JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Surat Edaran (SE) Kapolri mengenai Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) terus menjadi polemik.
Publik menolak surat edaran Nomor SE/06/X/2015 yang diteken Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 itu karena sudah ada aturan dalam KUHP yang mengatur soal itu.
Baca Juga: Tanggapi Cuitan Netizen di X, Ridwan Kamil: Boleh Bully Saya, Tapi Jangan Keluarga Apalagi Anak Saya
"Surat edaran yang diberlakukan juga bersifat mubazir. Untuk menjerat para pelaku yang telah berbuat fitnah dan rasa kebencian sudah diatur di dalam KUHP. Namun kita sepakat bahwa Pasal yang menjerat seseorang melakukan itu dihapus," ujar Sekretaris Pusat Studi Hukum dan Pembaharuan Peradilan (Pushpa) Sumatera Utara, Nuriono, Rabu (4/11).
Nuriono melihat surat edaran Kapolri itu muncul didasari kekhawatiran figur tertentu dari publik, yang kemudian diproteksi oleh Kapolri. "Surat edaran itu dulu sudah pernah ada, namun banyak dikomplain," jelasnya.
Nuriono menjelaskan, keberadaan SE tersebut bukan sebagai bentuk alat kekuasaan untuk mengkriminalisasi seseorang. "Ini sama saja mengekang demokrasi masyarakat. Seharusnya kritikan terhadap penguasa dapat ditafsirkan dengan akal sehat. Kritikan yang dilakukan masyarakat saya nilai untuk membangun bangsa agar lebih baik lagi kedepannya," kata Nurino.
Baca Juga: Cegah Ajaran Radikalisme Melalui Medsos, Polresta Sidoarjo Perkuat Barisan Netizen
Untuk itu, dirinya meminta agar surat edaran yang diberlakukan harus dicabut kembali. "Surat edaran itu harus dicabut segera," pungkasnya.
Hal sama diungkapkan pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Agung Suprio. Menurutnya, SE Kapolri dinilai mengekang kebebasan berbicara. Pasalnya setiap ekspresi atau kritik yang dilontarkan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, tidak bisa dihadapi dengan cara represif. Meski kritik yang dilontarkan itu membuat orang lain jadi tak suka kepada pemerintah.
Dia menegaskan, SE tersebut, menunjukkan bahwa proses demokrasi di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengalami kemunduran.
Baca Juga: Tak Puas dengan Penetapan PPS pada Pemilu 2024, Netizen Geruduk Akun Sosmed KPU Tuban
Kritik yang dilontarkan, menurut Agung lagi sebenarnya bertujuan baik, dalam artian memperbaiki dan mempercepat kinerja pemerintah.
"Pengkritik, seharusnya tidak bisa ditangkap dengan surat edaran tersebut dan jika itu dilakukan sama artinya membungkam rakyat dan membunuh demokrasi itu sendiri," ujarnya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengeluarkan SE bernomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau hate speech pada 8 Oktober 2015. Surat ini bertujuan untuk menindak netizen yang mengutarakan kebencian hingga berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Baca Juga: Trending 'Kecurangan' di SPBU Pertamina, Netizen Bagi Tips Nominal Mengisi Bensin
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon menanggapi, selama untuk tujuan penegakan hukum, DPR dipastikan mendukung Surat Edaran Kapolri soal ujaran kebencian atau hate speech.
"Saya kira maksudnya baik, pihak kepolisian ingin mengontrol berbagai macam isu yang ada di media sosial dan media lainnya, tapi saya kira harus dipisahkan antara yang fitnah dan kritik," ujar Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/11).
Fadli Zon mengatakan, semua orang bebas menyampaikan kritikannya asal jangan menfitnah. Termasuk, para wakil rakyat yang diamanahi konstitusi untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
Baca Juga: PPDB di MAN 1 Gresik Ditarik Rp 2,7 Juta, Netizen Heboh
Meski begitu, ia mengharapkan SE tersebut tidak dijadikan alat politik untuk membungkam suara masyarakat. "Kita juga tidak ingin ada suatu pendekatan keamanan (security approach) seperti yang terjadi di masa lalu. Jadi penegakkan hukum saja secara normatif," jelasnya.
Menurutnya simpel saja, selama untuk penegakkan hukum maka rakyat seharusnya mendukung. Sebaliknya jika nanti menyimpang maka harus ditentang. "Yaa gitu saja bottom linenya," ucapnya.(rmol/sta/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News