Tafsir Al-Kahfi 89-91: Mathli’ Al-Syams

Tafsir Al-Kahfi 89-91: Mathli’ Al-Syams Ilustrasi berhala.

Kira-kira yang dimaksud adalah bahwa apa yang dilakukan setelah mengetahui kondisi demikian sudah bisa ditebak oleh pembaca sendiri. Sehingga tidak perlu dijelaskan.

Seperti layaknya orang berilmu menyikapi orang yang belum mengerti. Seperti layaknya orang yang sudah berperadaban maju menyikapi orang yang terbelakang. Seperti guru menyikapi murid yang belum paham pelajaran. Yaitu, diajari.

Itulah, maka Tuhan hanya menyatakan: “wa qad ahathna bi ma ladaih khubra”. Aku sangat menguasai pengetahuan dia. Di sini, statemen ilmu (khubra) disebut sebagai kata kunci untuk mengetahui perlakuan pada mereka, yaitu dididik, dibimbing, dan dicerahkan. Kini kita pelajaran:

Pertama, orang bodoh itu tidak mengerti apa yang mesti dilakukan. Hidupnya seperti sudah mapan sehingga tidak ada problem. Makanya mereka menjalani hidup biasa-biasa saja. Meskipun ada raja adil di depannya, mereka dingin-dingin saja. Tidak melapor dan tidak mengajukan persoalan seperti yang terjadi pada blusukan lain.

Untuk itu, pemimpin harus cerdas membaca karakter umat, membaca keadaan sehingga tidak menunggu sodoran problem, melainkan mengerti sendiri apa yang mestinya dikerjakan demi umat. Kata “khubra” menunjukkan bahwa dengan inisiatif sendiri mendidik mereka, sehingga menjadi bangsa yang berperadaban.

Kedua, bahwa bangsa yang tertinggal, yang terbelakang, yang primitif, tidak boleh dilestarikan. Harus dididik, diubah dan dicerahkan. Artinya, jika budaya itu buruk, terbelakang, apalagi tidak sesuai dengan agama, maka pemimpin tidak boleh diam apalagi melestarikan.

Pengertian melestarikan adalah mengawetkan, menghidup-hidupkan, tidak memberantas, tidak mengubahnya menjadi maju, tidak mendidik dan tidak mencerahkan. Melestarikan budaya buruk sesungguhnya sama dengan tega menenggelamkan saudara sendiri, bangsa sendiri dalam kegelapan berkepanjangan.

Jika budaya itu nyata-nyata bertentangan dengan syari’ah Islam, kok dilestarikan, itu artinya rela terhadap kemaksiatan tumbuh subur. Melestarikan budaya buruk sama dengan melestarikan kemaksiatan, sama dengan melestarikan dosa dan itu di larangan agama.

Jika pelestarian budaya buruk itu harus dilakukan sebagai khazanah bangsa, maka cukuplah diabadikan sebagai dokumen saja, dicatat di museum seni dan budaya sebagai kenangan masa lalu yang buruk, yang mesti ditinggalkan, bukan dipraktikkan dalam kehidupan nyata.

Apa yang dilakukan ini sama dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika berdakwah kepada orang-orang kafir. Mereka diseru agar memeluk agama Islam, tapi menolak dengan alasan tetap berpegang teguh pada budaya, agama nenek moyang yang menyembah berhala dan patung-patung.

Kemudian al-Qur’an mengajukan pertanyaan yang menohok mereka: “Gimana jika nenek moyang kalian itu orang-orang bodoh yang tidak punya pengetahuan dan punya pemikiran benar. Masihkah kalian mengikuti mereka?”

Mereka diam dan tetap menyembah berhala karena gengsi.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO