NU dan Bahaya Soft Power Zionis

NU dan Bahaya Soft Power Zionis Khariri Makmun. Foto: Ist

Oleh : Khariri Makmun*

Secara geopolitik, Zionis-Israel sangat paham arti strategis Indonesia. Negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia ini bisa menjadi kekuatan politik internasional yang menekan Israel, jika umatnya bersatu mendukung Palestina dengan konsisten dan militan. Potensi itu bukan mimpi kosong, karena sejarah mencatat Indonesia pernah menjadi motor diplomasi dunia ketiga dalam isu kolonialisme. 

Karena itulah, Israel dan jaringan Zionis memilih strategi jangka panjang: bukan dengan konfrontasi terbuka, melainkan melumpuhkan potensi itu dari dalam, lewat ormas terbesar—Nahdlatul Ulama.

Infiltrasi ini bukan teori konspirasi murahan, melainkan fakta geopolitik yang ditulis dalam banyak laporan akademik. Sejumlah lembaga studi internasional mencatat bagaimana kelompok Zionis aktif mendanai riset tentang Islam di Asia Tenggara. 

Tujuannya bukan sekadar memahami, melainkan mengendalikan narasi keagamaan dan politik. Dalam konteks ini, NU adalah sasaran empuk: organisasi raksasa dengan basis massa luas, tetapi rapuh dalam ideologi, tanpa roadmap geopolitik, dan mudah dipengaruhi melalui pintu elit yang haus pengakuan global.

Masalahnya, ketika elit NU membiarkan diri jadi pintu masuk, Zionis tidak sekadar menguasai wacana, tapi juga mengendalikan arah gerakan NU. Dari forum akademik, program kaderisasi, hingga kerja sama internasional, jejak infiltrasi makin telanjang. Yang terjadi bukan lagi “dialog antarperadaban”, tapi kooptasi ideologi yang halus. NU yang seharusnya jadi benteng melawan kolonialisme modern, justru dipaksa jadi alat normalisasi penjajahan.

Ini bukan sekadar ancaman bagi Palestina, tapi bagi Indonesia sendiri. Ketika NU kehilangan garis ideologisnya, maka umat Islam Indonesia kehilangan benteng sosial-politiknya. Zionis paham betul, membungkam NU berarti mematikan potensi kebangkitan Islam politik terbesar di dunia. Maka wajar jika energi besar digelontorkan untuk melemahkan NU, bahkan jika itu harus melalui skandal, manipulasi, dan kooptasi elit.

Jika lawatan Yahya Cholil Staquf (GY) ke Israel (2018) bisa dianggap sebagai langkah simbolik, maka skandal Akademi Kepemimpinan Nasional-NU (AKN-NU) adalah bukti nyata bahwa infiltrasi Zionis ke tubuh NU semakin telanjang. Program kaderisasi elit NU ini, yang digadang-gadang sebagai forum paling prestisius untuk mencetak generasi pemimpin NU masa depan, justru mengundang beberapa narasumber yang dikenal pro-Zionis.

Salah satu nama yang mencuat adalah Peter Berkowitz, seorang sarjana hukum dan ilmuwan politik Amerika yang pernah menjabat Direktur Perencanaan Kebijakan di Departemen Luar Negeri AS pada 2019–2021. Rekam jejak Berkowitz jelas: ia berada di lingkaran neokonservatif Washington yang mendukung agenda agresif Israel di Timur Tengah, termasuk pembenaran terhadap blokade dan serangan militer ke Gaza.

Publik pun bereaksi keras. Di saat rakyat Gaza dibombardir, elit NU malah memberi panggung kepada tokoh yang secara terang-terangan mendukung Zionisme. Bagi umat Islam, ini bukan sekadar “salah undang tamu”, tapi bukti bahwa ada upaya sistematis untuk menyuntikkan ideologi asing ke dalam proses kaderisasi NU.

Zionis paham betul, jika ingin menguasai masa depan NU, maka kuasai proses kaderisasi elitnya. Pesantren dan madrasah mungkin masih kokoh dengan Aswaja, tapi kaderisasi elit di tingkat pusat – yang nantinya memimpin organisasi dan berhubungan dengan dunia internasional – adalah celah paling strategis untuk ditunggangi.

Dengan menyusup lewat AKN, Zionis tidak hanya menanamkan ide, tapi juga membentuk jaringan alumni yang punya simpati atau setidaknya toleransi pada narasi “normalisasi Israel”. Efeknya jauh lebih panjang dibanding sekadar lawatan GY ke Israel.

Kalau kita lihat dalam literatur akademik, infiltrasi ideologi ke dalam ormas Islam bukan hal baru. Laporan RAND Corporation tahun 2007 berjudul “Building Moderate Muslim Networks” secara gamblang menyebut bahwa Barat harus membangun aliansi dengan kelompok-kelompok Islam “moderat” untuk menghadapi “radikal Islam”. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa organisasi seperti NU punya potensi besar menjadi mitra strategis.

Studi Greg Barton, seorang akademisi Australia yang banyak meneliti NU, juga sering menyanjung NU sebagai wajah Islam “toleran” dan “damai” yang bisa dijual ke Barat. Dalam kacamata geopolitik, sanjungan ini bukan sekadar pujian akademik, tapi bagian dari strategi soft power. NU dijadikan etalase Islam moderat untuk meredam gerakan Islam politik yang anti-Barat.

Dengan kata lain, NU diposisikan sebagai benteng “Islam moderat jinak” yang aman bagi kepentingan global, termasuk Zionisme. Inilah mengapa tokoh-tokoh Barat pro-Israel begitu rajin merangkul NU.

Geopolitik modern tidak lagi hanya soal perang militer. Zionis dan sekutunya di Washington dan Eropa mengandalkan soft power: diplomasi budaya, pendidikan, wacana pluralisme, hingga infiltrasi pemikiran ke organisasi keagamaan. Dengan strategi ini, mereka tidak perlu menaklukkan Indonesia dengan senjata, cukup dengan membuat elit-elit NU terbiasa duduk semeja dengan Zionis.

Di titik ini, kita melihat NU hari ini semakin kehilangan kemampuan mengidentifikasi siapa musuh yang sebenarnya. Padahal ulama-ulama NU terdahulu sangat jelas garisnya: penjajah harus dilawan, bukan diajak dialog. KH. Hasyim Asy’ari dengan resolusi jihadnya, KH. Wahid Hasyim dengan diplomasi Islamnya, KH. Ahmad Siddiq dengan khittah 1984 – semua menegaskan NU sebagai benteng melawan kolonialisme. Hari ini, PBNU justru membuka pintu bagi kolonialisme modern: Zionisme.

Soft Power Zionisme

Jika kita melihat strategi global Zionis-Israel, penyusupan ke dalam NU sebenarnya adalah bagian dari pola yang lebih besar: penggunaan soft power. Mereka sadar tidak bisa memukul Islam secara langsung, karena akan memicu resistensi global. Maka yang dipilih adalah cara halus: dialog antaragama, pertukaran budaya, beasiswa ke Barat, dan proyek-proyek sosial kemanusiaan. Di balik slogan manis itu, ada agenda menggerus ideologi, memutus jalur militansi umat, dan mensterilkan gerakan Islam dari semangat anti-penjajahan.

NU, sebagai organisasi keagamaan dengan basis massa besar, sangat menggoda untuk dijadikan pintu masuk. Apalagi elit NU banyak yang sudah “nyaman” dengan fasilitas negara, proyek pemerintah, atau bahkan akses internasional. Dalam kondisi seperti ini, sangat mudah bagi aktor luar untuk menyusup dengan bahasa persahabatan, kerja sama, atau “modernisasi Islam.” Padahal yang terjadi adalah pelumpuhan daya kritis dan hilangnya sensitivitas terhadap isu Palestina maupun hegemoni Zionis.

Lemahnya filter ideologi NU tampak jelas ketika sebagian elitnya justru berbangga diri ketika diundang ke forum-forum internasional yang didanai oleh lembaga pro-Israel atau simpatisan Zionis. Mereka menyebutnya sebagai langkah maju, padahal itu hanyalah bentuk kooptasi. Dalam tradisi Islam klasik, seorang ulama dituntut untuk wara’, hati-hati terhadap siapa yang mendanai, siapa yang mengundang, dan siapa yang memberi panggung. Namun kini sebagian pengurus NU justru menganggap itu sebagai “prestasi diplomasi.”

Kelemahan ini bukan sekadar kesalahan individu, melainkan akibat dari kecerobohon elit NU : kaderisasi ideologi di tubuh NU semakin rapuh. NU lebih sibuk dengan politik praktis dibanding membangun kesadaran geopolitik di kalangan kiai dan santri. Akibatnya, infiltrasi Zionis tidak terbaca, atau bahkan sengaja dibiarkan karena dianggap “tidak ada masalah.”

Mengapa Zionis Harus Menyusup ke NU?

Pertanyaan ini memang tidak bisa dihindari: kenapa Zionis begitu getol menyusup ke tubuh NU? Jawabannya jelas, Zionis tidak mungkin membuang waktu menghabiskan energi untuk organisasi kecil tanpa basis massa. Mereka hanya fokus pada target besar, organisasi yang punya pengaruh luas, dan NU adalah sasaran empuk itu. NU bukan sekadar ormas keagamaan, tapi simbol Islam tradisional terbesar di dunia, dengan ratusan juta jamaah yang bisa digerakkan. Jika NU bersuara lantang, bukan hanya publik Indonesia yang berguncang, tapi juga percaturan global akan berubah.

Bayangkan seandainya NU bersikap tegas melawan Israel. Suara NU akan mengguncang forum-forum internasional, menjadi kekuatan moral yang tak bisa diremehkan dalam diplomasi global. Indonesia bisa punya modal politik baru untuk menekan Israel di PBB atau forum internasional lain. Bahkan, negara-negara Islam yang masih ragu atau setengah hati mendukung Palestina bisa terdorong jika melihat NU mengambil sikap keras. Itulah bahaya terbesar bagi Zionis: potensi perlawanan yang lahir dari umat mayoritas dengan basis ideologi Aswaja.

Tetapi masalahnya, potensi itu kini justru dilumpuhkan dari dalam. Alih-alih menjadi benteng perlawanan, NU terlihat kian melemah, bahkan dipertontonkan sebagai lembaga yang bisa diajak kompromi. Inilah strategi klasik infiltrasi: jangan tunggu musuh besar bangkit, lumpuhkan kesadarannya sejak dini, kendalikan dari dalam, dan buat ia kehilangan orientasi. Zionis paham betul, jika NU dibiarkan bebas menentukan sikap, maka NU bisa menjadi “pembakar semangat perlawanan” yang sulit dikendalikan. Maka cara paling efektif adalah membuat NU kehilangan ideologi dan kepemimpinan visioner.

Realitas hari ini membuktikan hal itu. Skandal keterlibatan tokoh-tokoh Zionis dalam program strategis NU, hingga lawatan Yahya Staquf ke Israel, menjadi tanda bahwa NU sedang diarahkan keluar dari khittah perjuangannya. Publik dikejutkan, tapi bagi Zionis, ini kemenangan diplomasi senyap. Mereka tidak perlu menghabiskan energi menghadapi NU di jalanan, karena elit NU sendiri sudah membuka pintu. Yang hilang bukan sekadar independensi, tapi juga kehormatan sejarah NU sebagai benteng umat.

Dampaknya sangat serius. Jika NU berhasil dibungkam atau dibelokkan, maka umat Islam Indonesia otomatis kehilangan kekuatan politik dan moralnya. NU yang seharusnya menjadi penggerak kebangkitan malah berubah menjadi instrumen untuk menenangkan, bahkan meredam suara umat. Zionis paham betul: lumpuhkan NU, maka umat Islam Indonesia akan terpecah, bingung, dan kehilangan arah perjuangan. Inilah strategi kolonial gaya baru: bukan lagi lewat penjajahan fisik, tapi lewat infiltrasi ideologi dan kooptasi kepemimpinan.

Karena itu, para ulama dan Kiai harus berani berkata jujur dan tegas: NU hari ini sedang berada di ambang kehancuran ideologis. Jika NU terus membiarkan dirinya dipelintir, dijadikan panggung bagi kaki tangan Zionis, maka sejarah akan mencatat NU bukan lagi benteng ASWAJA dan Indonesia, melainkan pengkhianat umat. Lebih baik NU runtuh dengan kehormatan karena melawan, daripada hidup panjang tapi menjadi peliharaan asing. Zionis tidak boleh diberi ruang, tidak boleh diberi pintu, bahkan tidak boleh diberi celah satu inci pun untuk menancapkan kuku di tubuh NU. Jika elit NU tetap diam, maka umatlah yang harus mengguncang, agar NU kembali ke khittahnya berjalan sesuai jalur perjuangannya.[]

* Penulis adalah Direktur Moderation Corner, Jakarta.