
Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Anbiya': 104. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.
104. Yauma naṭwis-samā'a kaṭayyis-sijilli lil-kutib(i), kamā bada'nā awwala khalqin nu‘īduh(ū), wa‘dan ‘alainā, innā kunnā fā‘ilīn(a).
(Ingatlah) hari ketika Kami menggulung langit seperti (halnya) gulungan lembaran-lembaran catatan. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya lagi. (Itu adalah) janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kami akan melaksanakannya.
TAFSIR
Masafah, artinya jarak tempuh. Secara alamiah, sunnatullah berjalan normal dan mengikuti hukum alam. Jarak seribu kilometer mesti ditempuh berapa waktu...? Ya terserah yang menempuh, antara pejalan kaki, naik sepeda pancal, mobil, pesawat, tentu tidak sama.
Dengan mobil, jarak itu ditempuh sepuluh jam, maka wajar. Pesawat jet menempuhnya dalam satu jam, maka itu wajar dan biasa. Tapi kalau pejalan kaki? Tentu luar biasa. Persoalannya, mungkinkah itu bisa dilakukan?
Nabi Sulaiman A.S. menempuh jarak jauh pakai kendaraan sajadah yang digelar dan diduduki, lalu angin menerbangkannya sesuai kehendak dan perintah beliau, baik kecepatan maupun tujuan. Tanpa mesin dan tanpa radar, sajadah itu selalu mendarat dengan mulus.
Belum lagi Rasulullah SAW yang terbang dalam ekspedisi isra’ wa mi’raj. Pakai kecepatan apa itu? Sungguh semua itu lepas dari hukum ruang dan waktu.
Bagi yang menggunakan ilmu fisika saja, maka akan kafir dan tidak parcaya. Tapi tidak bagi yang beriman, maka apa saja bisa terjadi atas izin Tuhan yang maha kuasa.
Katanya, para wali songo dulu pernah kumpul dan musyawarah di Demak. Jika kisah itu benar, maka ada kejanggalan secara alamiah. Pertama, bahwa mereka tidak hidup dalam satu kurun waktu. Kanjeng Sunan Ampel sudah lama wafat, sedangkan Sunan Kali Jaga belum lahir.
Jadi, yang hadir waktu itu, salah satunya pasti ada yang sudah wafat, yakni ruhnya saja. Bisakah demikian? Ingat, bahwa para nabi, syuhada’, dan orang-orang shalih itu “hidup”. “Bal ahya’”.
Kedua, jika mereka masih hidup, maka bagaimana cara mereka menempuh jarak jauh seperti itu? Sementara belum ada kendaraan dan jalan belum seperti sekarang. Mereka dari daerah yang berjauhan, ada yang dari Cirebon, Kudus, Surabaya, dan lain-lain. Untuk ini, jawabannya begini:
Kata seorang kiai yang ahli begitu-begituan, bahwa orang-orang hebat zaman dulu itu punya aji-aji melipat bumi, memperpendek jarak sesuai kebutuhan. Itulah aji-aji atau wirid yang disebut “Thay al-ardl”.
Adapun ayatnya seperti ini, yaitu “Yaum nathwi al-sama’ kathayy al-sijill li al-kutub...”. Entah puasa dulu atau hanya dibaca sekian kali saja, Allah a’lam.