Oleh: Suhermanto Ja’far
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
SURABAYA, BANGSAONNLINE.com - PBNU dalam pusaran Pilpres terus menjadi sorotan publik, terutama warga NU, wabil khusus para kiai. Khittah mereka dipertanyakan karena diindikasikan terlibat dukung-mendukung capres-cawapres. Bagaimana seharusnya sikap PBNU dalam perspektif khittah 26?
Di bawah ini lanjutan tulisan Suhermanto Ja’far, dosen Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan pertama berjudul "Mengurai "Lipstik Khittah NU". Selamat membaca:
NU masih menjadi “pemain” politik nasional kendati berada di luar struktur, bahkan terkadang cukup jadi penonton. Justru karena itu, pemain di dalam struktur NU sering tergoda untuk terlibat dalam pragmatisme politik partisan, atau minimal menjadi pendukung.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Godaan inilah yang sulit dihindari dan sering mengganggu khittah NU, ketika kita tidak bisa menempatkan diri sebagai pengurus yang ada dalam struktur NU dalam berbagai level.
Khittah NU 1926 dirancang dan dicanangkan pada Muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo yang merupakan kode etik NU sebagai aturan tertinggi organisasi. Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta khittah NU “dimantapkan”, maka pada Muktamar NU ke-29 di Cipasung Tasikmalaya tersebut khittah NU telah menjadi panduan dan pedoman yang harus dijalankan dan ditaati oleh seluruh pengurus NU dari berbagai level.
Melihat mata rantai muktamar tersebut, tampaknya khittah NU akan tetap diagendakan sebagai pegangan strategis dan politis bagi warga NU yang terjun ke dunia politik. Persoalannya sekarang, sejauh mana khittah NU tersebut perlu dipertahankan, sementara tuntutan untuk kembali ke wilayah politik praktis masih menjadi obsesi banyak warga nahdliyyin terutama kiai-kiai NU? Terbukti, mereka masih terlibat dalam sejumlah manuver politik sekarang ini. Pertanyaan tersebut relevan dikemukakan, sebab walau sudah kembali ke khittah 1926, naluri politik warga NU masih sangat peka, bahkan khittah 1926 itu sendiri sesungguhnya juga merupakan langkah politik NU.
Baca Juga: Hari Santri Nasional 2024, PCNU Gelar Drama Kolosal Resolusi Jihad di Tugu Pahlawan Surabaya
Mitos Khittah NU 1926 menimbulkan sebuah perdebatan yang berkelanjutan setiap pemilu dari masa ke masa, termasuk pemilu 2024. Mitos dalam semiotik Roland Barthes merupakan tipe pembacaan dan pemaknaan tentang sebuah tanda. Ketika Khittah menjadi sebuah tanda, maka secara otoritas, Pengurus NU pada level tertinggi cenderung memberikan pemaknaan sewenang-wenang, sehingga muncul konflik interpretasi baik antara pengurus PBNU maupun antara NU Struktural dengan NU kultural.
Memang harus diakui, sampai saat ini terjadi berbagai macam interpretasi terhadap khittah NU 1926. Masing-masing kelompok menginterpretasikan sesuai dengan kepentingannya hingga yang tampak kemudian adalah fragmentasi interpretasi, suatu pemahaman yang tidak utuh. Hal ini bukannya tidak baik, asal masih tetap berpijak pada semangat kebersamaan dengan konsisten pada nilai-nilai yang universal. Sehingga akan terjadi dialog dan kritik wacana yang lebih memacu dinamika internal warga NU.
NU sebagai realitas harus dipahami dari dua sisi, yakni NU sebagai realitas sejarah yang menyangkut realitas politik, juga NU sebagai realitas kultural yang menyangkut masalah realitas massa. Bagian pertama tentang realitas sejarah, pernah melandasi tindakan NU untuk kembali ke Khittah. Background sejarah ini memang dilandasi oleh realitas politik saat itu (baca Andree Feillard dan Martin van Bruinessen). Realitas politik saat itu memang merugikan banyak kepentingan-kepentingan politik dan strategis. Dan ini ditanggapi oleh kaum muda NU sebagai bentuk keprihatinan atas cita-cita pendiri NU.
Baca Juga: Ba'alawi dan Habib Luthfi Jangan Dijadikan Pengurus NU, Ini Alasan Prof Kiai Imam Ghazali
Bagian kedua tentang realitas kultural merupakan realitas warga NU yang berada diluar Struktural. Realitas kultural ini yang cenderung menjadi kekuatan penyeimbang dari struktural NU dengan melakukan koreksi dan kritik (dalam makna Kant) terhadap keterlibatan struktur pengurus PBNU terhadap politik partisan. Banyak sekali kasus, keterlibatan struktur NU dalam dukung mendukung dalam pilpres, pilgub, pilbup terhadap calon tertentu sering kalah karena tidak berbanding lurus dengan pilihan warga kultural NU.
Pada pemilu 2024 saat ini, secara kasat mata dapat kita lihat adanya keterlibatan PBNU secara langsung ataupun tidak langsung dalam pragmatisme politik partisan untuk mendukung paslon tertentu. Muncul pertanyaan, Apakah NU dimanfaatkan siapa atau NU memanfaatkan siapa? Apakah NU dimanfaatkan oleh orang luar NU ataukah orang dalam NU. Pertanyaan berikutnya adalah apa dan bagaimana kepentingan NU dalam pemilu 2024 itu?
Dari sini bagian kedua pembicaraan kita justru menjadi masalah yang penting untuk direnungkan bersama untuk menentukan apa dan bagaimana marwah NU yang sebenarnya.
Baca Juga: Tembakan Gus Yahya pada Cak Imin Mengenai Ruang Kosong
Realitas kultural yang menyangkut realitas massa merupakan suatu kekuatan penyeimbang dalam mempertahankan marwah NU. Disinilah ambivalensi pengurus PBNU yang cenderung menggunakan logika kekuasan yang merasa berhak menerjemahkan dan memaknai Khittah. Dukungan terhdap capres-cawapres, baik dalam bentuk formal maupun non formal, seharusnya dihindari oleh pengurus PBNU sebagai penjaga Khittah. (habis)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News