Tafsir Al-Hajj 26: Syari’ah Napak Tilas

Tafsir Al-Hajj 26: Syari’ah Napak Tilas Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i.

Oleh: Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie

Rubrik Tafsir Al-Quran Aktual ini diasuh oleh pakar tafsir Dr. KH. A. Musta'in Syafi'i, Mudir Madrasatul Qur'an Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Kiai Musta'in selain dikenal sebagai mufassir mumpuni juga Ulama Hafidz (hafal al-Quran 30 juz). Kiai yang selalu berpenampilan santai ini juga Ketua Dewan Masyayikh Pesantren Tebuireng.

Tafsir ini ditulis secara khusus untuk pembaca HARIAN BANGSA, surat kabar yang berkantor pusat di Jl Cipta Menanggal I nomor 35 Surabaya. Tafsir ini terbit tiap hari, kecuali Ahad. Kali ini Kiai Musta’in menafsiri Surat Al-Hajj': 26. Selamat mengaji serial tafsir yang banyak diminati pembaca.

26. Wa iż bawwa'nā li'ibrāhīma makānal-baiti allā tusyrik bī syai'aw wa ṭahhir baitiya liṭ-ṭā'ifīna wal-qā'imīna war-rukka‘is-sujūd(i).

(Ingatlah) ketika Kami menempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan berfirman), “Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apa pun, sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, mukim (di sekitarnya), serta rukuk (dan) sujud.

TAFSIR

Setelah membicarakan renik Rumah-Nya sendiri, al-Haram yang begitu sakral dan penuh keberkahan, kini Tuhan mengunggah referensi yang dipakai oleh Nabi Ibrahim A.S. kala membangun rumah Tuhan yang sangat antik tersebut.

Diriwayatkan, bahwa nabi Ibrahim A.S. terpanggil untuk membangun kembali Ka’bah yang dulu sudah pernah ada. Tetapi tidak tahu petilasan itu, tepatnya ada di mana. Rumah Tuhan itu benar-benar sudah tidak terlihat sama sekali dan sirna dari permukaan bumi, karena peristiwa alam yang mengubur fondasinya.

Lalu Tuhan mengirim badai seru, hujan campur angin yang sangat dahsyat. Air bertugas menggerus tanah dan angin yang menyapu hingga apa-apa yang tertimbun menjadi nampak. Lalu tampaklah fondasi dan petilasan rumah Tuhan itu. Ibrahim A.S. meneliti semuanya hingga sempurna dan dari data yang ditemukan tersebut, Ka’bah dibangun kembali.

Fikih napak tilas menunjukkan, bahwa napak tilas dari latar belakang sejarah yang bermanfaat, yang religius adalah dianjurkan demi syi’ar islam demi kemaslahatan umat. Efek syari’ahnya jelas, bahwa semua bisa diekpresikan dalam lelaku ibdah haji. Dari thawaf, sa’i, wuquf, lempar jamrah, dan seterusnya.

Tetapi napak tilas yang tidak ada manfaatnya, apalagi petilasan sejarah kemusyrikan dan kekufuran masa lalu, maka seharusnya dikubur dalam-dalam. Jangan digali, diperingati, dan dipromosikan, meski berdalih budaya. Budaya, jika tidak diapresiasi oleh agama, maka hukumnya haram dilestarikan.

Ketika Ka’bah sudah dibangun dengan sempurna sebagai sentral ibadah kepada-Nya, aturan-aturan baru dibuat, termasuk fungsinya. Disebutkan, bahwa tidak boleh ada kemusyrikan, bahkan simbol-simbol kemusyrikan dan kekufuran wajib sirna dari Baitullah ini. Rumah keramat ini senagaja diperuntukkan bagi hamba-Nya yang berthawaf dan yang mendirikan shalat, “al-qa’imin, al-rukka’, al-sujud”.

Pada ayat ini, mereka yang thawaf (al-tha’ifin) disebut duluan ketimbang yang shalat (sunnah). Hal itu mengisyaratkan bahwa khusus di baitullah, thawaf lebih disunnahkan ketimbang shalat tahiyyah al-masjid. Jadi, thawaf itulah sebagai tahiyyah-nya (penghormatannya). Dan itu lebih utama. Ya, karena Ka’bah adanya cuma di al-masjid al-Haram saja, maka bersifat istimewa.

Siratan ayat ini keras sekali terhadap indikator kesyirikan. Rasanya ada manfaatanya, bila kerajaan Arab Saudi yang konotasinya “wahabi” itu bersikap sangat keras terhadap apa saja yang berbau bid’ah, kultus berlebihan, menyerempet-nyerempet syirik terjadi di sana.

Dan itu memang pesan ayat yang senada dengan kaedah fiqih, larangan terhadap sesuatu berarti melarang pula semua instrumennya. “Al-nahy ‘an al-sya’I, nahy ‘an wasa’ilih”. Sebagai imbangan dari kaedah amr (perintah) “al-amr bi al-syai’ amr bi wasa’ilih”.

Seperti agama yang memerintahkan shalat, berarti juga memerintahkan memenuhi syarat dan rukunnya. Termasuk perintah berwudlu, menghilangkan hadas dan najis, baik yang ada di badan, pakaian maupun tempat shalat. Tidak ketinggalan mengetahui waktu, arah kiblat dsb.

Andai saja al-masjid al-haram dikuasai oleh kaum syi’ah, atau Nahdlatul ulama’, di mana pengikutnya hobi benda-benda yang diyakini berbarakah, sudah bisa dipastikan bahwa dinding Ka’bah, pagar makam Rasulullah SAW kroak-kroak karena dikeroki, diteteli, disileti. Bisa jadi, tanah kuburannya habis, andai dibuka bebas satu jam saja. Lha wong bebatuan hias di makam KHM Hasyim Asy’ari saja resik.