
BANGSAONLINE.com - Kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Reciprocal Tariff yang diumumkan Presiden AS, Donald Trump, pada 3 April lalu menimbulkan kekhawatiran bagi perekonomian global.
Menanggapi kebijakan tersebut, Kepala Pusat Studi Pengembangan Industri dan Kebijakan Publik (PIKP) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Arman Hakim Nasution, memberikan pendapatnya terhadap fenomena tersebut dari sudut pandang akademik.
Berdasarkan kebijakan tersebut, AS akan memberlakukan tarif impor berdasarkan defisit neraca perdagangan bilateralnya dengan negara-negara mitra dagang. Indonesia termasuk dalam daftar negara yang dikenai tarif sebesar 32 persen. Arman menjelaskan bahwa kebijakan tersebut murni berorientasi pada perlindungan ekonomi domestik AS, tanpa mempertimbangkan aliansi geopolitik seperti Brazil, Russia, India, China, South Africa (BRICS) ataupun hubungan bilateral negara lainnya.
Bahkan sejumlah negara sekutu AS seperti Vietnam dan Kamboja turut terkena tarif tinggi. Hal ini, menurut Arman, mencerminkan kepanikan ekonomi AS dalam memulihkan dominasinya di sektor industri.
“Ini menunjukkan bahwa AS tidak lagi memprioritaskan hubungan strategis, tapi semata-mata hanya fokus pada kepentingan industrinya sendiri,” ujarnya, Jumat (11/4/2025).
Arman membeberkan, kebijakan tersebut berpotensi besar mengganggu stabilitas ekspor Indonesia, khususnya sektor nonmigas yang selama ini bergantung pada pasar Amerika.
Dampaknya bisa menurunkan daya saing sekaligus membuka peluang relokasi ekspor dari negara lain ke Indonesia.