SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Pondok Pesantren Al-Muhibbin Tambaklangon Asemrowo Surabaya memiliki ciri khas unik. Di antaranya sangat hati-hati dalam mengajar para santrinya. Misalnya dalam kegiatan mengajar, bekas kapur tulis untuk menulis lafadz Allah dikumpulkan, tidak boleh jatuh ke lantai.
“Bekas kapur itu kami simpan sampai sekarang,” kata KH Mas Ali Ja’far, pengasuh Pesantren Al Muhibbin kepada BANGSAONLINE. Menurut dia, kebiasaan sikap ta’dzim (menghormati) bekas kapur untuk menulis lafadz Allah itu merupakan ajaran dari ayahnya, KH Mas Muhammad Nur Muhibbin.
Baca Juga: Pesantren di Lereng Gunung, 624 Santrinya Lolos PTN dan di 11 Perguruan Tinggi AS, Eropa dan Timteng
Tradisi positif lainnya dari Kiai Mas Muhammad Nur adalah selalu turba ke tengah masyarakat. “Selama abah saya tidak ada undangan ke luar kota, beliau selalu menyempatkan waktu untuk bersosialisasi ke masyarakat kampung sekitar,” kata Kiai Mas Ali Ja’far.
Kiai Mas Ali menceritakan bahwa abahnya selalu membawa bingkisan dan air yang sudah diasma’ (didoakan) ketika turba. “Bingkisan itu diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan,” katanya. Sedangkan air yang diasma’ itu diberikan kepada warga masyarakat yang sakit.
Saking pedulinya terhadap masyarakat, bahkan Kiai Mas Muhammad Nur tahu secara detail kondisi masyarakat di sekitarnya. Misalnya yang miskin, yang sakit atau yang kaya.
Baca Juga: Tren Santri Belajar di Luar Negeri, Sekarang Peluang Makin Besar dan Tak Terbatas
Pengasuh pesantren Al Muhibbin ini sangat mandiri dan menjaga muru’ah (nama baik) dalam soal dana. ”Abah itu dulu ketika membangun pesantren tak pernah merepotkan masyarakat, tidak pernah minta bantuan,” kata Kiai Mas Ali Ja’far.
Menurut dia, dana untuk membangun pesantren itu hasil usaha pribadi. Meski demikian bukan berarti menolak sumbangan dari masyarakat. ”Kecuali kalau masyakat mau menyumbang sendiri, “ katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News