Ghibah Politik Ramadhan: Menyoal PBNU tentang Politik Dinasti dan Misi Gus Dur

Ghibah Politik Ramadhan: Menyoal PBNU tentang Politik Dinasti dan Misi Gus Dur Baliho Yahya Cholil Staquf di sekitar arena Muktamar ke-34 NU di Lampung. Foto: istimewa

Oleh: Mukhlas Syarkun

Di sela-sela ngabuburit, kita sempatkan untuk berghibah (membicarakan). Bukan soal pribadi, tapi urusan publik. Jika ghibah soal pribadi - misalnya soal aib dan kekurangan seseorang - tentu dosa.

Baca Juga: Hari Santri Nasional 2024, PCNU Gelar Drama Kolosal Resolusi Jihad di Tugu Pahlawan Surabaya

Tapi ghibah untuk kepentingan publik malah dianjurkan. Nabi Muhammad bersabda: siapa yang tidak peduli atas urusan umatku maka bukan bagian dariku.

Bahkan jika kita merujuk pada sirah nabi, momentum Ramadhan tidak hanya membicarakan (ghibah) urusan politik, tapi malah pertengkaran politik. Nabi menjalani perang besar yaitu perang Badr di bulan Ramadhan. Perang untuk urusan agama dan masyarakat.

Ghibah kali ini (fokus pembicaraan) membahas soal demokrasi dan dinasti dalam konteks pemikiran dan perjuangan Gus Dur yang dijadikan miqot perjuangan pasca muktamar Lampung.

Baca Juga: Ba'alawi dan Habib Luthfi Jangan Dijadikan Pengurus NU, Ini Alasan Prof Kiai Imam Ghazali

Mafhum, bahwa Gus Dur adalah sosok yang gigih memperjuangkan demokrasi, supaya tidak terjadi tirani dan dinasti. Karena tirani dan dinasti berpotensi membuat masyarakat lemah.

Nah, masyarakat yang lemah ini kemudian juga berpotensi bersikap dan radikal yang pada akhirnya akan berujung pada kekerasan massal, menodai nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam hal ini masyarakat lantas menyoroti kiprah dan peran yang telah berikrar (dalam muktamar Lampung) akan Menghidupkan Gus Dur atau meneruskan Misi Perjuangan Gus Dur.

Baca Juga: Kenalkan Kehidupan Kampus, Unusida Gelar PKKMB untuk Mahasiswa Baru

Kita juga ingat bahwa di sekitar arena Muktamar ke-34 NU di Lampung banyak sekali banner atau baliho Yahya Cholil Staquf lengkap dengan foto Gus Dur dan dirinya yang "mengeksploitasi" nama besar Gus Dur dengan narasi: MENGHIDUPKAN GUS DUR.

Gus Mukhlas Syarkun. foto: bangsaonline

Kini muncul pertanyaan di kalangan masyarakat, mengapa elit tidak menjaga legacy perjuangan Gus Dur soal demokrasi? Bahkan pengamat politik Fachy Ali lebih tajam lagi. Menurut Fachry Ali, sekarang malah menjadi subordinat penguasa yang sudah kuat, berhadapan dengan masyarakat yang kini posisinya lemah.

Baca Juga: Peringatan Darurat! Tak Cukup Berdoa, Indonesia Perlu Pembangkangan Sipil dan Boikot Pilkada 2024

Apa yang disuarakan oleh Fachry Ali memperlihatkan bahwa belum bisa mengimplementasikan prinsip tawazun, yaitu keseimbangan. Mestinya bersama dengan barisan masyarakat yang posisinya lemah menghadapi bahkan menentang hegemoni oligarki.

Hal lain yang disoal adalah bahwa membiarkan benih dinasti semakin subur. Padahal dinasti akan membawa pada otoriter dan otoriter akan berdampak pada reaksi yang .

Ini ironis, mengingat elit selalu beretorika akan memangkas benih benih radikalisme.

Baca Juga: Tembakan Gus Yahya pada Cak Imin Mengenai Ruang Kosong

Apa yang dinarasikan Fachry Ali sesungguhnya mewakili suasana kebatinan mayoritas masyarakat, termasuk warga NU, yaitu menyoal mengapa sebagian elit mendukung . Padahal itu benih yang akan tumbuh subur menjadi tirani, khususnya di pihak penguasa, dan benih tumbuh subur untuk semaian radikal is di kalangan masyarakat.

Kita tetap optimistis hal ini akan disadari oleh . Sebab jika tidak, maka akan dicatat oleh sejarah membuka lembaran baru sebagai kekuatan sipil yang mentoleransi dan bahkan mendukung otoritarian dan benih radikalisme, bukankah demikian?

3 Ramadhan

Baca Juga: Respons Hotib Marzuki soal Polemik PKB-PBNU

Mukhlas Syarkun, penulis buku Ensklopedi Gus Dur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO