SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Proses untuk mendirikan Nahdlatul Ulama (NU ) ternyata sangat panjang. Memakan waktu bertahun-tahun. Hadratussyakh KH M Hasyim Asy’ari tak serta merta merestui gagasan KH Abdul Wahab Hasbullah untuk mendirikan jam’iyah kebangkitan ulama itu. Meski demikian Hadratussyaikh terus memantau aktivitas KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Abdul Chalim yang dua-duanya merupakan ulama muda dan aktivis potensial, kreatif serta kaya gagasan.
“Tiga tahun Kiai Hasyim Asy’ari memonitor aktivitas Kiai Wahab dan Abah saya (Kiai Abdul Chalim),” kata Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, dalam Halaqoh Satu Abad NU tentang Pemikiran dan Perjuangan KH Abdul Chalim yang digelar Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) di Whiz Residence Darmo Harapan Surabaya, Senin (6/2/2023).
Baca Juga: Ribuan Warga Padati Mubarok Bersholawat, Paslon 2 Optimis Menang di Ngoro, Mojokerto
Kiai Asep mengungkapkan fakta historis itu berdasarkan naskah yang ditulis abahnya, Kiai Abdul Chalim. Naskah itu berupa buku tipis berisi nadzam atau syair yang ditulis dalam huruf pegon. Yaitu huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa, Madura, Sunda, atau bahasa Indonesia.
Menurut Kiai Asep, naskah yang menceritakan proses pendirian NU itu ditulis pada tahun 1970, setahun sebelum Kiai Abdul Chalim wafat. Kiai Abdul Chalim menulis naskah itu atas permintaan PBNU yang saat itu ketua umumnya adalah KH Idham Chalid.
Kiai Idham Chalid adalah ketua umum PBNU terlama, menjabat selama 28 tahun. Tokoh NU asal Satui Kalimantan Selatan itu menjabat ketua umum PBNU mulai 1956 hingga 1984.
Baca Juga: Mubarok Gembleng 6.472 Calon Saksi untuk Gus Barra-Rizal dan Khofifah-Emil di Mojokerto
Kiai Abdul Chalim memang dikenal piawai menulis, terutama nadzam atau syair. Kiai Chalim bahkan dikenal sebagai ulama ahli arudh, salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab yang mempelajari tentang nadzam atau syair.
(KH Abdul Chalim. Foto: istimewa)
Baca Juga: Doa Bersama Kapolri dan Panglima TNI, Kiai Asep Duduk Satu Meja dengan Kapolda dan Pangdam V Jatim
Menurut Kiai Asep, naskah sejarah berdirinya NU yang ditulis Kiai Abdul Chalim itu di-tashhih langsung oleh Kiai Abdul Wahab Hasbullah. Buku tipis itu memang lebih banyak berecerita tentang Kiai Wahab Hasbullah.
“Saya ikut waktu men-tashih naskah itu di kediaman Kiai Wahab yang di belakang itu,” ungkap Kiai Asep yang pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto Jawa Timur.
Kiai Asep minta agar para peserta halaqoh yang datang dari berbagai provinsi seluruh Indonesia itu membaca naskah yang ditulis Kiai Abdul Chalim.
Baca Juga: Lautan Manusia Padati Kampanye Akbar Paslon 02 Khofifah-Emil dan Gus Barra-Rizal di Mojokerto
“Nanti panjenengan baca,” pinta Kiai Asep yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) kepada peserta halaqoh.
Naskah Kiai Abdul Chalim itu memang sangat penting. Meski sangat tipis, tapi mengungkap banyak fakta sejarah pendirian NU dan kemerdekaan RI yang selama ini belum diketahui banyak orang.
Mengutip tulisan Kiai Abdul Chalim pada halaman 10, Kiai Asep menuturkan bahwa perjuangan kiai tempo dulu sangat ikhlas. “Abah saya jalan kaki 14 hari dari Leuwimunding (Majalengka, Jawa Barat) ke Surabaya untuk menemui sahabatnya, Kiai Wahab Hasbullah,” kata Kiai Asep sembari mengatakan bahwa abahnya menjalani itu dengan hati gembira karena sambil menikmati pemandangan.
Baca Juga: Kedatangan Kiai Asep dan Tim Mubarok di Pasar Bangsal Disambut Antusias Pedagang dan Warga
“Pada hari ke-12 abah saya sampai di Tebuireng,” kata Kiai Asep.
Menurut dia, Kiai Abdul Chalim menginap di Pesantren Tebuireng Jombang sambil berguru kepada Hadratussyaikh. Dari situ tampaknya dimulai jalinan keakraban antara Hadratussyaikh dengan Kiai Abdul Chalim. Saking akrabnya Hadratussyaikh kemudian memanggail Kiai Abdul Chalim dengan panggilan Mas Chalim.
“Tanggal 13 sammpe di Krian. Tanggal 14 sampe di Surabaya. Abah saya kemudian bergabung dengan gerakan Kiai Wahab,” tutur Kiai Asep sembari menegaskan bahwa Kiai Wahab dan Kiai Abdul Chalim adalah sahabat akrab sejak sama-sama mondok di Makkah. Namun mereka pulang ke tanah air karena di negeri Hijaz terjadi krisis politik.
Baca Juga: Di Depan Pergunu Jatim, Kiai Asep Sebut Khofifah Cagub Paling Loman alias Dermawan
(Para pengurus Pergunu dari bernagai provinsi dan kabupaten yang menjadi peserta Halaqoh Pemikiran dan Perjuangan KH Abdul Chalim di di Whiz Residence Darmo Harapan Surabaya, Senin (6/2/2023). Foto: M Mas'ud Adnan/bangsaonline.com).
Dalam naskah Kiai Abdul Chalim itu juga terungkap fakta sejarah bahwa Kiai Abdul Wahab hampir “putus asa” lantaran 10 tahun lamanya menunggu restu Hadratussyaikh untuk mendirikan NU tapi tak kunjung ada sinyal. Ini sekaligus menggambarkan bahwa Kiai Wahab bukan saja ulama yang sabar tapi juga sangat tawadlu dan patuh pada gurunya. Yaitu Hadratussyaikh Kiai Muhamamd Hasyim Asy’ari.
Baca Juga: Kiai Asep Tebar Keberkahan, Borong Dagangan di Pasar Dinoyo sampai Warga Mantap Pilih Mubarok
Dalam naskah asli Kiai Abdul Chalim yang sudah diindonesiakan tertulis:
Kalau kali ini nyata luput
Milih satu antara dua yang patut
Baca Juga: Alumni Ponpes Lirboyo di Mojokerto Siap Menangkan Paslon Mubarok
Masuk organisasi merombak terus
Atau pulang memelihara pondok yang khsusus
Dari syair itutampak jelas bahwa Kiai Wahab sempat mau memilih dua opsi seandainya Hadratussyaikh tak merestui ide mendirikan NU.
Pertama, Kiai Abdul Wahab berniat begabung dengan organisi lain atau organisasi yang sudah ada tapi dengan semangat untuk merombak yang dianggap tidak sesuai ide atau tujuan Kiai Wahab.
Opsi kedua adalah “pulang kampung” untuk mengelola pondok pesantren khusus. Jadi Kiai Wahab tak ada niat untuk memaksakan diri mendirikan NU jika tanpa restu Hadratussyaikh. Kiai Wahab justru memilih “pulang kampung” untuk mengelola pondok pesantren atau bergabung dengan organisasi yang sudah ada jika Hadratussyaikh tak merestui.
“Kiai Wahab sangat tawaddlu’ dan tunduk kepada gurunya (Hadratussyaikh) yang bijaksana,” kata Kiai Asep.
Kiai Abdul Chalim tampaknya paham situasi kebatinan Kiai Wahab. Kiai Abdul Chalim pun berusaha memberikan semangat kepada Kiai Wahab yang dianggap sebagai gurunya.
Pada sisi lain Kiai Abdul Chalim juga berusaha mengomunikasikan kondisi psikolgis Kiai Wahab kepada Hadratussyaikh. Hadratussyaikh pun memberikan respon. Hadratussyaikh mengaku sangat iba terhadap Kiai Wahab Hasbullah.
“Karena soal Ahlussunnah Kiai Wahab ditendang sana sini,” kata Kiai Asep.
Hal itu tergambar jelas dalam tulisan Kiai Abdul Chalim seperti di bawah ini:
Saya terima kata darilah paduka
Pak Ki Hasyim yang mulia malah berkata
Mas Dul Halim sebelum NU berdiri
Ialah saya kasihan pada kiai
Abdul wahab yang ditendang sana sini
Mau bantu tak dapat jalan izin
Tiga tahun itulah saya memikirkan
Barulah sekarang terdapatnya jalan
Dari tulisan Kiai Abdul Chalim itu tergambar bahwa Hadratussyaikh selama tiga tahun memikirkan Kiai Wahab Hasbullah. Namun Hadratussyakih mengaku baru sekarang mendapat jalan keluar. Tentu selama tiga tahun itu Hadratussyaikh melakukan riyadaah atau upaya spiritual Hadratussyaikh untuk mendapat petunjuk dari Allah SWT. Sehingga Hadratussyaikh yang oleh pemerintah Indonesia ditetapkan sebagai pahlawan nasional itu merestui Kiai Wahab.
Begitu mendapat restu dari Hadratussyaikh, Kiai Abdul Wahab dan Kiai Abdul Chalim mengundang para kiai se-Jawa dan Madura. Menurut Kiai Asep, ulama atau kiai yang diundang sebanyak 65 orang. “Yang membuat suratnya abah saya, Kiai Abdul Chalim. Tapi yang mengonsep Kiai Wahab,” tegas Kiai Asep.
Namun ketika surat itu jadi, ada koreksi dari Kiai Abdul Chalim. Terutama terkait dengan kemerdekaan bangsa Indonensia. “Abah saya mengoreksi, apakah surat ini tidak perlu mencantumkan atau mengandung tujuan kemerdekaan nasional, Kiai,” kata KIai Abdul Chalim kepada Kiai Wahab seperti ditirukan Kiai Asep.
Kiai Wahab menjawab. “Tentu itu tujuan utama umat Islam,” jawab Kiai Wahab.
Kiai Abdul Chalim kembali bertanya, “Apakah hanya itu usahanya untuk mencapai sebuah cita-cita kemerdekaan?.”
Kiai Wahab langsung mengeluarkan korek api dan menyalakan.
“Korek api ini kecil. Tapi bisa membakar rumah. Jadi walau kelihatannya sederhana, hanya kumpul-kumpul seperti ini, tapi punya kekuatan besar,” kata Kiai Wahab.
Kiai Abdul Chalim pun paham. “Dari pertanyaan (abah) ini saja sebenarnya cukup kalau abah saya diusulkan sebagai pahlawan. Tapi saya tak berharap diusulkan. Tapi kalau ada orang mau mengusulkan silakan. Saya juga senang,” kata Kiai Asep.
Dalam catatan BANGSAONLINE, saat Khofifah Indar Parawansa menjadi Menteri Sosial (Mensos) pernah memberi masukan agar Kiai Abdul Chalim diusulkan sebagai pahlawan. Tapi, kata Khofifah, harus melalui proses dan prosedur sesuai ketentuan kementerian sosial.
Menurut Kiai Asep, para ulama yang berkumpul di Kertopaten Surabaya itu kemudian sepakat membentuk Komite Hijaz. “Komite Hijaz itu cetusan dari Kiai Wahab,” kata Kiai Asep.
Kiai Abdul Wahab Hasbullah memang sangat cerdas. Bahkan, kata Kiai Asep, Hadratussyaikh memberi kunyah atau julukan kepada Kiai Wahab sebagai penggerak pemikiran dan ahli pidato.
Kiai Wahab juga pendekar. Sama juga dengan Kiai Abdul Chalim. “Dua-duanya sama pintar pencak silat. Tapi abah saya melarang saya belajar pencak,” kata Kiai Asep.
Tugas Komite Hijaz itu menghadap Raja Abdul Aziz yang telah mengalahkan Raja Syarif Husen. Tapi ketika akan dibuat surat ada kiai yang bertanya soal kop suratnya. Apakah pakai kop surat Komite atau nama lain. Menurut dia, kalau pakai nomenklatur Komite pasti tidak akan diterima oleh Raja Abdul Aziz. Karena hanya panitia yang dianggap bukan lembaga atau organisasi penting.
Maka Kiai Mas Alwi bin Abdul Aziz mengusulkan nama jami’iyah itu Nahdlatul Ulama. Nahdlah dinisbatkan pada Nahdhatul Wathan, sedang ulama dinisbatkan pada 65 ulama yang berkumpul.
Nah, saat itulah NU berdiri. “Ketika NU berdiri penjajah Belanda gentar,” kata kiai miliarder tapi dermawan yang kini menjadi judul buku yang laris dibedah di berbagai provisi dan kabupaten seluruh Indonesia itu.
Jadi NU berdiri saat 65 ulama itu berkumpul, sebelum mengirim utusan Komite Hijaz. “Saat itu yang menjadi ketua panitia adalah Hasan Gipo,” kata Kiai Asep. Hasan Gipo inilah yang kemudian disepakati sebagai ketua umum PBNU pertama.
Menurut Kiai Asep, Rais Akbarnya adalah Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, pendiri dan pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang. Sedang wakilnya adalah KH Dahlan Kebondalem.
Kiai Wahab menjabat Katib Awal (sekarang Katib Aam Syuriah PBNU) dan Kiai Abdul Chalim Katib Tsani (kini Wakil Katib Syuriah PBNU).
“Tapi semua kebijakan dan yang menangani organisasi NU itu Kiai Hasyim Asy’ari. Hasan Gipo hanya sebagai ketua panitia saja,” kata Kiai Asep. Artinya, supremasi atau otoritas tertinggi NU berada di tangan Syuriah, bukan Tanfidziyah seperti sekarang.
Jabatan Rais Akbar kemudian ditiadakan setelah Kiai Hasyim Asy’ari wafat karena para kiai NU menyadari sudah tak ada lagi ulama sekaliber Kiai Hasyim Asy’ari. Baik ilmu, kharisma, maupun kezuhudan, keikhlasan dan pengaruhnya. Para ulama NU sepakat mengganti nomenklatur Rais Akbar dengan istilah Rais Aam.
Menurut Kiai Asep, ada tiga tujuan para ulama mendirikan NU sekaligus membentuk Komite Hijaz. Pertama, untuk membendung gerakan dan kebijakan Raja Abdul Aziz yang menghancurkan situs-situs Islam, termasuk makam Nabi Muhammad SAW. Termasuk monopoli satu madzhab dan melarang empat madzhab (Imam Syafii, Imam Malik, Abu Hanifah dan Ibnu Hanbal) yang tak sealiran.
Kedua, untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
Ketiga, untuk mendirikan organisasi Islam Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Menurut Kiai Asep, peran NU sangat besar terhadap Indonesia. “Tanpa Nahdlatul Ulama sulit Indonesia merdeka,” kata Kiai Asep.
Karena itu Kiai Asep berharap agar para pengurus dan anggota Pergunu meneladani spirit dan akhlak Kiai Abdul Wahab dan Kiai Abdul Chalim yang sangat tawadlu dan tunduk pada guru yang dianggap bijaksana. “Bukan hanya kepada saya tapi kepada semua kiai di Pergunu,” kata Kiai Asep.
Sikap tawadlu dan tunduk itu kini penting karena, menurut Kiai Asep, situasi dan kondisi sekarang sama dengan situasi era kemerdekaan. Menurut Kiai Asep cita-cita luhur kemerdekaan hingga sekarang belum tercapai. “Ekonomi masih dikuasai orang asing dan kita tak punya partai,” katanya.
Banyak tokoh dan pakar yang menjadi nara sumber dalam halaqoh yang dihadiri Syaikh Ibrahim dari Mesir dan Syaikh Siddiq dari Sudan itu. Antara lain: Dr Muhammad Al-Barra (Gus Bara), Wakil Bupati Mojokerto yang disertasinya membahas tentang KIai Abdul Chalim yang tak lain adalah kakeknya.
Lalu Prof Dr Agus Mulyana, sejarawan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan juga Nur Kholik Ridwan, penulis buku yang tokoh Pergunu.
Hadir dalam acara itu Sekjen Pergunu, Dr Aris , Wakil Ketua Umum Pergunu Ahmad Zuhri dan pengurus lain. (MMA)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News