Oleh: Dr. K.H. Ahmad Musta'in Syafi'i, M.Ag
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Thaha: 124 – 126. Selamat membaca.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
ANEKDOT MUFASSIR BUTA
Masih dalam lingkup surat THAHA : 124-126. Kata “a’ma” dengan segala derivasinya, baik berbentuk fi’il maupun isim, seperti ‘ama, ummiyat, ta’ma, a’ma, ‘umyu semuanya bermakna majazi, yaitu buta hati, kecuali satu, kata “a’ma” dalam surah Abasa :2 yang bertutur tentang sahabat mulia bernama Adbullah ibn Umm Maktum. Dia memang seorang buta penglihatan mata, sehingga yang dipakai adalah makna hakiki.
Di kalangan mufassirin ada dua kelompok. Pertama, kebanyakan mufassirin memandang bahwa dalam al-qur’an ada kata dhahir yang berorientasi pada makna hakiki dan ada kata kiasan atau majazi, termasuk bentuk tasybih, kinayah dan lain-lain.
Baca Juga: Tambah Wawasan soal Dunia Jurnalistik, Siswa SMA AWS Kunjungi Kantor HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE
Alasan yang mereka kemukakan adalah, sebab tradisi bangsa arab itu sangat kental dengan kalimat majazi, kiasan atau tasybih. Gelar dan pujian maupun hinaan biasa pakai tamsilan. Justeru bahasa majaz mencerminkan kecerdasan dan kedalaman makna. Seperti al-kalb, anjing sebagai gelar bagi orang cerdas, dedikasi dan patuh. Seperti loyalitas anjing kepada majikan.
Maka tidak asing nama-nama orang Arab pakai nama binatang atau alam. Kakek buyut Rasulullah SAW namanya Kilab (anjing), Usamah (macan), Jabal (gunung), Bazz (elang), Badr (purnama) dan lain-lain
Begitu halnya ketika memberi gelar seseorang. Gelar pujian dipakai kata yang terhormat, seperti Syams (mentari), Badr (purnama), “anta syams anta badr”. Asad (singa), asadullah, singa Tuhan, gelar yang diberikan Rasulullah SAW teruntuk sang paman, Hamzah.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Lalu apa gelar untuk orang dungu? Yang dungu dijuluki “himar”. Al-Qur’an hadir menyesuaikan dengan bahasa mereka dan dimengerti. Ulama sunny berpihak pada pandangan ini.
Kelompok kedua berpendapat, bahwa di dalam al-Qur’an hanya ada kata dhahir, makna hakiki, bahasa formal dan tegas saja, tidak ada kata sindir, kiasan, majazi, tashbih dan sebangsanya.
Alasannya, karena bahasa majazi itu ambiguitas, bersayap dan punya banyak makna sehingga bisa menjebak pembaca ke salah pengertian. Dan begitu itu sama dengan bentuk kebohongan, “al-kadzib”. Mereka berujar “ al-majaz akh al-kadzib”. Bahasa majazi itu sesaudara dengan bahasa kebohongan. Dan ulama ahli dhahir, semisal al-Imam Dawud, Ibn Hazm adalah sponsor pandangan ini.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Di Arab, suatu ketika ada seorang ulama yang berpola pikir dhahiri kuat sekali dan diorasikan dengan semangat tinggi di hadapan publik. Beberapa ayat yang dipahami sebagai bahasa majaz oleh ulama sunny ditafsir sesuasi dasar pemikiran mereka. Dan, kiai ini ketepatan buta penglihatannya, sehingga pakai kaca mata.
Lalu, berdirilah seorang pendengar dan mengajukan permohonan agar ayat nomor 72 surah al-Isra’ ini dimaknai. Dia baca ayat itu: “Wa man kan fi hadzihi a’ma fahuw fi al-akhirah a’ma wa adlall sabila”. Barang siapa yang di dunia ini “a’ma” (buta), maka di akhirat nanti dia juga “a’ma” (buta) dan sesat banget. Si kiai buta itu langsung pucat dan segera ngluyur meninggalkan tempat.
PENGHAFAL AL-QUR’AN ITU MENANGIS
Baca Juga: Alasan Hadratussyaikh Tolak Anugerah Bintang Hindia Belanda, Kenapa Habib Usman Bin Yahya Menerima
Ayat kaji di atas (126) bertutur tentang orang yang buta di akhirat karena saat di dunia membutakan diri dan mengingkari ayat-ayat Tuhan. Tidak mengimani al-Qur’an serta tidak pula memeluk agama Islam secara sungguhan. Itulah makna yang umum terambil dari teks ayat tersebut.
Namun ayat tersebut menggunakan kata “ayatuna” (ayat-ayat Kami) dan kata “fanasitaha” (maka kamu melupakannya). Jadinya, kata “ayatuna” dipahami sebagai ayat-ayat al-Qur’an yang sudah dia hafal, dan kata “fanasitaha” dipahami sebagai “ telah anda lupakan.
Sehingga wajarlah bila ayat ini juga dipahami sebagai sindiran, bahkan sekaligus warning, peringatan keras khusus kepada para penghafal al-Qur’an yang sudah hafal dan tidak menjaga hafalannya secara baik, sehingga banyak ayat-ayat yang lupa.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Tersebutlah di sono seorang yang hafal al-Qur’an, tetapi hafalannya kurang bagus, alias beberapa ayat ada yang dilupakan. Hatinya lembut dan sensitif terhadap pesan-pesan kalam suci. Setiap kali membaca ayat ini, dia meneteskan air mata dan menangis tersedu-sedu.
Dengan suara lirih dia bersimpuh dan meminta perlindungan kepada Tuhan dari ancaman ayat ini. Ia mohon diberi istiqamah menjaga hafalan al-Qur’an. Mohon setiap saat, baik di dunia maupun di akhirat nanti bisa selalu bersama al-Qur’an. “ Allahumma ma’al-Qur’an”. Amin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News