Indonesia Krisis Etika? Simak Pendapat Hadratussyaikh saat Ditanya Siapa Presiden RI Pertama

Indonesia Krisis Etika? Simak Pendapat Hadratussyaikh saat Ditanya Siapa Presiden RI Pertama Sesama tokoh pejuang kemerdekaan RI KH Abdul Wahid Hasyim sangat dekat Soekarno. Dalam foto tampak saat Kiai A. Wahid Hasyim dan Soekarno salat di Masjid Amerika Serikat (AS) pada tahun 1956. Kiai Wahid Hasyim berada di sebelah kanan persis Soekarno yang sedang berdiri. Foto ini diambil di Masjid Amerika Serikat (AS) pada tahun 1956. Tampak juga tokoh NU KH Zainul Arifin yang berada di sebelah kiri Soekarno. Foto: civitas.com

SURABAYA, BANGSAONLINE.COM – Masalah etika menjadi problem serius bangsa Indonesia belakangan ini. Baik etika sosial, budaya, politik, bisnis, ekonomi, penegakan hukum, keadilan, dan terutama etika dalam penyelenggaran kenegaraan dan pemerintahan.

Banyak para tokoh nasional berintegritas – termasuk para guru besar perguruan tinggi - prihatin terhadap sepak terjang Presiden Joko Widodo. Para tokoh nasional itu menilai Jokowi sebagai kepala negara bukan saja tak bisa menjadi teladan etika tapi juga dianggap telah menghancurkan etika dan akhlak yang selama ini dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.

Salah satu contoh paling menyolok adalah lolosnya Gibran Rakabuming Raka – putra Presiden Joko Widodo – sebagai calon wakil presiden. Gibran yang secara konstitusional tak memenuhi syarat karena belum berusia 40 tahun (Gibran berusia 36 tahun), tapi dipaksakan dengan cara melanggar etika berat lewat Mahkamah Konstitusi (MK) yang kebetulan diketuai pamannya sendiri, Anwar Usman.

Gibran diloloskan lewat siasat "klausul" baru bahwa ia pernah menjabat kepala daerah. Gibran adalah walikota Solo. 

Jadi, meski ia belum berusia 40 tahun, seperti ketentuan konstitusi,  tapi ia pernah menjadi "kepala daerah". Padahal "kepala daerah" yang dimaksud sebagian hakim MK adalah jabatan gubernur. Yang membawahi beberapa kabupaten. Bukan setingkat walikota yang membawahi beberapa kecamatan. Kota Solo hanya terdiri dari lima kecamatan.  

Tapi itulah kehebatan sang paman. Karena itu Majalah Tempo menjuluki Gibran sebagai “anak haram konstitusi”. Ini mudah dipahami karena pelanggaran etika itu memang sangat fatal. Buktinya Anwar Usman kemudian dipecat dari posisinya sebagai ketua MK oleh Dewan Kehormatan Mahkamah Konstitusi (DKMK) yang dipimpin Prof Dr Jimly Ashiidiqie. DKMK memecat adik ipar Presiden Jokowi itu karena dianggap telah melakukan pelanggaran etika berat (dalam meloloskan Gibran).

Lebih fatal lagi, ternyata lolosnya Gibran sebagai cawapres tidak hanya melanggar etika berat di MK. Tapi juga di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Buktinya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberikan peringatan keras ketiga kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari.

Banyak tokoh bangsa menilai bahwa pencawapresan Gibran merupakan sejarah hitam bagi bangsa Indonesia. Terutama dalam perspektif demokrasi dan konstitusi.

Memang sangat ironis. Baru kali inilah seorang presiden Indonesia yang sedang berkuasa “mendorong” anaknya menjadi calon wakil presiden. Lebih ironis lagi, proses pencawapresan Gibran justru dengan cara melanggar etika. Bahkan etika berat.

Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari

Nah, menyaksikan realitas politik yang nihil etika itu alangkah arifnya jika kita simak keteladanan Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari saat penentuan presiden RI pertama.

Hadratussyaikh adalah ulama pesantren yang dikenal sebagai pejuang kemerdekaan RI sekaligus pahlawan nasional RI. Jadi Indonesia berdiri berkat jasa besar Hadratussyaikh. 

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO