Andai Nabi Hidup di Surabaya Makan Rawon dan Rujak Cingur? Tafsir Al-Quran Aktual HARIAN BANGSA

Andai Nabi Hidup di Surabaya Makan Rawon dan Rujak Cingur? Tafsir Al-Quran Aktual HARIAN BANGSA Dr KH Ahmad Musta'in Syafi'i. Foto: Tebuireng Online

Oleh: Dr KH Ahmad Musta'in Syafi'i

PENGANTAR REDAKSI BANGSAONLINE

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz).Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Nah, kali ini tafsir Surat Al-Anbiya: 8-10. Selamat mengikuti: 

NABI ITU MANUSIA, AL-ANBIYA :8-10

Pada ayat sebelumnya ditutur soal para rasul dari kalangan laki-laki dengan tujuan lebih leluasa bergerak kala menyampaikan wahyu. Makanya, umat dipersilahkan bertanya masalah agama jika tidak mengerti. Bertanya adalah kunci pembuka segala yang terbelenggu dan pencerah segala yang kelam.

Baca Juga: Pertama di Indonesia, Pentas Wayang Perjuangan Hadratussyaikh, Dalang Ki Cahyo Kuntadi Riset Dulu

Lalu, pada ayat kaji ini menyambung betapa seorang Rasul itu, meski dia kekasih Tuhan, dia tetap manusia yang mesti makan, butuh minum dan segala yang dibutuhkan manusia pada umumnya. Termasuk mempunyai syahwat dan butuh bercumbu dengan istri.

Andai nabi itu hidup di Surabya, kiro-kiro yo ndahar rawon, rujak cingur, es

janggelan dan lain-lain. Mereka juga pasti mati seperti layaknya makluq dan tidak ada yang hidup selamanya. “Wa ma kanu khalidin”. Hanya DIA saja yang maha kekal dan tak terbatas.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Nabi itu manusia yang diutus untuk manusia. Karena sama-sama manusia, maka lebih pas dan lebih bisa mengerti tentang kebutuhan manusia. Termasuk makan dan minum, sex dan hiburan. Oleh agama, semua itu diatur bukan digusur.

Aturannya pasti berdasar maslahah. Makanya, maling dilarang, termasuk menjahati orang, minuman keras dan berzina. Semua itu pasti berdampak buruk. Lebih besar dampak rusaknya, ketimbang baiknya.

Kebutuhan seks manusia ada yang tinggi dan dia mampu berlaku bijak serta mumpuni. Ya, maka silakan menikah hingga empat wanita sesuai aturan agama.

Baca Juga: Polemik Nasab Tak Penting dan Tak Ada Manfaatnya, Gus Fahmi: Pesantren Tebuireng Tak Terlibat

Manfaat, maslahah dan pahalanya besar. La wong menikahi satu wanita saja berpahala, apalagi empat.

Manusia juga butuh makan dan minum. Ya, tapi itu perlu dikendalikan biar tidak menjadi budak perut. Maka ada syari’ah puasa yang sungguh bermanfaat dan menyehatkan. Porsi puasa sudah diatur agama sedemikian rupa, makanya Rasululaah SAW tidak menyukai orang yang berpuasa sunnah setiap hari. Itu sama saja dengan makan yang dibalik waktunya. Sama saja dengan orang yang siang hari makan, tetapi pada malam hari tidak.

Lalu, nabi menunjuk puasa sunnah yang terbaik, yaitu puasa versi nabi Dawud A.S. Yakni, satu hari berpuasa, hari berikutnya tidak. Begitu seterusnya bergantian.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

“Afdlal al-shiyam shiyam Dawud..”. Puasa macam ini betul-betul berat dan mengocok perut. Isi, tidak. Isi, tidak, Isi, tidak.

Hikmah puasa Dawud..?, jangan tanya, Lakukan saja. Joss poko-e. Meski puasanya berirama, tapi kalau pas hari terlarang, seperti hari raya, hari-hari tasyriq, ya harus tidak puasa. 

Yang ada nash larangan wajib dipatuhi. “Laqad anzalnya ilaikum fih dzikrukum”. Tuhan telah menurunkan kitab suci al-Qur’an yang di dalamnya ada “dzikr” mengenai kalian. Di sini, kata “dzikrukum” bisa bermakna aturan-aturan, hukum-hukum, tata etik dan lain-lain yang menjadi pengingat, pedoman hidup kalian. Juga bermakna “kemuliaan, keluhuruan, derajat dan lain-lain.”. Sebab orang yang disebut-sebut dalam kontek pemujian pasti orangnya mulia.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

“ Kitaba fih dzikrukum”. Sisi lain, bahwa “kitab”, tulisan, karya tulis, karya ilmiah adalah media keluhuran, sekaligus cerminan kehormatan si penulisnya. Derajat penulisnya tercermin dari tulisan yang ada pada kitab atau buku itu.

Imam al-syafi’ie, secara keilmuan, dibanding dengan imam-imam mujtahid lainnya adalah imbang-imbang saja. Sama sama mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Tapi dalam sebarannya, dunia mengerti bahwa madzhab Syafi’ie lebih banyak mewarnai khazanah keilmuan dan merajai perpustakaan. 

Baca Juga: Terima Dubes Jepang untuk Indonesia, Pj Gubernur Jatim Bahas Pengembangan Kerja Sama

Mengapa? Karena para ashab, para muridnya adalah penulis-penulis ulung yang aktif, terampil dan piawai. Lihat saja di dalam bidang fikih, dari imam Al-Nawawi, al-Rafi’ie dan seterunya hingga sampai ke Abi Suja’, Matn al-Taqrib. Jadi al-Sayfi’ie itu diuntungkan karena punya santri-santri penulis. Nama al-Sayfi’ie itu - antara lain - dibesarkan oleh para murid-muridnya yang penulis hebat. Beda dengan imam madzahb lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO