Oleh: dr. Sonny Fadli., M.IST., M. Ked. Klin., SpOG
Selain pendidikan, ada hal yang juga penting yang tidak boleh dilupakan dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 yakni pembangunan di sektor kesehatan. Indonesia boleh berbangga dengan prediksi surplus penduduk di usia produktif namun semua tidak akan bisa berjalan optimal menunjang perbaikan sektor ekonomi jika sektor kesehatannya masih “sakit”.
Baca Juga: Komitmen Dorong Komersialisasi Riset, ITS Teken MoU dengan Asosiasi Inventor Indonesia
Pembangunan sektor kesehatan tidak hanya ditentukan anggaran yang berpihak di sektor kesehatan, akan tetapi juga ada faktor penting yakni tata kelola SDM kesehatan yang baik. Bagaimana pemerintah tidak hanya memberikan dukungan terhadap produksi dokter, bidan, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lain yang profesional namun bisa mengatur distribusi dan tata kelola SDM kesehatan di perkotaan hingga di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar Indonesia.
Di Indonesia terjadi ketimpangan distribusi SDM kesehatan antara di perkotaan dan di daerah 3T, untuk angka detail tidak akan dibahas pada tulisan ini. Ketimpangan ini bisa memberikan implikasi serius untuk penduduk Indonesia di daerah 3T yang mungkin penderitaan mereka tidak pernah diberitakan oleh surat kabar.
Di pedalaman Indonesia, bisa jadi kita temui ibu hamil yang bersalin masih ditolong oleh dukun yang belum terlatih, dan bisa juga kita temui ibu hamil yang bersalin ditolong oleh dirinya sendiri di salah satu kabupaten di Papua dengan alasan adat. Bisa jadi, bayi yang dilahirkan tidak langsung menangis, risiko kecerdasannya berkurang di kemudian hari, dan sebagainya.
Baca Juga: Dukung Kemajuan Mitigasi Bencana, ITS Gelar Simposium Internasional
Di level pemenuhan dokter umum di daerah, pemerintah sudah mempunyai program dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap), Nusantara Sehat, penugasan dalam durasi waktu satu atau dua tahun, di jaman saya berlangsung 2 tahun.
Di level dokter spesialis pemenuhan SDM di daerah melalui program PGDS (Pendayagunaan Dokter Spesialis). Pemerintah juga menyediakan program beasiswa kementrian untuk menunjang lulusan dokter spesialis ke daerah, yang lebih baru melalui skema beasiswa LPDP.
Namun, sejauh pengamatan saya, program-program tersebut rasanya belum cukup untuk mengatasi pendistribusian SDM kesehatan ke daerah. Malahan cukup banyak angka dokter spesialis yang mendapatkan beasiswa pemerintah yang tidak kembali ke daerah asal dengan beberapa pertimbangan seperti persoalan keamanan, kurangnya sarana prasarana, kurangnya dukungan operasional dari dinas kesehatan setempat di daerah, dan sebagainya.
Baca Juga: Rawan Terjadi Angin Puting Beliung, Pakar ITS Serukan Kesiapan Mitigasi Bencana
Pandangan pribadi saya, apapun program yang dibuat pemerintah akan berjalan sangat baik apabila ada dukungan di faktor produksi SDM kesehatan. Pertama, memberikan subsidi khusus dengan porsi lebih besar untuk biaya kuliah di kedokteran dan jurusan kesehatan yang lebih terjangkau.
Kedua, dalam proses seleksi mahasiswa kedokteran mungkin sebaiknya tidak hanya memandang aspek nilai akademis seperti nilai UTBK, atau mata pelajaran tertentu. Dalam proses seleksi mahasiswa dokter spesialis atau PPDS tidak hanya memandang nilai akademis, namun juga memperhatikan aspek apakah kandidat bisa memberikan waktunya untuk melayani masyarakat di daerah 3T.
Di dalam proses belajar mengajar, khususnya di level preklinik, mahasiswa kedokteran harus diajarkan nilai-nilai, motivasi, yang bisa memantik mahasiwa untuk memiliki keinginan kuat untuk menjadi pelayan masyarakat di daerah.
Baca Juga: Guru Besar ITS Raih Penghargaan di Ajang BI Awards 2024
Sebaiknya mahasiswa tidak sekedar diajarkan bagaimana sel, bagaimana DNA dan mikroskopis lainnya tanpa ada sisipan nilai-nilai pengabdian, patriotisme dan bekal kemampuan melayani masyarakat di daerah 3T.
Mahasiswa perlu dan sesering mungkin untuk terpapar melihat kenyataan bahwa Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang memerlukan kehadiran mereka. Ini pun penting diterapkan untuk mahasiswa kesehatan yang lain.
Karakter demikian perlu dibentuk sedini mungkin agar tidak menghasilkan SDM kesehatan yang eksklusif, tidak bisa bekerjasama dengan pemerintah untuk membantu memajukan daerah 3T. Bisa jadi kita justru menciptakan masalah baru bila melupakan tahapan ini, sehingga justru menghambat laju menuju Indonesia Emas 2045.
Baca Juga: Alumni ITS Sumenep Gelar Baksos dan Tasyakuran
Penulis merupakan Dosen Fakultas Kedokteran dan Kesehatan ITS dan pernah bertugas di Kabupaten Mamberamo Raya-Papua, dan Kepulauan Anambas-Kepulauan Riau.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News