Tafsir Al-Hajj 24-25: Dulu, Rumah di Makkah Tidak Ada Pintunya

Tafsir Al-Hajj 24-25: Dulu, Rumah di Makkah Tidak Ada Pintunya Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i.

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie

Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.

Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Hajj': 24-25. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.

24. Wa hudū ilaṭ-ṭayyibi minal-qaul(i), wa hudū ilā ṣirāṭil-ḥamīd(i).

Mereka diberi petunjuk pada ucapan yang baik dan diberi petunjuk (pula) ke jalan (Allah) Yang Maha Terpuji.

25. Innal-lażīna kafarū wa yaṣuddūna ‘an sabīlillāhi wal-masjidil-ḥarāmil-lażī ja‘alnāhu lin-nāsi sawā'anil-‘ākifu fīhi wal-bād(i), wa may yurid fīhi bi'ilḥādim biẓulmin nużiqhu min ‘ażābin alīm(in).

Sesungguhnya orang-orang yang kufur dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan (dari) Masjidilharam yang telah Kami jadikan (terbuka) untuk semua manusia, baik yang bermukim di sana maupun yang datang dari luar (akan mendapatkan siksa yang sangat pedih). Siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya pasti akan Kami jadikan dia merasakan sebagian siksa yang pedih.

TAFSIR

Memperhatikan ayat nomor 23, 24, dan 25, setelah membicarakan orang beriman dengan segala fasilitasnya di surga nanti, lalu disambung dengan infromasi bahwa meraka, memang sejak di dunia menempuh jalan kebenaran dan terpuji (24). Kemudian dijelaskan betapa orang-orang kafir dan menggangu orang-orang beriman beribadah dan berjuang di jalan Tuhan.

Tidak hanya itu, para kafir tersebut juga mengganggu bahkan membuat kerusuhan kepada orang-orang yang beribadah di al-Masjid al-Haram, seperti berthowaf, sa’i, i’tikaf di masjid, dan lain-lain. Padahal al-Haram adalah rumah Tuhan yang disediakan bagi siapa saja yang hendak berteduh, berdiam di situ.

Oleh Tuhan, mereka diperlakukan adil, sama, baik warga setempat maupun orang asing. “sawa’ al-‘akif fih wa al-bad”. Barang siapa yang mencoba berbuat kerusuhan dan mengganggu, maka Tuhan sendiri yang turun tangan menghajar mereka. Setidaknya di akhirat nanti dengan siksa yang tak terbayangkan.

“al-Haram”, artinya “terhomat, dilarang”, artinya, saking terhormatnya tanah itu hingga tiada satu orang-pun boleh berbuat buruk di tanah itu. Semua dilarang berbuat obar di situ. Perempuan itu “haram”. Artinya, dia terhormat dan semua laki-laki tidak boleh merendahkan dia, menzinai, melecehkan, mengganggu, dsb.

Dunia arab maklum, bahwa definisi tanah haram adalah kota Makkah. Jadi, selagi masih di dalam batas kota Makkah, maka dihukumi sebagai sedang berada di tanah haram. Dihukumi sebagai tanah suci, dihukumi sama dengan berada dalam al-Masjid al-Haram (?).

Nah, yang bagian akhir ini yang perlu dicerdasi. Karena akan timbul pertanyaan, apakah di terminal sono, di pasar sono, di hotel sono, itu sama dengan berada di dalam masjid?

Pertama, perhatikan baik-baik orang-orang yang shalat berjamaah di sono, di dalam hotel, di jalan raya, di mana-mana yang jauh dari bangunan al-Masjid al-Haram. Padahal ruangannya tertutup dan jauh, hanya sekadar dengar lewat pengeras suara atau lewat layar monitor. Oleh ulama sono dihukumi sah. Mereka menganggap kota Makkah sama dengan satu bangunan al-Masjid al-Haram. Ya, tapi…

Perlu dipilihi, disesuaikan dengan amal yang sedang kita kerjakan. Pertama, untuk lokasi di luar batas bangunan al-Masjid al-Haram silakan dianggap sebagai al-Masjid al-Haram saat kita beribadah, seperti sedang shalat berjamaah. Ya, agar pahalanya berlimpah, kita bisa i’tikaf dan lain-lain.

Tapi kalau sedang non ibadah, apalagi sedang maksiat, wah... Ya jangan. Anggap saja di luar masjid, meskipun tetap tanah haram. Hotel, - misalnya - kalau sedang dipakai shalat berjamaah, bermakmum ke masjid lewat layar monitor, anggap saja masjid. Tapi, kalau sedang dipakai kelonan, ngopi, apalagi merokok, ya jangan.

Milah-milih begini ini perlu demi keluwesan bersikap. Dan malaikat pasti mencatat sesuai niatan kita. Jadi, tanah di luar bangunan al-Masjid al-Haram di dalam tanah haram atau Makkah itu bagaikan “rahabah”, serambi al-Masjid al-Haram. Hukum serambi itu luwes. Bisa dianggap masjid dan bisa tidak.

Kalau sedang beraktivitas ibadah, maka sebaiknya diniati sebagai masjid. Anda shalat berjamaah dan bertempat di serambi, karena datang belakangan dan bangunan masjidnya sudah penuh, maka niatilah serambi itu sebagai masjid.

Tapi kalau dipakai banjarian dan ramai-ramai, banyak anak kecil, barang kali ada wanita yang sedang haid, maka anggaplah di luar masjid. Apalagi ada makan-makan dan main-main. Makanya, kiai-kiai dulu bila membangun masjid, ada serambinya.

Kedua, khusus bangunan al-Masjid al-Haram punya keistimewaan tersendiri. Bagi yang shalat di sana, pahalanya dilipatkan sesuai kehendak Tuhan. siapa pun orang yang sedang berada di dalam, tidak boleh diganggu, walau itu buronan polisi. Harus ditunggu sampai keluar masjid, baru boleh ditangkap.

Makanya, koruptor kalau mau aman, tinggal di sana saja. istrinya suruh ngirimi makanan.

Meski diperluas seberapa pun dan keluar dari batas aslinya dulu, masjid ini mutlak berhukum sebagai masjid dan tidak bisa direkayasa, “qaula wahida”, satu kata.

“Wa al-Masjid al-Haram al-ladzai ja’alnah li ‘al-nas sawa’a al-‘akif fih wa al-bad”. Allah memberi tahu, bahwa al-Masjid al-Haram yang berjuluk rumah Tuhan itu untuk umum, baik penduduk setempat maupun pendatang. Maksudnya, penduduk setempat, penduduk kota Makkah harus memberi servis para peziarah rumah Tuhan ini.

Penduduk Makkah, sejak dulu mengerti ini dan benar-benar melaksanakan sebisa mungkin. Jadi, mereka selalu welcome terhadap siapa saja yang hendak menggunakan rumahnya sebagai rumah singgah sementara, selama ibadah di situ.

Dalam sejarah disebutkan, bahwa saking tingginya penghormatan penduduk Makkah terhadap para jamaah haji dari luar daerah, mereka membangun rumah tanpa ada pintunya, tanpa daun pintu yang bisa dikunci. Utamanya rumah yang dekat dengan masjid. Justru penduduk yang shalih, malah tidak ada daun pintu sama sekali, hanya gawan saja, sehingga oblang-oblang. Sekali lagi, agar para tamu Allah langsung masuk, tanpa sungkan. Ini semua terjadi pada zaman Jahiliah dulu. Wow, sangat mengagumkan.

Suatu hari Umar ibn al-Khattab melihat ada rumah yang ada pintunya, lalu disamperi dan bertanya kepada si pemilik rumah: "Mengapa kamu membuat pintu macam begin. Apa anda sengaja menolak kehadiran tamu Allah?".

Si tuan rumah menjawab: "Belakangan ini banyak pencuri dan sangat merugikan. Pintu itu sekadar untuk melindungi harta kami dari kejahatan mereka".

Umar R.A. memahami, tapi tetap memerintahkan agar tamu Tuhan dihormati. Malah khusus bulan haji, pintu dibuka, bahkan ada yang dibongkar. Juga diinstruksiakan, tuan rumah menggelar fusthat, sejenis karpet di halaman sebagai isyarat para tamu dipersilakan. Wow, andai orang sekarang semulia ini.