Oleh: Mukhlas Syarkun
Di sela-sela ngabuburit, kita sempatkan untuk berghibah (membicarakan). Bukan soal pribadi, tapi urusan publik. Jika ghibah soal pribadi - misalnya soal aib dan kekurangan seseorang - tentu dosa.
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Tapi ghibah untuk kepentingan publik malah dianjurkan. Nabi Muhammad bersabda: siapa yang tidak peduli atas urusan umatku maka bukan bagian dariku.
Bahkan jika kita merujuk pada sirah nabi, momentum Ramadhan tidak hanya membicarakan (ghibah) urusan politik, tapi malah pertengkaran politik. Nabi menjalani perang besar yaitu perang Badr di bulan Ramadhan. Perang untuk urusan agama dan masyarakat.
Ghibah kali ini (fokus pembicaraan) membahas soal demokrasi dan dinasti dalam konteks pemikiran dan perjuangan Gus Dur yang dijadikan miqot perjuangan PBNU pasca muktamar Lampung.
Baca Juga: Hari Santri Nasional 2024, PCNU Gelar Drama Kolosal Resolusi Jihad di Tugu Pahlawan Surabaya
Mafhum, bahwa Gus Dur adalah sosok yang gigih memperjuangkan demokrasi, supaya tidak terjadi tirani dan dinasti. Karena tirani dan dinasti berpotensi membuat masyarakat lemah.
Nah, masyarakat yang lemah ini kemudian juga berpotensi bersikap ekstrem dan radikal yang pada akhirnya akan berujung pada kekerasan massal, menodai nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam hal ini masyarakat lantas menyoroti kiprah dan peran PBNU yang telah berikrar (dalam muktamar Lampung) akan Menghidupkan Gus Dur atau meneruskan Misi Perjuangan Gus Dur.
Baca Juga: Ba'alawi dan Habib Luthfi Jangan Dijadikan Pengurus NU, Ini Alasan Prof Kiai Imam Ghazali
Kita juga ingat bahwa di sekitar arena Muktamar ke-34 NU di Lampung banyak sekali banner atau baliho Yahya Cholil Staquf lengkap dengan foto Gus Dur dan dirinya yang "mengeksploitasi" nama besar Gus Dur dengan narasi: MENGHIDUPKAN GUS DUR.
Gus Mukhlas Syarkun. foto: bangsaonline
Kini muncul pertanyaan di kalangan masyarakat, mengapa elit PBNU tidak menjaga legacy perjuangan Gus Dur soal demokrasi? Bahkan pengamat politik Fachy Ali lebih tajam lagi. Menurut Fachry Ali, PBNU sekarang malah menjadi subordinat penguasa yang sudah kuat, berhadapan dengan masyarakat yang kini posisinya lemah.
Baca Juga: Kenalkan Kehidupan Kampus, Unusida Gelar PKKMB untuk Mahasiswa Baru
Apa yang disuarakan oleh Fachry Ali memperlihatkan bahwa PBNU belum bisa mengimplementasikan prinsip tawazun, yaitu keseimbangan. Mestinya PBNU bersama dengan barisan masyarakat yang posisinya lemah menghadapi bahkan menentang hegemoni oligarki.
Hal lain yang disoal adalah bahwa PBNU membiarkan benih dinasti semakin subur. Padahal dinasti akan membawa pada otoriter dan otoriter akan berdampak pada reaksi yang ekstrem.
Ini ironis, mengingat elit PBNU selalu beretorika akan memangkas benih benih radikalisme.
Baca Juga: Peringatan Darurat! Tak Cukup Berdoa, Indonesia Perlu Pembangkangan Sipil dan Boikot Pilkada 2024
Apa yang dinarasikan Fachry Ali sesungguhnya mewakili suasana kebatinan mayoritas masyarakat, termasuk warga NU, yaitu menyoal mengapa sebagian elit PBNU mendukung politik dinasti. Padahal politik dinasti itu benih yang akan tumbuh subur menjadi tirani, khususnya di pihak penguasa, dan benih tumbuh subur untuk semaian radikal ekstremis di kalangan masyarakat.
Kita tetap optimistis hal ini akan disadari oleh PBNU. Sebab jika tidak, maka PBNU akan dicatat oleh sejarah membuka lembaran baru sebagai kekuatan sipil yang mentoleransi dan bahkan mendukung otoritarian dan benih radikalisme, bukankah demikian?
3 Ramadhan
Baca Juga: Tembakan Gus Yahya pada Cak Imin Mengenai Ruang Kosong
Mukhlas Syarkun, penulis buku Ensklopedi Gus Dur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News