JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Kedaulatan Indonesia sangat rentan. Di berbagai bidang. Termasuk pangan, beras, gula, sapi, apalagi timah.
“Indonesia pernah ingin berdaulat di bidang tmah. Tahun 2013,” tulis Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN yang berlatar berlatar belakang wartawan.
Sebelum itu, tulis Dahlan, yang menguasai perdagangan timah di Asia Tenggara justru Singapura.
“Sejak tahun 2013 itu penjualan timah harus melalui Bursa Timah Indonesia,” tulisnya lagi.
Peran Singapura pun merosot drastis. Tinggal sekitar 20 persen.
“Kita memang eksporter timah terbesar di dunia. Tapi saat itu tidak bisa ikut membentuk harga,” tegas Dahlan Iskan.
Menurut Dahlan, sejak ada bursa timah Indonesia itu sebenarnya perdagangan timah Indonesia lebih terkontrol. Tanpa lewat bursa, Bank Indonesia tidak akan mengeluarkan dokumen apa pun. Tanpa dokumen itu bea cukai tidak bisa memprosesnya. Eksporter tidak akan bisa mendapat pembayaran.
Tapi sayang. “Pemegang konsesi terbesar tambang timah kita –BUMN PT Timah– ibarat kuda yang kian tua: tidak mampu lari. Pun hanya untuk mengitari luasnya konsesi di daratan dan laut antara Bangka dan Belitung,” tulis wartawan handal itu.
Menurut Dahlan Iskan, sang kuda juga tidak bisa berubah jadi anjing galak: menggonggong di saat lahannya dijarah terang-terangan oleh penambang ilegal.
“Padahal mereka menjarah tidak dengan sembunyi- sembunyi: pakai traktor, pakai kapal-kapal pengisap, dan pakai armada truk-truk besar,” tulisnya.
Semuanya aman. “Sang kuda hanya berkedip-kedip dari jauh. Betapa kuat backing yang berada di balik semua itu,” tulisnya lagi.
Karena itu Dahlan Iskan merasa kasihan terhadap Facry Ali yang jadi Komisaris Utama (komut) PT Timah.
“Saya kasihan kepada teman saya yang intelektual murni: Dr Fachry Ali. Alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pemikir. Lulusan Australia. Seumur hidupnya jadi pemikir Islam yang hebatnya luar biasa. Lalu entah bagaimana Fachry bisa menjabat komisaris utama PT Timah,” tulis Dahlan Iskan.
“Tepat di saat kerja sama antara swasta dan PT Timah itu ditandatangani. Saya membayangkan bagaimana Fachry harus mengkaji dokumen kerja sama itu. Yang kalau sangkaan Kejaksaan Agung benar, begitu penuh trik dan rekayasa,” tambahnya.
Padahal komut, tulis Dahlan, harus memberikan persetujuan sebelum dirut menandatangani perjanjian bisnis sebesar itu.
“Tentu Fachry punya kecerdasan yang tinggi. Juga punya logika yang kuat. Dibantu pula tim komite audit dewan komisaris. Tapi Fachry terlalu polos untuk mendalami segala jenis udang di balik peyek. Apalagi di antara udang itu ada pula kepitingnya,” jelasnya.
Dahlan Iskan mengaku, sejak tulisannya tentang itu diupload ia mendapat banyak telpon dan dokumen. “Begitu banyak telepon dan kiriman dokumen ke HP saya. Banyak juga yang menyebut RBT. Saya kita itu ring back tone. Ternyata nama orang: mengapa ia belum ditangkap,” tulis Dahlan lagi.
Dahlan mengaku tak bisa menjawab. Lalu apa inti banyak kiriman itu? “Seluruh penambang ilegal di konsesi PT Timah dipersilakan terus menambang. Bahkan bisa meningkatkan hasilnya. Harus dikirim ke smelter “PT Timah”
“Hasil timahnya pun menjadi seperti bayi yang baru lahir: sudah bersih dari dosa ilegal. Sudah bisa disebut timah produksi resmi PT Timah,” tulis Dahlan Iskan.
Dahlan melanjutkan bahwa “Penambang ilegal itu harus dibayar. Swasta itu yang membayar. Angkutannya harus dibayar. Swasta pula yang membayar.”
Untuk memproses di smelter PT Timah yang membayar: ke swasta sebagai pemilik mesin smelter.
“Ongkos memproses timah inilah yang jadi persoalan: mahal sekali. Angka-angkanya belum keluar di media. Pokoknya: sangat mahal. Tidak wajar. Begitu berita yang tersiar,” jelasnya lagi.
“Tentu direksi akan menjawab: harga itu wajar. Pun ketika direksi mengajukan permohonan persetujuan ke dewan komisaris,” tambahnya.
Menurut Dahlan, permohonan itu pasti sudah dilengkapi berbagai macam dokumen pembenar. Juga dilengkapi hasil kajian. Yang semuanya menyebutkan harga itu wajar. Juga menguntungkan PT Timah.
“Mungkin juga akan dipersoalkan: mengapa tidak ditenderkan. Atau jangan-jangan sudah ada tender –apa pun bentuk tendernya. Atau sudah lewat pemilihan langsung –yang juga diakui sebagai salah satu bentuk tender,” tulisnya lagi.
Maka intinya, tegas Dahlan, adalah: berapa harga yang harus dibayar PT Antam untuk memproses timah ilegal tersebut. Lalu siapa yang harus menilai harga itu wajar atau tidak. Juga soal tender tadi.
“Saya pikir soal korupsi Rp 270 triliun ini rumit sekali. Ternyata sesederhana itu. Sederhana tapi Rp 270 triliun,” tulis Dahlan mengakhhiri tulisannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News