Tafsir Surat Thaha tentang Kebutaan di Akhirat, Kajian Pakar Tafsir Dr Kiai A Musta'in Syafi'i

Tafsir Surat Thaha tentang Kebutaan di Akhirat, Kajian Pakar Tafsir Dr Kiai A Musta Dr KH Ahmad Mustain Syafi'ie. Foto: Tebuireng Online

Oleh: Dr KH Ahmad Musta’in Syafi’i, M.Ag

Rubrik ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Thaha: 124 – 126. Selamat mengikuti.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Gunung-Gunung Ikut Bertasbih

THAHA : 124-126

TAFSIR

Empat ayat kaji ini adalah kelanjutan ayat kaji sebelumnya yang berbicara tentang anak manusia yang diturunkan ke bumi, lalu dinasehati agar pandai-pandai mengunduh hidayah Tuhan. Jangan sampai menjauh dan berpaling karena menyebabkan kesengsaraan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Nabi Daud Melahirkan Generasi Lebih Hebat, Bukan Memaksakan Jabatan

Diingatkan, bahwa siapa berpaling dari Tuhan maka hidupnya sumpek, tidak fresh dan tidak mendapatkan ketenangan hakiki, “ma’isyah dlanka”. Tuhan tidak membicarakan materi, kekayaan atau uang. Karena tidak ada korelasi positif, bahwa yang bertaqwa pasti kaya dan yang durhaka pasti melarat.

Ma’isyah serumpunan dengan kata “asya - ya’isy – isyah –ma’isyah “, artinya hidup, kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah materi atau uang. Tapi uang bukan satu-satunya kehidupan, melainkan salah satunya.

Di sini baru bisa dibedakan : antara orang beriman yang punya kekayaan dan orang kafir yang juga punya kekayaan. Sama-sama punya kekayaan, tapi rasa dalam kehidupannya berbeda.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: 70 Persen Hakim Masuk Neraka

Orang beriman dan bertaqwa akan mengerti manfaat kekayaan secara hakiki. Kekayaah itu dipakai untuk membeli surga sebaik-baiknya, surga kelas atas yang mesti mahal harganya. Seperti halnya kita booking hotel kelas vvip. Maka dia loyal berderma dan ikhlas bersedekah di jalan Tuhan tanpa pernah takut menjadi miskin. Orang ini pasti hidupnya sangat lega dan serba indah.

Berbeda dengan orang kafir yang pandangan hidupnya hanyalah duniawi, uang dan kekayaan, maka uang dianggap tujuan dan puncak kebahagiaan. Dan ternyata salah. Berapa banyak tercatat mereka yang bunuh diri setelah menjadi sukses, kaya raya dan top dalam dunianya. Ya, karena tidak ada iman dan tidak ada Tuhan di dalam dirinya.

Di televisi pernah ada unggahan orang kaya yang sumpek, setelah memandangi uangnya yang menumpuk. Lalu dibagi-bagikan mendadak ke orang miskin sekitar. Baru dia merasa lega. Dia menyesali karena selama ini tidak mengerti kegunaan uangnya sendiri. Tapi tidak ada orang yang bersedekah dan menyesali kesedekahannya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Bagi orang yang bertaqwa dan mengerti kewajiban bersedekah, maka kekayaan itu kayak kotoran dalam perut yang membahayakan. Maka cepat-cepat membuang kotoran ke WC akan memperlega dan menyehatkan. Plong dan tidak pernah terpikirkan kemana kotoran itu. Itulah tamsilan orang yang ikhlas bersedekah di jalan Allah SWT.

Mereka yang durhaka itu, ternyata di khirat nanti dia tidak bisa melihat alias buta. Lalu, mereka protes kepada Tuhan. “Ya Tuhan, dulu, waktu kami di dunia bisa melihat, kok sekarang menjadi buta..?”. “ Lim hasyartani a’ma wa qad kunt bashira”.

Yang segera dijawab oleh Tuhan, : Ya, karena dulu kalian senagaja membutaibutakan diri dan berpaling dari ayat-ayat suci Kami. Maka adil toh, sekarang kalian tidak buta dan terlantarkan..?”. “ Kadzalik, atatka ayatuna fanasitaha wa kadzalik al-yaum tunsa”.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Sesungguhnya kata “a’ma” punya dua makna, yaitu makna hakiki yang berarti buta mata, tidak bisa melihat dan makna majazi, yaitu buta hati, tidak bisa melihat kebenaran. Di dalam al-qur’an, umumnya dipakai makna majazi. Tetapi dalam dialog pada ayat ini bisa dipakai keduanya secara proporsional.

Saat di akhirat, orang-orang kafir sangat mungkin buta mata benaran, sehingga berjanan natap-natap dan tidak tahu kemana harus berlindung. Dan sesungguhnya itulah siksaan pendahuluan. Makanya mereka mengeluhkan kebutaannya tersebut berdasar kondisi mereka saat di dunia yang benar-benar sehat dan bisa melihat.

Baru sadar setelah diberi penjelasan oleh Tuhan, bahwa kebutaan mereka sekarang yang sangat menyengsarakan dan natap-natap tersebut adalah akibat dari kebutaan hati mereka kala di dunia dulu yang congkak dan tidak menerima ayat-ayat suci Tuhan.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO