Nabi Muhammad Panglima Top, Kenapa Tak Wafat di Medan Perang, Tafsir Al-Quran Aktual HARIAN BANGSA

Nabi Muhammad Panglima Top, Kenapa Tak Wafat di Medan Perang, Tafsir Al-Quran Aktual HARIAN BANGSA Dr KH Ahmad Musta'in Syafi'ie. Foto: NU Online

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie

Rubrik ini diasuh oleh pakar tafsir Dr KH A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir munpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng. 

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Gunung-Gunung Ikut Bertasbih

Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Abiya: 34-35. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca ini:

MATA-YAMUTU dan MATA-YAMATU

“Afa’in mitt fahum al-khalidun”. Mosok.., kamu (Muhammad SAW) mati, sementara mereka, rasul-rasul sebelum kamu, hidup terus. Pada potongan ayat ini dibahas dua hal :

Baca Juga: Kiai Asep Beri Reward Peserta Tryout di Amanatul Ummah, Ada Uang hingga Koran Harian Bangsa

Pertama, soal huruf hamzah pada ayat tersebut :” A - fa’in..” berfungsi sebagai “istifham”. Bentuk pertanyaan, kata tanya, “apakah..?”. ulama sepakat bahwa istifham pada ayat kaji ini berfaedah sebagai “inkary” atau istifham inkary. Yaitu pertanyaan yang bernada pengingkaran, pertanyaan yang tidak perlu dijawab, tidak perlu ada jawaban, karena jawabannya pasti pengingkaran, pasti “TIDAK”.

Istifham inkary itu kayak Anda bertanya kepada Cak Haji Mas’ud Adnan, pemimpin Harian BANGSA ini,:” apakah bapak memang presiden negeri ini..?”. dan itu tidak perlu dijawab, karena jawabannya pasti “tidak”.

Kesimpulan dari ta’bir yang berbentuk istifham inkary pada ayat di atas adalah, bahwa benar-benar para nabi atau para rasul terdahulu, sebelum nabi Muhammad SAW adalah sudah wafat semua dan tidak ada seorangpun yang hidup.

Baca Juga: Kedudukan Pers Sangat Tinggi dalam Undang-Undang, Wartawan Harus jaga Marwah Pers

Kesimpulannya adalah, bahwa Rasulullah Muhammad SAW adalah Rasul tunggal, rasul terakhir, rasul akhir zaman.

Kedua, tentang lafadh “MAT” (MATA), fi’il madly yang artinya “mati, wafat, meninggal ”. Ini terkait dengan displin ilmu sharaf yang kita mencoba memadukan dengan disiplin bertafsir, kaitannya dengan ilmu ma’any. Ulasannya sebagai berikut :

Ada MATA-YAMUTU, kategori bab satu (fa’ala-yaf’ulu) versi al-Amtsilah al-Tashrifiyah, seimbangan dengan lafadhSHANa-YASHUNu “, atau masuk ketegori bab tiga (fa’ala-yaf’alu) seimbangan dengan: ” KHAFa-YaKHAFu “.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Nabi Daud Melahirkan Generasi Lebih Hebat, Bukan Memaksakan Jabatan

Jika masuk kategori bab satu, maka apabila dipasang dlamir muttashil, jadinya: mutta, mutti, muttu, mutna. Sewazan dengan “shunta, shunti, shuntu, shunna”.

Dan ini yang paling populer di kalangan pondok pesantren.

Jika masuk kategori bab tiga, maka menjadi: ”Mitta, mitti, Mittu, Mitna“, sewazan dengan “khifta, khifti, khiftu, khifna”. Keduanya ada dalam lughah fusha, meskipun yang versi akhir ini tidak populer di kalangan ilmuwan pondok pesantren, termasuk kurang mendapat perhatian dari kalangan pengajar Bahasa Arab negeri ini.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: 70 Persen Hakim Masuk Neraka

Ya, tapi di ulum al-qira’ah, dua bacaan itu ada. Keduanya tertera dalam al-mushaf, riwayat al-Imam Hafsh dari al-imam Ashim dan berderajat mutawatirah.

Perhatikan qira’ah pada ayat kaji ini, yaitu: ’Afa’in MITTA fahum al-khalidun”.

Huruf mim, fa’ fi’il dibaca kasrah, “mitta”.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Lalu, bandingkan dengan ayat berikut ini: ”Wa la’in qutiltum fi sabilillah aw MUTTUM…”. “ walain MUTTUM aw qutiltum la-ila Allah tuhsyarun”. (Ali Imran: 157-158). Pada kedua ayat ini, huruf mim dibaca dlammah, “muttum”. Kemudian, menyisakan pertanyaan: apakah ada beda makna, antara : “mata-yamutu” dan “mata-yamatu”.

Dilihat dari postur ayat, “muttum” (mata-yamutu), seperti pada dua ayat Ali Imran di atas, didukung pendekatan munasbah dan siyaq al-kalam, ayat tersebut berbicara pada kontek , berjihad, angkat senjata melawan musuh kafir di medan laga. Maka, kata “mata-yamutu” lebih dipakai untuk kematian spektakuler, seperti kematian dalam jihad di jalan Allah, perjuangan fisik di medan .

Sedangkan “mitta” (mata-yamatu) terbaca bahwa ayat ini mengarah ke diri pribadi Rasulullah SAW. Lihat saja, di mana beliau wafat dan pada keadaan apa..?.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Ternyata beliau SAW wafat di rumah, di tengah-tengah keluarga, bukan di medan . Berdasar ini, maka kata “mitta, mata-yamatu” lebih dipakai untuk kematian biasa, bukan di medan .

Meskipun dalam tafsir al-qur’an dibedakan maknanya antara Mata-Yamutu dan Mata-Yamatu, tapi dalam lughah arabiyah, ‘urf al-isti’mal cukup dipakai yang Mata-Yamutu saja dan itu benar, cukup untuk membahasakan semua jenis dan kondisi kematian. Allah a’lam.

Lalu, apa hikmah Nabi Muhammad SAW wafat di rumah, tidak di medan , padahal beliau adalah panglima paling top..?.

Baca Juga: Tambah Wawasan soal Dunia Jurnalistik, Siswa SMA AWS Kunjungi Kantor HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE

Andai beliau wafat di medan , maka dikhawatirkan kematian beliau sebagai sunnah Rasul, sebagai syari’ah yang wajib diikuti. Dikhawatirkan ada umatnya yang memaksakan diri meniru nabi dalam kematiannya, berusaha mati-matian atau memati-matikan diri di pean dengan dalih ittiba’ lisunnah Rasulillah SAW. Wah.. bisa-bisa di otaknya ada dan terus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sensasi Naik Kapal Cepat ke Pulau Sabang, Perjalanan Jurnalistik CEO HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO