masyarakat, terutama tentang pendiri NU dan peran Kiai Abdul Wahab dan Kiai Abdul Chalim.
Seperti diberitakan BANGSAONLINE.com, Kiai Asep bersyukur karena Gus Bara telah sukses meraih gelar doktor. “Alhamdulillah pada saat ini putra pertama saya, Muhammad Albarra telah berhasil menyelesaikan sidang promosi doktor. Sebagai orang tua, hampir tidak pernah berkunjung ke tempat ini kecuali satu kali, itu pun terlambat. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya," ungkap Kiai Asep.
"Kami mohon bimbingan dan kerja samanya, sehingga melalui pendidikan, kita bisa memberikan bakti kita kepada bangsa dan negara. Selanjutnya kepada anak saya, saya sampaikan setelah lulus ini segeralah dibuat sebuah buku dan kemudian lanjut berkiprah serta meneruskan perjuangan Pergunu atau Persatuan Guru Nahdhatul Ulama," harap Kiai Asep.
Menurut Kiai Asep, 10 tahun yang lalu ia diberi amanah untuk menghidupkan Pergunu. Seperti halnya dalam lagu marsnya "Bangkitlah dari tidurmu yang panjang", karena berdirinya memang tahun 1952 kemudian mati dan baru berjaya berdiri lagi pada tahun 2002.
"Berdirinya juga harus melalui perjuangan, dengan prosesnya yang panjang seperti saat berdirinya, yakni kira-kira 10 tahun yang lalu dan saya diberi amanah untuk memimpin. Alhamdulillah belum sampai 10 tahun sudah berdiri berguru di 34 provinsi di 514 cabang dan ribuan pengurus ranting," jelasnya sembari mengungkapkan bahwa pendiri Pergunu adalah abahnya sendiri, Kiai Abdul Chalim.
Dari pihak keluarga, selain Kiai Asep juga hadir Nyai Alif Fadlilah, ibunda Gus Bara. Hadir juga istri Gus Bara dan saudara-saudaranya serta kolega dan teman-teman Gus Bara.
Gus Bara tampak terharu. Ia sempat terisak menangis cukup lama ketika mengucapkan terima kasih, terutama kepada keluarga dan istrinya. (MMA)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News