Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Tafsir Al-Anbiya Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie.

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie

Rubrik ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.

Baca Juga: Elemen Masyarakat Jatim Dukung Putusan MK soal Netralitas ASN dan Polisi dalam Pilkada 2024

Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 41-43. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.

78. Wadaawuuda wasulaymaana idz yahkumaani fii alhartsi idz nafasyat fiihi ghanamu alqawmi wakunnaa lihukmihim syaahidiina

(Ingatlah) Daud dan Sulaiman ketika mereka memberikan keputusan mengenai ladang yang dirusak pada malam hari oleh kambing-kambing milik kaumnya. Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

79. Fafahhamnaahaa sulaymaana wakullan aataynaa hukman wa’ilman wasakhkharnaa ma’a daawuuda aljibaala yusabbihna waalththhayra wakunnaa faa’iliina

Lalu, Kami memberi pemahaman kepada Sulaiman (tentang keputusan yang lebih tepat). Kepada masing-masing (Daud dan Sulaiman) Kami memberi hikmah dan ilmu. Kami menundukkan gunung-gunung dan burung-burung untuk bertasbih bersama Daud. Kamilah yang melakukannya.


Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

TAFSIR AKTUAL:

Ayat kaji ini sarat masalah syariah, utamanya bidang ijtihad. Terma "wa Dawud wa Sulaiman idz yahkuman" mengandung makna, bahwa keduanya, baik Dawud maupun Sulaiman, adalah sama-sama menjabat sebagai hakim.

Itu namanya teori pemahaman secara ifrad, sendiri-sendiri sesuai obyeknya. Tapi bisa juga secara taghlib, gebyah uyah, jadi satu. Artinya, hanya Dawud saja yang sebagai hakim resmi, hakim utama, sementara Sulaiman sebatas membantu.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Baik teori ifrad maupun taghlib sama-sama sah menghukumi dan memutus perkara. Bedanya, jika ifrad, maka masing-masing berhak memutuskan dan berkekuatan sama. Jika beda, maka dicarikan jalan kompromi.

Bila jumlahnya banyak, kayak hakim MK, maka diambil suara terbanyak atau islah. Sedangkan teori taghlib, maka keputusan mutlak di tangan orang pertama. Orang kedua hanya sebagai pertimbangan.

Apapun yang terjadi pada diri Dawud dan Sulaiman, yang jelas Sulaiman berpendapat terakhir dan dipuji oleh Tuhan sebagai punya kecerdasan lebih. Lalu keputusan diambil berdasar ide Sulaiman.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Artinya, hakim itu boleh dan bahkan wajib mengubah keputusan lama yang telah dijatuhkan, jika ada fakta baru yang jelas lebih maslahah dan lebih meyakinkan.

Ayat ini memberi pelajaran bagi hakim, hendaklah berijtihad dulu sekuat tenaga, baru memutuskan perkara. Karena keputusan hukum tersebut berdasar ijtihad, maka sudah dianggap sebagai benar secara lahiriah. Perkara hakikat dan sejatinya, itu mutlak penilaian Tuhan. Kita hanya bergerak di lahiriahnya saja.

Seorang hakim yang berijtihad, jika hasilnya benar, maka mendapat dua pahala. Satu pahala berijtihad dan satunya pahala kebenaran hasil tersebut. Tapi bila hasil ijtihadnya salah, maka hanya mendapatkan satu pahala saja, yakni pahala usaha.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Ini khusus ijtihad para ahli setelah memenuhi persyaratan, bukan pendapat ngawur-ngawuran. Perhatikan, betapa brilian ijtihad nabi Sulaiman muda pada ayat kaji ini.

Dalam disiplin qawa’id fiqih, teori ijtihad itu ada dua, yakni: mukhatti’ah dan mushawwibah. Mukhatti’ah ialah penilaian sebuah ijtihad secara obyektif dan logik. Ijtihad atau hasil pemikiran yang benar dianggap sebagai benar dan ijtihad yang salah dianggap sebagai salah.

Sementara teori mushawwibah adalah teori serba benar, serba membenarkan tanpa memandang hasilnya bagaimana. Yang dipandang adalah kerja ijtihadnya saja, bukan hasilnya. Ini adalah teori rahmah dan murni sebagai penghargaan terhadap sang mujtahid.

Baca Juga: Mahasiswa UTM Ajak Masyarakat Siaga Meski RUU Pilkada Dibatalkan: DPR RI dan Jokowi Bisa Bermanuver

Dua teori itu sama-sama ada dalam kehidupan kita. Traffic light, tiga warna lampu di jalan raya adalah syariah yang wajib dipatuhi oleh pengendara.

Lampu merah wajib berhenti. Ternyata ada yang nyelonong menerobos dan ditangkap polisi. Meskipun si pengendara tersebut beralasan buta warna dan tidak melihat, tetap saja kena tilang. Ijtihadnya salah dan tetap dihukum. Itulah teori mukhatti’ah.

Sedangkan teori mushawwibah seperti peserta lomba yang tidak mendapat juara. Mereka tetap mendapat penghargaan karena partisipasinya, karena usahanya yang maksimal, meski hasilnya minim.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Di dalam memahami kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, Tuhan bisa saja hadir dengan pendekatan mushawwibah tersebut. Sebab Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Perhatikan ayat di atas ketika Allah SWT memuji Sulaiman yang beride cemerlang dengan bahasa: "Fafahhamnaha Sulaiman". Ya, pujian itu benar, tetapi Tuhan tidak mencela, tidak menegur, tidak mengkritik apalagi merendahkan menyalahkan Dawud. Artinya, bahwa Dawud sudah berada pada jalur dan keputusan yang benar.

Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabat dalam perjalanan pula ke Madinah usai ekspedisi Ahzab yang super melelahkan, beliau memberi komando: "... Jangan ada yang mengerjakan shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah".

Ternyata, sebagian sahabat shalat ashar sebelum tiba di Bani Quraidhah karena khawatir telat dan waktu ashar habis. Kelompok ini memahami sabda Rasul sebagai rencana bisa yang masih perlu dikomukasikan dengan keadaan, masih perlu diijtihadi, demi menggapai yang lebih maslahah. Lalu diambil yang paling bagus.

Sementara yang lain tetap mematuhi sabda Rasul mulia itu dan shalat ashar di Bani Quradhah meski qadla’ atau telat beneran.

Kelompok ini patuh utuh terhadap sabda nabi dan dianggapnya sebagai keputusan, maka tidak boleh disalahi, tidak boleh ada ijtihad di depan wahyu.

Sesampainya di Bani Quraidhah, persoalan tersebut disampaikan ke hadapan Nabi dan beliau diam saja.

Diam Rasulullah SAW tersebut dipahami sebagai restu terhadap kedua kelompok yang berbeda pendapat. Keduanya tidak dipersalahkan.

Di sisi lain, fikih piaraan ada yang merujuk pada adat setempat. Jika tradisi daerah tersebut hewan ternak harus dijaga, diangon, maka itu kewajiban peternak. Bila hewan ternak merusak, maka tanggung jawab peternak.

Di kehidupan kita, ada hewan yang mesti dijaga, dirawat seperti sapi, kambing, dan ada hewan yang biasa liar seperti ayam atau burung merpati.

Merpati makan karak, nasi yang dijemur, maka pemilik merpati tidak dibebani tanggung jawab. Justru yang menjemur yang kewajiban menjaga karaknya. Itu hukum adat dan berlaku di daerah.

Begitu pula ayam memakan jagung tetangga yang dijemur secara terbuka. Menurut kurikulum per-ayam-an, itu undangan pesta, gratis. Allah a’lam.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO