JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Pemerintahan Presiden Jokowi terus mendorong mobil listrik. Bahkan, meski banyak hutang, pemerintah memberi subsidi mobil listrik sebesar Rp1,6 trilun pada tahun 2023. Subsidi mobil listrik akan naik menjadi Rp4,9 trilun pada 2024.
Banyak kritik, baik dari pengamat maupun masyarakat. Mereka menilai sikap pemerintah menghamburkan uang rakyat berlebihan kepada orang kaya. Menurut mereka orang yang beli mobil itu orang kaya, tak perlu dibantu. Padahal di berbagai penjuru nusantara masih banyak orang miskin, termasuk yang masih sulit makan.
Baca Juga: Prabowo ke China Bawa Tommy Winata dan Prayogo Pangestu, Siapa Dua Taipan Itu
Sebagian lain mengeritik, pemerintah sengaja memberi subsidi mobil listrik karena ingin “memfaslitasi” pemerintah China yang sangat gigih memproduksi mobil listrik.
Bahkan sebagian lain mengaitkan dengan kedaulatan negara. Menurut mereka – atau kritik mereka – jika semua rakyat Indonesia – yang kaya maksudnya – beralih ke mobil listrik, maka kelak akan sangat mudah ditaklukkan oleh bangsa lain, terutama China.
Kenapa? Karena ketergantungan pada listrik sangat riskan dan penuh risiko. Bisa saja suatu saat ada sabotage listrik alias dishutdown. Jika listrik padam atau mati, semua mobil tak ada yang bisa berfungsi atau berjalan.
Baca Juga: Dituding Murtad, Dahlan Iskan Jawab dengan Shalat
Kekhawatiran utama – tentu – dari para produsen mobil sendiri. Karena mobil listrik rawan terbakar, jika tabrakan.
Benarkah? Lalu bagaimana solusinya? Silakan baca tulisan wartawan yang juga mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE pagi ini, Jumat 7 Juli 2023. Selamat membaca:
PENGANTAR REDAKSI BANGSAONLINE
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
LEGA. Mantap. Toyota akhirnya mengumumkan keseriusannya memasuki mobil listrik.
Selama ini Toyota dianggap seperti ogah-ogahan terjun ke mobil listrik. Seperti tidak semangat. Terlihat ragu apakah mobil listrik punya masa depan.
Bahkan sampai ada yang berpendapat ekstrem: era mobil listrik akan gagal kalau Toyota belum ikut serta. Dominasi Toyota di pasar mobil menimbulkan tanda tanya besar: ada apa dengan Toyota.
Baca Juga: Tim Anargya ITS Kembali Raih Juara 1 Formula Bharat Pi-EV 2024
Sewaktu berbicara di forum Dies Natalis ke-35 PENS pekan lalu saya belum tahu perkembangan baru itu. PENS singkatan dari Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Tapi saya sudah berani membocorkan info bahwa Toyota pada akhirnya akan masuk ke mobil listrik. Anda pun juga sudah mulai mendengar kisi-kisinya.
Hanya saja selama ini simpang siur. Apa penyebab ogah-ogahan itu. Jepang seperti masih menimbang-nimbang teknologi energi apa yang akan dipilih: baterai atau hidrogen.
Jepang seperti tidak mau salah pilih. Begitu memutuskan pilihannya Jepang harus bisa dijamin keandalannya. Juga keamanannya.
Baca Juga: Pemilu Dungu, Pengusaha Wait and See, Ekonomi Tak Menentu
Jepang, seperti kata Ricky Elson, terkenal tidak mau grusa-grusu. Berpikirnya panjang. Tidak takut kalah cepat. Ricky 14 tahun di Jepang. Punya banyak hak paten di sana.
Amerika, Eropa, Korea, dan apalagi Tiongkok memang sudah jauh di depan. Tesla, BMW, Hyundai, BYD sudah berlomba menguasai pasar. Toyota seperti masih tenang-tenang saja. Pun Honda.
Toyota rupanya tidak mau mengorbankan nama baiknya. Demikian juga Honda. Terutama kepercayaan yang begitu tinggi dari konsumennya.
Baca Juga: Tragedi Sosial, Tak Bisa Belikan iPhone, Seorang Ayah Berlutut Minta Maaf pada Putrinya
Kalau sampai ada mobil listrik Toyota mengalami kebakaran saat tabrakan, reputasi Toyota dan Honda bisa terganggu. Padahal kelemahan utama menggunakan baterai adalah di kebakaran itu.
Maka tidak salah kalau ada yang beranggapan mungkin saja Jepang tidak mau ikut menggunakan teknologi baterai. Jepang rasanya akan memilih teknologi hidrogen. Hanya saja penelitiannya belum kunjung final. Sudah terlihat unggul tapi belum berani memulainya untuk pasar komersial.
Sabar. Tenang. Itulah Jepang. Lebih baik muncul belakangan tapi lebih tepercaya. Hidrogen akan lebih unggul dari baterai. Sudah ada yang menyimpulkan begitu.
Baca Juga: Mobil Listrik Karya Tim Nogogeni ITS Jadi Perhatian Publik di PEVS 2024
Ternyata tidak juga.
Jepang akhirnya juga pilih pakai baterai. Hanya saja baterainya bukan lagi lithium. Yang punya kelemahan bisa terbakar tadi.
Di PENS yang lalu, saya juga memperkirakan Jepang masih menimbang-nimbang: kalau pun akhirnya memilih baterai, tapi baterai yang seperti apa.
Baca Juga: Gandeng Konsorsium Perusahaan Jepang, Pemkot Mojokerto MoU Pengelolaan TPST
Anda pun sudah tahu, para peneliti sangat gigih bersaing. Antara peneliti lithium dan solid state. Mana yang akan unggul.
Untuk sementara lithium unggul. Pemakaian lithium meluas nyaris memonopoli. Tapi para peneliti solid state tidak mau menyerah. Memang mereka kalah di start, tapi akan unggul di finis.
Dan Toyota akhirnya mengumumkan pilihannya: pakai baterai solid state. Tidak pakai bahan likuid, tidak pakai lithium dan tidak pakai nikel.
Tidak akan ada ancaman kebakaran. Secara fisik pun lebih ringan. Lebih kecil. Kapasitasnya lebih besar. Toyota akan langsung masuk pasar dengan jaminan satu kali charging bisa untuk 1000 km. Bisa untuk Jakarta-Surabaya.
Kalau pun harus charging di tengah jalan tidak merepotkan. Cukup 10 menit atau kurang.
Itulah keunggulan solid state.
Jepang, Toyota, memilihnya tidak hanya karena itu. Jepang tidak mau tergantung pada ketersediaan bahan baku. Dengan memilih solid state Jepang tidak bisa didikte Tiongkok.
Bahan baku lithium dikuasai oleh Tiongkok. Memang ada negara lain yang juga memproduksinya. Sangat besar. Yakni Kongo di Afrika. Tapi pemilik tambangnya Tiongkok juga.
Koji Sato, CEO Toyota, akhirnya membuat pernyataan ini: "Dunia berubah dengan cepat dalam hal mobil listrik. Saya pikir Toyota harus bisa menemukan solusi di bidang itu. Kita akan dorong ke masa depan dengan cepat".
Yang dimaksud cepat itu: tahun 2027. Empat tahun lagi. Tahun itu, mobil listrik Toyota dengan baterai solid state bisa Anda beli. Lebih murah. Mestinya. (Dahlan Iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News