Oleh: Rosdiansyah
Dalam sejarah umat manusia, perubahan merupakan jalan menuju perbaikan serta kemajuan. Utamanya, untuk membangun peradaban yang unggul. Tanpa perubahan, itu artinya selalu ingin berada dalam kondisi statusquo, tanpa kemajuan apalagi bertujuan membangun peradaban.
Baca Juga: Warga Pandaan Jadi Korban KDRT WNA Australia, Penasihat Hukum Keluhkan Kinerja Polres Pasuruan
Oleh karena itu, sejarah kemanusiaan mustahil mengabaikan perubahan. Mereka yang hendak tetap di zona nyaman tentu alergi bahkan resisten pada perubahan. Mereka ini tak mau berubah. Mereka ingin tetap status-quo, menggarong APBN, menyedot sumber daya alam (SDA), mempermainkan aturan, menginjak harkat dan martabat rakyat banyak. Karena dengan melakukan semua itu, para elit status quo bisa hidup nyaman.
Kenyamanan segelintir orang yang telah mengakibatkan kebobrokan termasuk kerusakan sistemik serta masif berdampak langsung pada keseharian warga biasa. Contohnya, harga beras tinggi, maka butuh perubahan. Pupuk langka untuk petani, perlu perubahan. Lapangan kerja tambah sulit, kudu ada perubahan. Perubahan menjadi kata kunci bagi warga kebanyakan agar bisa merasakan hidup nyaman.
Keinginan untuk berubah bukan keinginan personal. Itu keinginan kolektif. Keinginan bersama, demi masa depan anak cucu yang lebih baik. Warga biasa yang menyadari perlunya perubahan sudah kian meluas. Mereka merasakan sendiri betapa hidup sehari-hari kian sulit memenuhi kebutuhan pokok. Ketika seorang penjual tempe di Pasar Soponyono Rungkut ditanya, kenapa harga tempe merambat mahal. Ia menjawab, harga kedelai saat ini mahal. Akibatnya, irisan tempe kian tipis di rumah, begitupula tempe goreng penjual di jalanan.
Baca Juga: Persiapan Persekabpas Hadapi Liga Nusantara, Exco PSSI Rapat Bersama Klub Anggota Askab
Itu bukan dramatisasi. Itu bukan fiksi. Itu contoh fakta sehari-hari, bahwa perubahan dibutuhkan siapapun. Siapa saja yang sadar dan peduli masa depan kebutuhan sehari-hari, ia sudah semestinya gabung ke arus perubahan. Jika tidak, maka perubahan hanya menjadi gunjingan saja minus aksi nyata di lapangan. Oleh karena itu, perubahan perlu keterlibatan semua warga masyarakat yang kini sudah merasakan hidup kian sulit.
Maka, momentum perubahan adalah momentum bersejarah. Setiap babak sejarah selalu diawali dengan perubahan. Itu panggilan profetik kepada aktor-aktor perubahan. Sebaliknya, mereka yang anti perubahan adalah elit zona nyaman yang dalam sejarah kenabian selalu beraneka wujud. Ada Raja Namrud. Ada Jalut. Ada Abu Jahal. Dan masih banyak lagi. Mereka itu elit zona status quo yang menjadi lawan rakyat biasa rindu perubahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News