
Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 83-84. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.
83. Wa ayyūba iż nādā rabbahū annī massaniyaḍ-ḍurru wa anta arḥamur-rāḥimīn(a).
(Ingatlah) Ayyub ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku,) sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”
84. Fastajabnā lahū fa kasyafnā mā bihī min ḍurriw wa ātaināhu ahlahū wa miṡlahum ma‘ahum raḥmatam min ‘indinā wa żikrā lil-‘ābidīn(a).
Maka, Kami mengabulkan (doa)-nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya, Kami mengembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami melipatgandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami dan pengingat bagi semua yang menyembah (Kami).
TAFSIR AKTUAL
Makanya, penghujung ayat kaji ini berbunyi: rahmah min ‘indina wa dzikra li al-‘abdidin. Bentuk rahmat Tuhan, yaitu mengapresiasi kesabaran nabi Ayub A.S. yang lulus diuji sakit super parah.
Ada perbedaan antara terma “Rahmah minna” dan “Rahmah min ‘indina”. Min-na, artinya dari Kami. Sedangkan “Min – ‘Indina” artinya dari sisi, dari hadapan, dari pangkuan, Kami. Saking ngersane Gusti Allah.
Biasanya, “Rahmah Minna” itu dipakai untuk Rahmah, belas kasih Tuhan secara umum, sehingga siapa saja bisa mendapatkan rahmat tersebut. Sedangkan “rahmah min ‘indina” lebih bersifat khusus, sehingga hanya hamba-hamba tertentu yang terpilih saja yang mendapatkan. Begini ini tinjauan rahmat sisi penerima.
Kedua, “rahmah Minna” menunjuk jarak antara pemberi rahmat dengan penerima tidak jelaskan, bisa dekat atau jauh. Pokoknya dari Tuhan, titik. Seperti anda mendapat kiriman parsel dari teman jauh. Itu “minna”.
Sedangan “rahmah min ‘Indina”. Kata “inda” yang berbentuk dharaf makan menunjuk makna: pangkuan, saking ngerso Dalem Gusti Allah. Artinya, rahmat tersebut itu diberikan langsung dari pangkuan Tuhan sendiri, sebagai penghormatan.
Seperti anda yang berprestasi dan dianugerahi piagam penghargaan dari presiden dan diberikan oleh presiden sendiri langsung kepada anda. Itulah makna “min ‘indina”. Makanya, hanya khusus untuk hamba terkasih saja.
Sementara tesis “wa dzikra li al-‘abidin”, bahwa hal demikian sebagai sentuhan buat hamba-hamba yang penuh dedikasi kepada Tuhan mengisyaratkan, bahwa anugerah rahmat seperti dimiliki Nabi Ayub A.S. tadi tidaklah hanya dia, melainkan siapa saja yang seshalih dia juga bisa mendapatkan.
Abid adalah hamba, adalah pengabdi. Dia seperti budak yang mesti patuh kepada majikan dan tidak pernah membantah. Pekerjaan menyenangkan atau tidak, tetap saja dilaksanakan.
Berat atau ringan sama saja. Bahkan, pekerja yang bekerja berat pasti mengerti upahnya juga gede. Lagian, bagi budak, percuma menggerutu, toh pasti dikerjakan.
Singkat kisah diungkap pada ayat nomor 84, bakan Tuhan berkenan mengabulkan permohonan Nabi Ayub A.S. totalitas, baik yang diminta maupun yang tidak diminta. Pokoknya bagus bagi Ayub, Tuhan memberikan. Tidak hanya sembuh, keluarga dan semua kekayaannya kembali lagi, begitu juga simpati masyarakat.
Dan orang yang berjuluk abid, “Li al-abidin” itu ada pada diri sahabat mulia yang diganjar sakit parah dan hanya bisa berbaring di tempat tidur hingga tiga puluh tahun lamanya. Dialah Imran ibn Hashin R.A.. Semua teman dan orang-orang dekat yang nyambangi meneteskan air mata, karena iba dan kasihan.
Malahan tidak sedikit kawan yang menegur: “Ente itu hamba Allah yang shalih dan doa ente didengar. Terbukti, setiap kali ada orang yang datang meminta doa kesembuhan, ente langsung mendoakan dan nyatanya sembuh. Kenapa tidak meminta sembuh untuk diri sendiri, aneh ente ini”.
Imran ibn Hashin terseyum dan berucap lirih seolah terpkasa, sehingga terbaca kalau dia sesungguhnya enggan mengatakan. Akan tetapi demi tidak membuat prasangka buruk, lalu berkenan meski berat.
Ia berkata, "Bahwa, setiap hari malaikat menjenguk saya dan berucap salam. Saya menjawab dan hati ini sungguh sangat senang dengan keadaan spesial tersebut. Tak pernah aku merasakan kegembiraan seperti itu. Saya sangat takut, jika saya sembuh, lalu kawanku itu tidak mau lagi mengungjungi aku".