
SURABAYA, BANGSAONLINE.com-Pada tahun 1960-an PKI semakin mendominasi kekuasaan, terutama karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno. KH Muhammad Yusuf Hasyim semakin sadar bahwa situasi negara yang berideologi Pancasila mulai terganggu. Apalagi manuver politik PKI vulgar dan kasar. Mereka berusaha membubarkan organisasi Islam. Bahkan Kiai Yusuf Hasyim mencium gelagat PKI akan menjadikan Madiun sebagai pemerintahan Soviet. Kiai Yusuf Hasyim pun menggerakkan massa. Efektifkah? Simak tulisan serial ke5 M. Mas’ud Adnan yang mengikuti seminar pengusulan KH M Yusuf Hasyim sebagai pahlawan nasional di PP Amantul Ummah Surabaya.
Prof Usep Abdul Matin, MA (Leiden), MA (Duke), Ph.D, mengungkapkan bahwa Kiai Muhammad Yusuf Hasyim yang saat itu masih sangat muda tidak hanya pemberani tapi juga cerdas dalam merespons situasi politik. Ini terlihat sekali ketika putra Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari itu menyaksikan manuver-manuver politik PKI yang membayakan Pancasila dan NKRI.
“Kiai Muhammad Yusuf Hasyim pada hari Sabtu 22 Maret 1965, memprakarsai dan memimpin 25 ormas pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam, yang berjumlah 3.000 orang. Sebanyak 25 ormas ini digabung dalam Generasi Muda Islam,” kata Prof Usep Abdul Matin dalam seminar pengusulan KH M Yusuf Hasyim sebagai pahlawan nasional di PP Amantul Ummah Surabaya, Rabu (28/5/2025) malam.
Prof Usep Abdul Matin, MA (Leiden), MA (Duke), Ph.D. Foto: MMA/bangsaonline
Generasi Muda Islam itu disingkat Gemuis yang kemudian sangat popular di kalangan aktivis muslim. Menurut data yang dihimpun Prof Usep dan timnya, para aktivis Gemuis itu bersama Kiai Muhammad Yusuf Hasyim kemudian menghadap ke Pengurus Besar Front Nasional KOTRAR (Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi) dan Menteri Agama RI KH Saifuddin Zuhri.
“Kiai Yusuf Hasyim bersama para pendemo bergerak dari Stasiun Gambir melewati Jalan Merdeka Selatan, Merdekat Barat dan Thamrin. Mereka meneriakkan yel-yel “Hidup Bung Karno”, Ganjang Malaysia, Ganjang Pancasilais Munafik” (pengkhianat bangsa), “Ganjang Kontra Revolusi” (pelaku tragedi 65), “KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) memperkokoh persatuan NEFO (New Emerging Forces [negara-negara yang baru Merdeka, non-imperialis, dan sosialis]),” kata Prof Usep.
Massa demonstran berjumlah 3.000 orang yang dipimpin Kiai Muhammad Yusuf Hasyim itu kemudian membacakan pernyataan bersama di depan Pengurus Besar Front Nasional. Diantara pernyataan bersama itu bahwa mereka punya perhatian yang sama untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Berterima kasih kepada Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi/Pahlawan Islam dan kemerdekaan yang telah menetapkan Pen.Pres No. 1/1965 yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yagn berTuhan, mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia; menjunjung tinggi semangat Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA, Bandung 6-14 Maret 1965, menentang penjajahan.
“..Dan mempertahankan organisasi mahasiswa Islam seperti HMI yang ingin dibubarkan oleh PKI,” ungkap Prof Usep mengutip pernyataan bersama para demonstran yang dimuat di Harian Pagi Duta Masyarakat edisi Selasa 16 Maret 1965/13 Zulka’dah 1384 H.
Menurut data yang diungkap Prof Usep, Imam Pratignya, Wakil Sekretaris Jenderal P.B. Front Nasional menerima KH Muhammad Yusuf Hasyim dan para delegasi dari 3.000 orang pendemo tersebut. Ia menyampaikan penghargaan yang setingi-tingginya kepada Kiai Muhammad Yusuf Hasyim dan para demonstran.
“Karena sebagai pemuda, pelajar, mahasiswa Islam telah menunjukkan militansi yang revolusioner,” ungkap Prof Usep menirukan pernyataan Imam Pratignya.
“Imam Pratignya menyatakan bahwa dia akan meneruskan pernyataan KH M Yusuf Hasyim dan para Delegasi Besar itu ke Presiden Soekarno. Ia minta Kiai Yusuf Hasyim dan para Delegasi Besar itu tetap memperkokoh persatuan dan tidak terpancing oleh provokasi yang diserukan oleh Nekolim (Neokolonisme, Imperialisme).
Aksi demo besar-besaran yang dipimpin Kiai Yusuf Hasyim itu menimbulkan resonansi atau gaung sangat besar. Bahkan didukung penuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). “Pada waktu yang sama, 5 Oktober 1965, PBNU memohon kepada Presiden Soekarno/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi agar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya membubarkan Partai Komunis Indonesia, Pemuda Rakyat, Gerwani, Serikat Buruh Pekerjaan Umum (SOBSI) dan semua Ormas lainnya yang ikut mendalangi dan/atau bekerja sama dengan apa yang menamakan diri “Gerakan 30 September,” ujar Prof Usep mengutip Majalah Berita Nahdlatul Ulama, nomor 6 Tahun 1983.
Menurut Prof Usep, saat itu Kiai Muhammad Yusuf Hasyim berusia 34 tahun dan menjabat Ketua I Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor. “Jabatannya ini berlangsung dari 1963 sampai 1967 atau di usianya yang ke-34 sampai ke-38,” tutur Prof Usep detail. (M.Mas’ud Adnan/bersambung)