
Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 85-86: Dzulkifli A.S., Siapa Dia?
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 87-88. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.
87. Wa żan-nūni iż żahaba mugāḍiban fa ẓanna allan naqdira ‘alaihi fa nādā fiẓ-ẓulumāti allā ilāha illā anta subḥānaka innī kuntu minaẓ-ẓālimīn(a).
(Ingatlah pula) Zun Nun (Yunus) ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya. Maka, dia berdoa dalam kegelapan yang berlapis-lapis, “Tidak ada tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang zalim.”
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 83-84: Rahmah Minna dan Rahmah Min ‘Indina
88. Fastajabnā lahū wa najjaināhu minal-gamm(i), wa każālika nunjil-mu'minīn(a).
Kami lalu mengabulkan (doa)-nya dan Kami menyelamatkannya dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang mukmin.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 83-84: Sakit itu Rahmat
TAFSIR AKTUAL
Dzu al-Nun adalah sebutan untuk nabi Yunus A.S. Dzu, artinya Si Empunya. Nun, artinya ikan besar. Maksudnya, dialah seorang nabi yang pernah dicaplok, dihlep masuk mulut ikan paus, meski akhirnya dilepeh, dikeluarkan dan selamat.
Artinya, keberadaan nabi Yunus ini di rongga mulut ikan dan tidak sampai masuk ke dalam perut.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 83-84: Dhan Chux, Aduh, dan Allah
Surah al-Shaffat: 142 menjelaskan soal ini dengan bahasa “iltaqama” (fa ilataqamah Hut..). Ilataqama, serumpun dengan kata “luqmah”, artinya “suapan, pulukan”, benda yang masih berada dirongga mulut, hendak dikunyah, sedang diproses, kemudian ditelan masuk perut.
Nah, Nabi Yunus A.S. itu masih berada di ronnga mulut ikan paus (hut). Saat berada di rongga mulut ikan inilah, dia berada dalam kegelapan yang oleh ayat kaji ini dibahasakan dengan “fi al-dzulumat”.
Terbaca, Nabi Yunus A.S. semula sebagai utusan Allah SWT yang ditugasi berdakwah dan dijalankan secara tekun dan sabar. Ternyata kurang mendapat sambutan positif dari kaumnya sendiri. Semakin hari, mereka semakin menjauh hingga membuat hati Nabi Yunus A.S. semakin resah dan frustrasi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 83-84: Nabi Ayub A.S. Mengeluh?
Di seberang sana, ada sebuah pulau, sebuah negeri yang diyakini para penduduknya bisa menerima dakwahnya. Timbang punya timbang, Yunus memilih hijrah ke pulau seberang. Itung-itung, di sini kurang dihargai, mendingan ke sono saja. Lalu, pergi ke daerah baru tersebut tanpa izin, tanpa mendapat restu dari Tuhan lebih dahulu.
Kepergian Yunus A.S. itu, pada ayat kaji ini dibahasakan dengan kalimat “idz dzahab mughadliba”, purik, ngambek, pergi dengan perasaan mendongkol dan marah. Sementara pada ayat al-Shaffat dibahasakan dengan kalimat “idz abaq”. Artinya minggat, pergi tanpa izin.
Maka untuk memahami tesis ini diperlukan bahasa yang sopan sesuai dengan martabat nabi yang mulia. Bukanlah nabi Yusnus A.S. marah kepada Tuhan, melainkan kecewa kepada kaumnya tak patuh dan itu manusiawi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 83-84: Berobat Jalur Langit dan Bumi
Soal minggat, sebaiknya dipahami dengan pergi berdasar keyakinan yang mantap, demi maslahah dakwah agama ke depan, meski tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan Tuhan.
Sesungguhnya niat Nabi Yunus A.S. ini mulia, yaitu mencari lahan baru yang diyakini bisa menerima dakwah islamiah, sehingga nantinya agama Islam bisa lebih tersebar luas dan cepat tumbuh berkembang.
Tetapi di sisi lain, menunjukkan ketidaksabarannya menerima risiko dakwah. Maunya, dakwah itu yang enek-enak saja, yang melegakan saja.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 83-84: Nabi Ayub A.S., Sang Penyabar
Dari teks di atas terbaca bahwa Allah SWT tersinggung karena tidak dipamiti. Makanya, di tengah perjalanan, Tuhan memberi pelajaran kepadanya. Perahu yang ditumpangi mendadak oleng dan hendak tenggelam. Sang nahkoda membatin, jangan-jangan di antara para penumpang ada yang tidak beres.
Karena tidak ada yang mengaku, lalu diundi. Hingga tiga kali, keluar nama Yunus. Keputusannya, Yunus harus dilempar ke laut lepas demi menyelamatkan para penumpang yang tidak berdosa.
Betul, perahu itu stabil kembali setelah Yunus dilempar. Saat itulah, Tuhan sudah menyiapkan ikan paus raksasa yang siap nampani.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 81-82: Risiko Mempekerjakan Jin, Anda Mampu? Silakan
Di dalam rongga mulut tersbut, Nabi Yunus A.S. sadar akan kesalahannya, yaitu berbuat semaunya tanpa izin kepada Tuhan. lalu, merayu-Nya dengan ungkapan “La ilah illa Anta Subhanak, inni kunt min al-dhalimin”.
Duh Gusti, kulo lepat. Sungguh tidak ada sesembahan selain Engkau. Maha suci Engkau ya Tuhan. sungguh aku ini hamba-Mu yang dzalim.
Begitu seriusnya nabi Yunus A.S. bermunajah, sehingga Tuhan merasa kasihan dan doa dikabulkan. Dari tengah laut, ikan paus itu diperintahkan menepi ke pantai, lalu dimuntahkan. Nabi Yunus A.S. tergeletak di pasir pantai dalam keadaan lemas dan lunglai.
Ajaib, tumbuh sejenis batang semangka tepat di sampingnya dan cepat berbuah. Nabi Yunus A.S. mengonsumsi dan segar kembali.
Pelajaran yang dipetik, antara lain: menjadi juru dakwah, guru, pendidik, itu yang sabar, jangan mudah tersinggung, marah, merasa laku dan diperhatikan.
Kedua, mohon dilihat terlebih dahulu dari berbagai sisi, apa sebabnya. Jangan-jangan dari diri pendakwah itu sendiri. Maka, perlu koreksi diri dan seterusnya segera memperbaiki.
Ketiga, sangat disayangkan jika sang juru dakwah frustrasi dan mengambil keputusan cepat, lalu minggat.
Sama-sama pindah lokasi, sungguh berbeda antara nabi Yunus A.S. dan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pindah dari Makkah ke Madinah atas izin Tuhan, sehingga dibahasakan dengan hijrah yang direstui. Hasilnya, sangat sukses dan memuaskan.
Tidak sama dengan nabi Yunus A.S. yang nuruti emosi dan nafsunya sendiri, tanpa restu dan izin dari Tuhan lebih dahulu. Dan al-qur’an membahasakan dengan minggat (abaqa) atau pergi secara mendongkol (dzahab mughdliba). Jadinya, diuji berat, untuk selamat.
Keempat, dari sekian doa para nabi di dalam Alqur’an, rata-rata pendek dan sangat menyentuh. Malah tidak ada kesan mendikte, hanya nelongso dan memelas saja. Pertama memuji kebesaran Tuhan, lalu menyatakan diri sebagai hamba bersalah.
Hanya begitu, tidak ada kata yang menunjukkan permohonan maupun penyelamatan. “La ilah illa Anta, Subhanak, Inni kunt min al-dzalimin”.
Dan kelima, doa yang serius, menunjukkan kebutuhan dan memelas meski berbahasa sindir, lebih didengar Tuhan dan berpotensi dikabulkan. Ya, karena Tuhan Maha mengerti, tidak perlu dijelaskan dan diterjemah. Doa macam ini, acap kali pangabulannya melampaui apa yang diminta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News