MOJOKERTO, BANGSAONLINE.com – Dialog Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja) dan Ahmadiyah di Institut Pesantren KH Abdul Chalim (IKHAC) Pacet Mojokerto Jawa Timur dihentikan. Forum dialog itu batal digelar karena KH Abddusshomad Buchori, mantan ketua MUI Jawa Timur tiga periode, yang semula diundang sebagai salah satu pembicara tiba-tiba menginformasikan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat yang telah dilarang pemerintah. Jadi tak boleh ada acara dialog seperti ini karena melanggar peraturan pemerintah dan UU.
“Mohon maaf. Ahmadiyah ini aliran sesat yang sudah dilarang oleh pemerintah. Jadi tak boleh didakwahkan, tak boleh disebarkan, baik lewat lisan, tulisan atau elektronik . Juga tak boleh pasang papan nama, karena sudah dilarang di Indonesia,” tegas Kiai Abdusshomad Buchori di depan para tokoh, kiai dan peserta dialog, termasuk para penganut Ahmadiyah, Kamis (29/9/2022).
Baca Juga: Ribuan Warga Padati Mubarok Bersholawat, Paslon 2 Optimis Menang di Ngoro, Mojokerto
Dalam forum dialog itu tampak Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA yang didampingi tim Aswaja yang terdiri dari para akademisi. Antara lain: Dr KH Abdul Hamid Pujiono (Sekretaris PCNU Jember), Dr KH Abdul Wahab Ahmad (UIN KH Achmad Siddiq Jember), Dr KH Abdul Haris (UIN KH Achmad Siddidiq Jember), Kiai Ahmad Dairobi, Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum Jember.
Dari Ahmadiyah hadir Eki Subandi, Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Eki Subandi yang datang langsung dari Jakarta didampingi para pengurus Ahmadiah, termasuk penganut Ahmadiyah yang ada di Surabaya dan sekitarnya.
Baca Juga: Mubarok Gembleng 6.472 Calon Saksi untuk Gus Barra-Rizal dan Khofifah-Emil di Mojokerto
(Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, KH Abdusshomad Buchori dan tim Aswaja yang terdiri dari para akademisi yaitu Dr KH Abdul Hamid Pujiono (Sekretaris PCNU Jember), Dr KH Abdul Wahab Ahmad (UIN KH Achmad Siddiq Jember), Dr KH Abdul Haris (UIN KH Achmad Siddidiq Jember) dan Kiai Ahmad Dairobi, Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Ulum Jember.Paling kanan moderator Gus Muhib. Foto: mma/bangsaonline.com)
Dalam acara dialog yang dimoderatori Dr KH Mauhib Rohman (Gus Muhib), Rektor IKHAC itu, Kiai Abdusshomad Buchori menunjunjukkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksan Agung dan Menteri Dalam Negeri yang melarang Ahmadiyah. Yaitu SKB nomor 3 Tahun 2008: KEP-033/A/JA/6/2008.
Menurut Kiai Abdusshomad, larangan terhadap Ahmadiyah tidak hanya datang dari keputusan SKB. Tapi juga dari Gubernur Jawa Timur pada 2011. Yaitu surat Nomor 188/94KPTS/013/2011.
Baca Juga: Doa Bersama Kapolri dan Panglima TNI, Kiai Asep Duduk Satu Meja dengan Kapolda dan Pangdam V Jatim
Selain SKB dan surat SK Gubernur Jawa Timur, menurut Kiai Abdusshomad, Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik pusat maupun Jawa Timur sudah menghukumi sesat.
“Bahkan hukum sesat dan larangan terhadap Ahmadiyah ini bukan hanya dari pemerintah Indonesia tapi juga organisasi Islam dunia seperti OKI,” kata Kiai Abdusshomad.
Ulama yang banyak melahirkan buku itu kemudian mengungkap ketidakjujuran Mirza Ghulam Ahmad, tokoh yang dianggap nabi oleh penganut Ahmadiyah.
Baca Juga: Lautan Manusia Padati Kampanye Akbar Paslon 02 Khofifah-Emil dan Gus Barra-Rizal di Mojokerto
Ia menunjukkan beberapa ajaran Mirza Ghulam Ahmad yang terkumpul dalam Tadhkirah, kitab Ahmadiyah.
“Banyak ayat-ayat Quran dikutip, tapi ada yang dikurangi dan ada yang ditambahi,” ungkap ulama yang sangat produktif menulis itu.
Kiai Asep kemudian menyatakan bahwa acara dialog itu dihentikan. Ia mengatakan bahwa kita harus patuh pada peraturan pemerintah dan UU Indonesia. Acara pun diganti silaturahim.
Baca Juga: Kedatangan Kiai Asep dan Tim Mubarok di Pasar Bangsal Disambut Antusias Pedagang dan Warga
Meski demikian, Kiai Asep berkali-kali berdoa semoga acara ini mendapat hidayah dari Allah SWT. Sehingga mereka menyadari kekeliruannya dalam memahami Islam.
“Semoga Allah memberikan hidayah,” kata Kiai Asep berulang-ulang sembari mengatakan bahwa ia telah menyampaikan dakwah pada mereka.
Eki Subandi dan pendukungnya menerima penghentian acara dialog itu. Ia mengaku tak ingin menambah masalah bangsa. Tapi ingin ikut memberi solusi untuk bangsa.
Baca Juga: Di Depan Pergunu Jatim, Kiai Asep Sebut Khofifah Cagub Paling Loman alias Dermawan
Gus Muhib sebagai moderator sebenarnya sempat memberikan kesempatan kepada Eki Subandi dan rombongan penganut Ahmadiyah untuk menyampaikan klarifikasi. Tapi Eki dan rombongannya tak bersedia. Mereka bersikukuh bahwa mereka sudah menulis buku klarifikasi. Menurut mereka, semua klarifikasinya sudah ada dalam buku itu.
Lalu bagaimana kronologisnya kok sampai ada acara dialog?
Ternyata bermula dari buku berjudul Aswaja di Tengah Aliran-Aliran yang ditulis Kiai Asep dan timnya. Buku berisi 304 halaman itu diperuntukkan sebagai pegangan para guru NU.
Baca Juga: Kiai Asep Tebar Keberkahan, Borong Dagangan di Pasar Dinoyo sampai Warga Mantap Pilih Mubarok
Dalam buku yang diterbitkan Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu dibahas berbagai aliran dalam Islam, termasuk Ahmadiyah. Menurut buku itu, Mirza Ghulam Ahmad sangat dekat dengan pemerintah Inggris yang saat itu menjajah India. Mirza sendiri warga Qadian India. Tapi ia malah membela penjajah Inggris. Ia bahkan berfatwa mendukung penjajah Inggris dan mengharamkan warga India berjihad melawan Inggris.
“Padahal Inggris itu jelas penjajah. Tapi Mirza bilang Inggris itu ulul amri, ” kata KH Abdul Wahab dalam forum dialog itu. Abdul Wahab adalah salah satu penulis di buku Aswaja di Tengah Aliran-Aliran yang membidangi masalah Ahmadiyah.
“Bapak dan saudara Mirza Ghulam Ahmad memang bekerja untuk Inggris,” tambahnya.
Baca Juga: Alumni Ponpes Lirboyo di Mojokerto Siap Menangkan Paslon Mubarok
Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI) tak terima. Mereka menuduh tulisan di buku yang ditulis Kiai Asep dan timnya itu tak dididasarkan pada data primer (Ahmdiyah). Mereka pun menerbitkan buku bantahan. Buku bantahan itu diedit sendiri oleh Eki Subandi.
“Saya editor buku ini,” katanya.
Tapi bantahan mereka justru blunder. Menurut Abdul Wahab, ketika mereka menukil ayat Al Quran dan Hadits justru memperkuat argumen pihak Aswaja.
Begitu juga ketika menyangkut sejarah. Tulisan Ahmadiyah salah fatal. Ia memberi contoh tulisan Ahmadiyah yang menuduh NU mendukung penjajah Belanda.
Menurut buku bantahan Ahmadiyah, pada Muktamar di Banten tahun 36, NU koperatif terhadap penjajah Belanda. Buku Ahmadiyah itu bahkan menarasikan bahwa Muktamar di Banten tahun 36 menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda adalah pemerintah sah secara syariat. Ahmadiyah mengaku menukil narasi itu dari buku yang ditulis Andree Feillard.
“Nah, redaksi bahwa NU mengesahkan secara syariat pemerintahan Belanda yang jelas-jelas menjajah itu, adalah redaksi yang dibuat-buat oleh Ahmadiyah,” tegas Kiai Abdul Wahab.
Kenapa? “Karena setelah kami lacak pada buku Andree Feillard tak ada redaksi seperti itu. Sama sekali tak ada,” kata Kiai Abdul Wahab. Lagi-lagi Ahmadiyah melakukan kebohongan.
(KH Abdusshomad Buchori. Foto: mma/bangsaonline.com)
Menurut Abdul Wahab, Andree Feillard hanya bilang bahwa pernah ada suatu keputusan Muktamar NU di Banten bahwa negeri Hindia Belanda itu adalah Darul Islam.
“Menurut penafsiran Andree Feillard itu menguntungkan Belanda,” katanya.
Abdul Wahab kemudian menceritakan kronologis data Andree Feillard. “Andree Feillard juga keliru. Dia menyebut Muktamar Banten. Padahal itu Muktamar NU Banjarmasin,” katanya sembari mengatakan bahwa Andree Feillard tak menukil data primer tapi hanya menukil dari buku yang ditulis Ali Haidar.
Kiai Abdul Wahab kemudian menjelaskan kontek masalah soal Darul Islam. Menurut dia, dalam Muktamar NU di Banjarmasih itu ada pertanyaan terkait dengan pengurusan jenazah yang tak jelas identitasnya; yaitu bagaimana kalau ada jenazah tak beridentitas ditemukan di suatu wilayah. Apakah akan diurus atau dihukumi seperti orang Islam, misalnya dimandikan dan disalati?
Saa itu para muktamirin, tutur Abdul Wahab, menghukumi dengan cara melihat status negara atau wilayah ditemukannya jenazah itu. “Apakah Darul Islam atau Darul Kufri (non Islam, kafir)” kata Kiai Abdul Wahab yang juga sekretaris umum MUI Jember.
Menurut dia, jika jenazah itu ditemukan di wilayah darul Islam, maka jenazah itu harus diperlakukan berdasarkan syariat Islam. Tapi jika jenazah itu ditemukan di wilayah Darul Kufri, maka jenazah itu diperlakukan dengan cara lain.
Lalu muncul pertanyaan, apakah Indonesia yang saat itu dalam jajahan Belanda masuk Darul Islam atau bukan? Mengacu pada Kitab Bughyatul Mustardyidin, ulama NU dalam muktamar itu berpandangan bahwa Indonesia masuk kategori Darul Islam.
Alasannya, karena status negara ini pernah dikuasai oleh raja-raja Islam. Selain itu, secara defakto, umat Islam di Indonesia adalah mayoritas.
“Ini masuk akal, kalau disebut Darul Islam. Itu kontek asalnya. Jadi tak ada hubungannya dengan penjajah Belanda,” katanya.
Dari mana data itu? Kiai Abdul Wahab mengaku mendapat data pembahasan soal Darul Uslam itu dari KH Achmad Siddiq, Rais Aam Syuriah PBNU 1984-1991.
“Kiai Ahmad Siddiq menegaskan, kalau soal Belandanya, kita tak pernah mendukung. Jadi NU tak pernah mendukung penjajah Belanda,” katanya.
Senada dengan Kiai Abdul Wahab, Kiai Abdul Hamid Pujiono justru bertanya langsung kepada Eki Subandi dan rombongannya. Apa dasar utama ajaran Ahmadiyah?
“Kalau kita, Aswaja, kan Al Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Kalau Ahmadiyah apa,” tanya Kiai Abdul Hamid Pujiono.
Eki Subandi dan rombongan penganut Ahmadiyah tak menjawab. Eki Subandi hanya menunjukkan buku yang sudah ditulis. Menurut dia, semua klarifikasi itu ada pada buku itu.
Sementara Kiai Abdul Haris mengatakan bahwa Tim Aswaja di bawah koordinasi Kiai Asep sedang menyusun buku untuk menjawab buku yang dibuat oleh Ahmadiyah.
“Mohon doanya agar buku ini selesai dalam dua atau tiga bulan ini,” katanya. Ia mengatakan bahwa buku klarifikasi atau bantahan yang dibuat oleh Ahmadiyah sangat rendah kualitas ilmiahnya.
“Kami ini semua akademisi,” kata Kiai Abdul Haris.
Kepada BANGSAONLINE.com, Kiai Asep mengungkapkan bahwa Ahmadiyah salah menafsirkan Al Quran surat As-Shaf ayat 6.
“Ya mohon maaf, konyol dalam menafsirkan ayat ini,” katanya.
Kiai Asep lalu melafadlkan ayat tersebut. Yang artinya, Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, "Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, "Ini adalah sihir yang nyata."
“Mereka menganggap Ahmad itu Mirza Ghulam Ahmad. Padaha yang dimaksud dalam ayat Al Quran itu adalah Nabi Muhammad,” kata Kiai Asep sembari mengatakan bahwa lafadz Jaa itu adalah fi’il madly yang berarti sudah terjadi, bukan akan datang.
Menurut Kiai Asep, karena Ahmadiyah menganggap masih ada nabi setelah Nabi Muhammad, maka semua organisasi Islam, terutama MUI, menghukumi Ahmadiyah adalah aliran sesat. Bahkan SKB dan Gubernur Jawa Timur melarang Ahmadiyah.
“Karena itu tak boleh ada dakwah, tak boleh ada papan nama dan tak boleh ada simbol-simbol Ahmadiyah,” kata pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto itu.
Meski demikian, kata Kiai Asep, kita harus berpijak pada ukhuwah dalam pespektif Aswaja. Yaitu ukhuwah Islimiah, ukhuwah wathaniah dan ukhuwah basyariah. Jadi, jika mereka tak bisa masuk ke ukhuwah Islamiiah karena sesat, maka mereka kita tempatkan pada ukhuwah wathaniah atau basyariah.
“Karena itu tak boleh ada kekekerasan pada mereka,” kata Kiai Asep yang ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu).
Apakah ada sanksinya jika Ahmadiyah melanggar SKB? Usai acara, Kiai Abdusshomad Buchori menunjukkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia yang melarang Ahmadiyah di seluruh Indonesia.
Dalam SKB nomor 3 Tahun 2008: KEP-033/A/JA/6/2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau anggota pengurus jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ada tujuh poin yang intinya memberi peringatan sekaligus perintah agar penganut, anggota dan pengurus Ahmadiyah menghentikan penyebaran ajaran Ahmadiyah.
Dalam SKB itu bukan hanya tidak boleh menyebarkan, tapi juga tak boleh menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan kepada Ahmadiyah.
Bahkan dalam poin kedua SKB itu memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah, anggota dan pengurus Jemat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
Menurut SKB itu, jika penganut, anggota dan pengurus Ahmadiyah tidak mengindahkan peringatan dan perintaah SKB ini, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
Larangan yang tercantum dalam SK Gubernur Jawa Timur juga sangat detail. Selain dilarang melakukan aktivitas juga dilarang menyebarkan ajaran Ahmadiyah, baik secara lisan atau melalui melalui media, tulisan, maupuk elektronik. Juga dilarang memasang papan nama atau atribut di mana saja, termasuk di lembaga pendidikan dan tempat ibadah seperti masjid dan mushalla.
Namun website resmi Ahmadiyah: Ahmadiyah.id masih bisa diakses. (MMA)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News