Jaringan Radikalisme dari SMA hingga Perguruan Tinggi

Jaringan Radikalisme dari SMA hingga Perguruan Tinggi

Pada 1998 elit Islam radikal menginstruksikan semua ketua senat PTN untuk mengambil peran dalam proses reformasi nasional dan melakukan konsolidasi pedirian partai.

Dari rangkaian aksi itu tampak sekali bahwa orientasi kelompok Islam radikal adalah kekuasaan, terutama pendirian khilafah, meski dalam perkembangan politik mereka akhirnya memilih lebih terbuka dan mengubah haluan. Saya melihat jaringan dari SMA ke perguruan tinggi itu justeru lebih berorientasi pada formalisme syariah. 

Nah, mencermatiproses sejarah di atas, media kampus sangat strategis dalam untuk menangkal gerakan lewat pemikiran para mahasiswa. Saya optimis media kampus sangat efektif untuk menangkal . Setidaknya, jika beberapa langkah strategis di bawah ini bisa dilakukan.

Pertama, para pengelola media kampus harus memahami anatomi gerakan mereka sehingga bisa menyajikan tulisan yang mampu membongkar strategi mereka. Ingat, mereka terus bergerak dan bahkan makin masif.

Kedua, media kampus secara kontinu dan periodik melaporkan perkembangan gerakan mereka, termasuk aspek mudlaratnya. Dengan cara ini publik mahasiswa paham betapa gerakan mereka diluar batas dan tak sesuai dengan ajaran Islam yang benar.

Ketiga, media kampus secara istiqamah menyajikan laporan Islam rahmah dan ramah dengan logika dan dalil yang bersifat intelektual. Jangan lupa, doktrin hanya bisa dilawan dengan doktrin yang masuk akal.

Keempat, intensitas kajian dan liputan tentang Islam rahmah dan ramah harus lebih ditingkatkan dan divokalkan sehingga bisa menjadi “doktrin yang wajar” dan masuk akal. Dengan demikian media kampus menjadi media brainwash yang tanpa kehilangan nalar intelektual.

Kelima, media kampus perlu koordinasi antarsesama media kampus. Dalam arti, perlu aliansi media kampus terutama yang sealiran atau sesama Islam rahmah dan ramah.

Keenam, sasaran media kampus diperluas dengan agenda kegiatan pelatihan jurnalistik pada adik-adik siswa-siswi SLTP dan SLTA. Fakta sejarah menunjukkan bahwa adik-adik SLTP dan SLTA yang selama jadi sasaran kelompok Islam radikal.

Ketujuh, pengelola media kampus perlu lebih canggih menguasai Information technology (IT). Sebab kelompok Islam radikal sangat ahli IT dan selalu memanfaatkan IT sebagai media propaganda mereka.

Kedelapan, pengelola media kampus harus menyadari bahwa ”revolusi media tak pernah selesai”. Dulu media bertumpu pada media cetak dan media elektronik (TV dan radio). Kini media mengalami revolusi luar biasa, terutama munculnya internet yang kemudian melahirkan media sosial.

Para penikmat internet – termasuk mahasiswa – mungkin sudah membaca berita Hugh Hefner (89), pemilik Majalah Playboy, yang mengeluh karena kini kalah vulgar dalam mengesploitasi foto-foto porno atau ketelanjangan. Dulu sebelum ada internet oplah Majalah Playboy mencapai 5,6 juta eksemplar. Tapi gara-gara internet, sirkulasi Playboy terus merosot dari 5,6 juta eskemplar pada 1970 menjadi 800.000 saat ini.

Akhirnya Hefner menyetop foto sampul wanita telanjang di majalah porno yang terbit sejak 1953 itu.

Kesembilan, doa dan kita diskusikan bersama……..!

M Mas’ud Adnan adalah direktur HARIAN BANGSA, alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Universitas Airlangga (mmasudadnan@yahoo.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO