Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'i MAg. . .
BANGSAONLINE.com - Dua sifat penghuni surga telah dikemukakan sebelumnya, yakni tidak punya rasa dengki dan penuh rasa persaudaraan antar sesama. Kemudian yang ketiga menunjuk suasana ketika mereka berada di atas ranjang, yakni berasyik-asyikan dengan posisi berhadap-hadapan. Apa yang digagas dalam sikap "mutaqabilin" ini?.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Ada dua isyarat makna terkandung dalam terma ini. Pertama, dalam kontek tamu surga dengan bidadari yang disediakan. Artinya, posisi tamu berhadap-hadapan dengan bidadari ketika sedang berada di atas ranjang ('ala surur). Saling bertatap muka adalah sikap saling menerima, sama-sama mau dan sama-sama semangat, sehingga hasrat biologis terpenuhi secara sempurna.
Posisi "mutaqabilin" mengandung pelajaran bagi kehidupan suami istri, utamanya saat sama-sama di atas ranjang. Ketika sudah di atas ranjang, masing-masing harus dalam keadaan leqowo, tidak ada sesuatu yang mengganjal sehingga tidur dalam posisi berhadap-hadapan dan tidak singkur-singkuran.
Tidur dengan posisi menghadap pasangan adalah rahmat, maka dianjurkan karena membawa kemaslahatan dan keharmonisan. Sedangkan tidur dengan posisi menyingkur pasangan mengandung teka-teki dan kecurigaan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
"Mutaqabilin" juga sebuah perintah, bahwa semua persoalan rumah tangga harusnya sudah selesai sebelum tidur. Tidak baik membawa persoalan hingga ke ranjang malam, karena bisa mengganggu acara inti di atas ranjang itu sendiri.
Meski begitu, dibutuhkan adanya kearifan tersendiri memaknai tidur menyingkur. Karena bisa jadi, bahwa posisi tersebut murni sebagai bagian dari gerak tubuh biasa agar tidak terus menerus dalam satu posisi, yang mana kurang baik menurut kesehatan. Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan emosional terhadap posisi singkur dengan berburuk sangka.
Kedua, mutaqabilin dalam kontek antar teman. Artinya, penghuni surga itu saling menghormat dan menghargai lawan bicara. Ketika anda berbicara dengan orang lain, maka dianjurkan menatap wajah teman anda. Kecuali jika lawan bicara anda adalah orang yang lebih tinggi derajatnya, seperti santri dengan kiai, maka sopannya santri berbicara sambil merunduk. Hal itu mengikuti perilaku sahabat yang tidak pernah menatap wajah Rasulullah ketika bicara berhadap-hadapan.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Begitu halnya ketika anda sedang menjabat tangan dengan orang lain, disunnahkan menatap wajah partner anda secara wajar. Itu lebih mencerminkan penghormatan dan lebih menghargai.
Hindari menjabat tangan orang lain dengan pandangan mata liar dan berpaling. Atau terlalu melotot dan lama, sehingga membuat teman anda keki, tidak nyaman dan berperasaan. Walhasil, penghuni surga itu sikapnya terbuka dan menebar kenyamanan kepada orang lain, termasuk kepada lingkungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News