
Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie
Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.
Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Hajj': 5. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.
5. Yā ayyuhan-nāsu in kuntum fī raibim minal-ba‘ṡi fa innā khalaqnākum min turābin ṡumma min nuṭfatin ṡumma min ‘alaqatin ṡumma mim muḍgatim mukhallaqatiw wa gairi mukhallaqatil linubayyina lakum, wa nuqirru fil-arḥāmi mā nasyā'u ilā ajalim musamman ṡumma nukhrijukum ṭiflan ṡumma litablugū asyuddakum, wa minkum may yutawaffā wa minkum may yuraddu ilā arżalil-‘umuri likailā ya‘lama ba‘da ‘ilmin syai'ā(n), wa taral-arḍa hāmidatan fa iżā anzalnā ‘alaihal-mā'ahtazzat wa rabat wa ambatat min kulli zaujim bahīj(in).
Wahai manusia, jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, sesungguhnya Kami telah menciptakan (orang tua) kamu (Nabi Adam) dari tanah, kemudian (kamu sebagai keturunannya Kami ciptakan) dari setetes mani, lalu segumpal darah, lalu segumpal daging, baik kejadiannya sempurna maupun tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu (tanda kekuasaan Kami dalam penciptaan). Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan. Kemudian, Kami mengeluarkanmu sebagai bayi, lalu (Kami memeliharamu) hingga kamu mencapai usia dewasa. Di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) yang dikembalikan ke umur yang sangat tua sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah diketahuinya (pikun). Kamu lihat bumi itu kering. Jika Kami turunkan air (hujan) di atasnya, ia pun hidup dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis (tetumbuhan) yang indah.
TAFSIR
“..wa nuqirr fi al-arham kaif nasya’..”. Perkara berapa lama janin berada dalam kandungan ibunya, itu terserah kersane Gusti Allah SWT. Tesis ini mengisyaratkan bahwa masa janin dalam kandungan sungguh penting. Selain sebagai proses pembentukan, bermakna juga sebagai penentuan menghukumi janin tersebut jika lahir nanti: apakah sudah sebagai anak manusia sepenuhnya atau belum.
Jika dia sudah sempurna, maka semua persoalan hukum termasuk hak secara umum, hak waris, dan lain-lain akan diterimakan kepadanya. Bahkan di dalam fikih ibadah, dia wajib disucikan, dikafani, dishalati, dikubur, dan seterusnya jika mati. Dan jika belum, maka tidak ada hukum apa-apa atasnya.
Di samping itu, lamanya janin berada di dalam perut sangat menentukan nasab. Masa kandungan menurut al-imam al-Syafi’iy adalah: minimal enam bulan dan masa kandungan maksimal adalah empat tahun. Semua itu berdasar hitungan bulan qamariah.
Istidalah al-Imam al-Syafi’iy ketika menentukan masa kandungan minimal sungguh genius. Ikutilah alur pemikiran beliau di bawah ini:
Al-Qur’an al-Karim menyebutkan, bahwa masa kehamilan dan menyusui adalah tiga puluh bulan, “... wa hamluh wa fishaluh tslatsun syahra” (al-Akhqaf:15). Sedangkan masa fishal saja disebutkan selama dua tahun atau dua puluh empat bulan, “wa fishaluh fi ‘amain”. (Luqman: 14).
Jadi, hamil adalah: Haml plus Fishal dikurangi Fishal atau tiga puluh dikurangi dua puluh empat, sama dengan enam. Maka jadilah keputusan fuqaha’ syafi’iyah, bahwa masa kehamilan minimal adalah enam bulan. Ini selanjutnya menjadi pedoman dalam menghukumi, menentukan nasab bayi, apakah intisab kepada bapaknya.
Nasab anak itu jika ke ibunya maka mutlak, titik. Tidak ada kriteria apakah dari mani halal atau haram, anak zina atau anak sah. Dan jika dihubungkan kepada ayahnya, maka harus ada persyaratan. Pertama, akad nikah yang sah. Kedua, jarak antara akad nikah dengan kelahiran bayi minimal enam bulan.
Galih dan Ratna adalah dua sejoli yang sedang kasmaran memadu kasih. Ternyata, Ratna hamil dan segera dinikahi oleh Galih. Tujuh bulan berikutnya Ratna melahirkan bayi perempuan dan diberi nama Yesi. Yesi adalah anak kandung yang sah dari Galih, bernasab kepadanya, Galih adalah walinya dan keduanya bisa saling mewaris.
Jika Yesi mungil itu lahir lima bulan setelah akad nikah, maka Yesi tidak punya hubungan nasab dengan Galih. Si Galih bukanlah bapak nasabnya, meskipun dia bapak genetiknya. Galih tidak sah menjadi wali kelak si Yesi menikah. Harus pakai wali hakim. Lalu, bapaknya siapa? Agama tidak membahasnya dan sengaja mendiamkan.
Sebut saja Ratna telah hamil tiga bulan dan Galih yang menghamili tidak bertanggung jawab dan minggat. Kemudian Ratna dinikahi oleh Karim, dan setelah enam bulan lahirlah anak perempuan, namanya Zahra. Maka, Zahra adalah intisab, bernasab kepada Karim secara sah dan berlaku hukum sebagaimana mestinya.
Pembaca pasti gak srek dan ngedumel, "Lho, Zahra kan bukan berasal dari air sperma si Karim". "Karim kan bukan bapak genetik dari Zahra". Dan itu nyata sekali dan diakui semua pihak. Bahkan, Ratna sendiri juga mengakui. Hasil tes DNA pun begitu.
Bahasa agamanya: “INTISAB”, dinasabkan, mengandung makna bukan nasab hakiki, bukan nasab yang sebenar-benarnya, melainkan nasab formalitas. Dan itulah salah satu sifat fikih islam yang selalu mengedepankan asas mashlahah.
Ada namanya teori mizan, yaitu teori yang menimbang-nimbang ketika hendak menentukan hukum. Dicari yang paling bagus meskipun tidak hakiki. Asal masih ada alasan pembenar dan pemiripan, maka dijadikan dasar untuk mengambil keputusan hukum yang bermaslahah.
Dalam kasus ini yang nyata-nyata ada adalah akad nikah yang sah. Dan kedua, si Karim hidup bersuami istri dengan Ratna selama enam bulam. Sudah memenuhi rukun dan syarat secara lahiriah. Ya sudah. Walaupun keduanya mengaku – selama itu - tidak pernah bersenggama.
Perkara sebelumnya sudah ada janin di dalam rahim si Ratna, janin itu tidak punya kekuatan hukum. Tidak dianggap ada oleh syari’ah, sehingga tidak berefek apa-apa. Termasuk tidak ada iddah dan lain-lain. Hanya janin yang sah saja, yang berasal dari akad yang sah saja yang punya efek hukum.
Hasil akhir dari keputusan syari’ah adalah: “Lebih maslahah anak manusia itu lahir punya nasab yang sah daripada lahir liar tidak punya nasab”.
Dan begitulah seharusnya tugas seorang imam, penguasa hukum agama, seperti hakim dan muhakkam (orang yang dianggap sebagai hakim) terkait dengan kasus kemanusiaan, utamanya keagamaan. Wajib mengedepankan mashlahah. “Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-mashlahah”.
Kini beralih ke masa kehamilan maksimal atau berapa lama batasan kehamilan. Al-imam al-Syafi’iy menyatakan, bahwa masa kehmailan bisa hingga empat tahun. Pendapat ini sama dengan pendapat gurunya, yakni al-imam Malik ibn Anas, pemuka madzahab Maliki. Konsekuensi hukumnya apa?
Si Monica adalah seorang janda muda dan tidak menikah lagi selama menjanda. Ternyata dia hamil dan melahirkan seorang bayi. Jika kehamilan tersebut terjadi pada masa menjanda, yakni empat tahun, terhitung sejak berpisah, baik cerai maupun mati, maka si bayi itu bernasab kepada pria mantan suami Monica tersebut.
Bagaimana jika si Monica terang-terangan mengaku, bahwa si bayi ini hasil hubungan tidak sah, hasil berzina dengan Cak Bondet. Ya, syari’ah tetap pada prinsipnya, yaitu tetap menetapkan intisab kepada sang mantan, walaupun dia mengaku zina. “wa in aqarrat bi al-zina”.
Sekali lagi, alasannya adalah berdasar mashlahah. “.. anak yang punya nasab ah lebih terhormat dari pada yang tidak”. Allah a’lam.