MOJOKERTO, BANGSAONLINE.com - Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati menyesalkan lonjakan kasus pernikahan dini. Mengacu data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 BPS, tercatat angka perkawinan anak di Indonesia terbilang cukup tinggi, yaitu mencapai 1,2 juta kejadian.
Ia mengungkapkan dampak mengerikan dari kasus nikah muda. Yakni stunting, kematian ibu, kemiskinan, tenaga kerja tidak terampil, belum lagi secara psikis yang tidak siap, sehingga bisa berujung percecokan, perceraian, dan anaknya terlantar.
Baca Juga: Dalam Sehari, Pemkab Mojokerto Raih 2 Penghargaan Pelayanan Publik Terbaik
"Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan anak. Dari jumlah tersebut, proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21% dari total jumlah anak. Artinya, sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Jumlah ini berbanding kontras dengan laki-laki, di mana laki-laki berumur 20-24 tahun yang menikah di usia anak, hanya 1 dari 100 laki-laki," terang bupati saat berbicara didepan puluhan kader Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdalatul Ulama (LKKNU) di Aula PT. Intiland Ngoro, Rabu (13/7) siang.
Ikfina menambahkan, Data Badan Peradilan Agama mencatat 64,2 ribu dispensasi perkawinan anak pada tahun 2020. Angka tersebut meningkat sekitar tiga kali lipat atau 177,7% dari 2019 yang sebanyak 23,1 ribu dispensasi kawin.
"Ini akan berpotensi melonjak karena undang-undang perkawinan dirubah tahun 2019, yang semula usia minimum calon pengantin 16 tahun meningkat menjadi 19 tahun," tambahnya.
Baca Juga: Pemkab Kediri Komitmen Tingkatkan Akurasi Tata Kelola Data
"Negara kita ini juara pernikahan dini dan itu arahnya tidak bagus untuk negara ini. Rentetannya pun panjang, mulai stunting, kematian ibu, kemiskinan, tenaga kerja tidak terampil, belum lagi secara psikis yang tidak siap, bisa alami percecokan, perceraian dan anaknya terlantar," cetusnya.
Beberapa penyebab perkawinan anak juga sangat kompleks. Hal ini secara garis besar ada tiga, yakni, kehamilan yang tidak diinginkan, kemiskinan, interpretasi nilai adat istiadat tertentu. Ikfina mengatakan, persoalan tersebut paling banyak kasusnya terjadi di daerah perkotaan.
Menurut Ikfina, hasil observasi menunjukkan setidaknya terdapat 9 faktor yang menurut para informan menjadi pendorong praktik perkawinan anak. Faktor sosial 28,5 persen, menjadi yang paling menonjol sebagai pendorong kasus perkawinan anak
Baca Juga: Pemkot Mojokerto Sukses Turunkan Jumlah Pengangguran
"Yang paling besar adalah faktor sosial, karena ini termasuk pola pikir yang dipengaruhi pendapat-pendapat terutama saat ini adanya informasi di medsos," ucapnya.
Adapun untuk melancarkan pencegahan dan penurunan angka stunting di wilayah Kabupaten Mojokerto, pemkab setempat telah menandatangani MoU dengan Pengadilan Agama Kabupaten Mojokerto.
"MoU ini terkait stunting, khususnya dispensasi nikah. Calon pengantin yang belum usia 19 tahun kita cegah dulu. Agar bisa menunda pernikahannya," ujarnya.
Baca Juga: Indeks Pembangunan Statistik Meningkat, Pemkot Kediri Dukung Terwujudnya Satu Data
Ikfina mengatakan, BKKBN juga telah merekomendasikan usia pernikahan yang ideal di usia yang sudah matang, yaitu di usia 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria.
"Meskipun undang-undang perkawinan ini menetapkan 19 tahun. Tetapi inilah usia ideal secara fisik dan psikis," pungkasnya. (yep/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News