SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Surabaya pernah menyandang status sebagai kota darurat gangster pada pertengahan hingga akhir 2022 lalu.
Sebutan itu muncul karena banyaknya ulah anarkis para kelompok bersenjata tajam yang melakukan pengrusakan di berbagai tempat.
Baca Juga: Polisi Bongkar Motif Janda Dibunuh Kekasih di Surabaya, Dipicu Surat Gadai Emas
Keterlibatan anggota yang masih remaja serta anak anak dari beberapa perguruan silat terlihat lebih dominan. Langkah tegas pun dilakukan Polrestabes Surabaya dan Pemerintah Kota Surabaya dengan membentuk Deklarasi Pendekar Wani Jogo Suroboyo, yang melibatkan para pendekar di masing masing perguruan silat se-Surabaya, pada 8 Januari 2023.
Tidak kurang dari 12 ketua cabang perguruan silat yang terdaftar di Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Kota Surabaya, melakukan deklarasi di Mapolrestabes Surabaya.
Meski telah dilakukan Deklarasi Pendekar Wani Jogo Suroboyo dan sejumlah upaya lainnya oleh pihak Polrestabes Surabaya dan jajaran polsek, namun masih banyak ditemukan aksi aksi brutal kelompok bersenjata yang meresahkan masyarakat.
Baca Juga: PT Umroh Kilat Indonesia, Prioritaskan Beri Edukasi ke Para Jemaah
Pihak Satuan Intelkam Polrestabes Surabaya telah menemukan penyebabnya.
Melalui wawancara eksklusif antara Kasat Intelkam Polrestabes Surabaya AKBP Edi Hartono kepada BANGSAONLINE.com, pihaknya membeberkan, mengapa aksi para kelompok bersenjata masih terus bermunculan?
“Masalah dengan anggota gangster atau kelompok anggota perguruan silat merupakan masalah yang komplek, hal itu bisa disikapi bila semua institusi dan masyarakat ikut peduli dan menjaga. Beberapa waktu lalu Kota Surabaya pernah bergelar sebagai darurat gangster adalah pukulan bagi kami. Dimana pihak kepolisian terutama Polrestabes Surabaya dan jajaran seolah-olah tidak bisa menjaga ketertiban dan keamanan,” ujarnya, Selasa (28/2/2023).
Baca Juga: Korban Tewas, Begal Perempuan di Surabaya Hanya Dikenakan Pasal Curat, Pengacara Beberkan Alasannya
Menurut Edi Hartono bahwa dalam upaya menyelesaikan atau meminimalisir aksi tersebut harus ada kerjasama dari sejumlah pihak, tentunya para pendekar masing masing perguruan silat berperan penting. Para pimpinan cabang perguruan silat kurang bertindak tegas kepada para anggotanya.
“Seharusnya bagi para pimpinan cabang dan pendekar lebih peka melakukan tindakan pencegahan kepada para anggotanya bila akan melakukan konvoi, terutama setelah melakukan pelatihan. Sebenarnya bisa terdeteksi kapan para anggota akan melakukan konvoi di jalan, selama pantauan kami tiap hari Sabtu malam minggu para anggota perguruan silat melakukan konvoi dan itu rentan adanya gesekan dari perguruan silat yang lain,” tambah Edi Hartono.
Selama ini pihak kepolisian adalah petugas pertama yang ditunjuk oleh masyarakat untuk menyelesaikan suatu aksi kejahatan. Namun menurut Edi Hartono pandangan tersebut kurang tepat, “Masyarakat selama ini memandang bahwa polisi adalah segala-galanya yang bisa menyelesaikan permasalahan, itu salah. Dalam kasus seperti ini semua institusi mulai TNI, pemerintah kota dan dibantu masyarakat harus ikut membantu, bila hanya polisi yang diandalkan maka diyakinkan ketertiban dan keamanan akan sulit terwujud,” tutup Edi Hartono. (yan/git)
Baca Juga: Hearing Lanjutan soal RHU dan Efek Pengendara Mabuk, DPRD Surabaya Soroti SOP, Perizinan, dan Pajak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News