MALUKU, BANGSAONLINE.com - Gerhana Matahari Total (GMT) yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia banyak menarik minat warga dan wisatawan untuk melihat secara langsung fenomena alam tersebut. Di Maluku, ribuan wisatawan bahkan datang dari berbagai negara untuk sekadar menyaksikan GMT yang hanya berlangsung beberapa menit tersebut. Di wilayah tersebut, langit pagi hari kemarin gelap lantaran matahari tertutup bulan. Hal serupa terjadi di langit Palembang, Sumatra.
Di Maba, Maluku Utara, laut di dermaga Kota Maba tiba-tiba surut sehingga membentuk daratan kering yang menghubungkan Pulau Halmahera dengan Pulau Mobon yang terpisah sekitar 400 meter saat gerhana matahari total terjadi.
Baca Juga: Kiai Asep Ungkapkan Makna Sholat Gerhana
Samsul Bahri, 42 tahun, yang berada di dermaga mengatakan fenomena itu terjadi seperti lautan yang terbelah. Warga pun ketakutan. Apalagi, dia melanjutkan, langit mendadak gelap lantaran gerhana matahari total.
"Warga berlari menjauhi laut karena menyangka ada tsunami," ujar Samsul di Maba, Maluku Utara, Rabu (9/3).
Menurut dia, tidak ada keributan yang terjadi ketika warga berlari panik melihat air laut yang surut. Warga, kata dia, hanya berlari kecil tanpa berteriak.
Baca Juga: Gerhana Bulan Total, Kemenag Jember Imbau Masyarakat Lakukan Sholat Khusuf
Samsul sendiri berlari menuju jembatan yang terletak 100 meter dari dermaga. Di dermaga, dia berhenti sejenak karena langit kembali terang. Dia juga menyaksikan daratan yang mengering kembali terisi air laut.
Dermaga menjadi lokasi penyelenggaraan festival gerhana matahari. Ratusan orang memadati lokasi itu. Berbagai penampilan kesenian ditampilkan pemerintah daerah untuk warga Maba dan para turis. Fase totalitas gerhana matahari di Maba sendiri berlangsung selama 3 menit 20 detik.
Pulau Mobon dapat terlihat dari lokasi festival. Pulau tersebut dan Pulau Halmahera sejatinya memang terhubung oleh daratan dangkal. Pulau Mobon terletak tak jauh dari muara sungai.
Baca Juga: Gerhana Bulan Total Pada 8 November 2022: Kaum Muslim Dianjurkan Sholat Khusuf
Konfigurasi bumi, bulan, dan matahari sendiri terkait dengan aktivitas pasang-surut air laut. Saat bulan mati, seperti yang terjadi pada gerhana matahari total dan purnama terjadi pasang-surut perbani.
Pasang-surut ini merupakan yang terbesar dibandingkan kejadian yang sama di luar fase bulan mati dan purnama.
Sementara di Palembang, proses terjadinya gerhana matahari tertutup awan gelap. Sejak Rabu (9/3) subuh, Jembatan Ampera sudah dipadati ribuan pengunjung yang akan menikmati proses tertutupnya matahari oleh bulan. Saat gerhana matahari dimulai sekitar pukul 06.20 WIB, tampak awan hitam menutupi posisi matahari. Awal proses GMT pun tak terlihat dengan jelas.
Baca Juga: Penampakan Gerhana Matahari Cincin di Pamekasan Terhalang Mendung
Teriakan syukur langsung berkumandang di atas Jembatan Ampera ketika awan perlahan mulai bergeser. Kegelapan Gerhana Bulan penuh selama 1 menit 20 detik pun bisa dirasakan secara langsung di atas jembatan berwarna merah itu. Proses Giant Diamond Ring diawal terbukanya gerhana bulan juga tidak terlihat.
Barulah sekitar pukul 07.40 WIB hingga 07.41 WIB, para pengunjung Jembatan Ampera bisa melihat matahari berbentuk bulan sabit, karena proses menghilangnya gerhana matahari. Dilanjutkan pada pukul 08.07 WIB-08.09 WIB dan 08.12 WIB-08.14 WIB terlihat jelas proses timbul kembalinya matahari penuh. Lalu matahari tertutup awan dan turun rintik gerimis di atas Jembatan Ampera.
Sementara lembaga-lembaga penelitian seolah berlomba untuk menggali misteri yang ada dalam persitiwa tersebut. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) misalnya. Lapan berhasil menggumpulkan banyak data saat gerhana matahari total. Menurut peneliti Lapan, Rhorom Priyatikanto, dua struktur matahari yang selama ini tak kasat mata terlihat saat gerhana matahari total. Menurut dia, kedua struktur itu terlihat karena cahaya matahari terhalangi oleh bulan.
Baca Juga: Ratusan Jamaah Gelar Salat Gerhana Matahari di Masjid Agung Bojonegoro
"Biasanya kedua struktur itu kalah terang dengan fotosfer matahari," ujar Rhorom di Pendopo Kota Maba, Maluku Utara, dilansir Liputan6 Rabu (9/3).
Menurut Rhorom, prominensa (lidah api) terlihat di pinggiran utara dan barat matahari. Dengan mata telanjang, kedua struktur itu tampak berwarna merah terang.
Lidah api merupakan gas panas yang melayang di atas permukaan matahari. Lidah api ini merupakan ion-ion yang terkurung medan magnetik yang keluar dari permukaan matahari.
Baca Juga: Warga Jember Ikut Lihat Fenomena Gerhana Matahari Gunakan Mika, Begini Caranya
Adapun korona, dia melanjutkan, tampak sebagai cahaya putih yang mengelilingi matahari. Cahaya korona itu berasal dari plasma bertemperatur tinggi.
Korona merupakan lapisan paling luar yang menyelubungi matahari. Lapisan ini tersusun atas ion-ion yang terperangkap oleh medan magnetik matahari.
Gabungan ion dan medan magnetik ini lazim disebut sebagai plasma. Plasma sendiri merupakan fasa benda keempat setelah padat, cair, dan gas. Suhu korona diketahui mencapai 1 juta Kelvin.
Baca Juga: Lihat Gerhana Matahari Cincin, Warga Probolinggo Gunakan Sarana Air
Korona hanya bisa dilihat saat gerhana matahari total. Penampakannya seperti pendaran cahaya yang keluar dari piringan gelap matahari. Keindahan itu membuat lapisan ini diberi nama korona atau mahkota matahari.
Dalam melakukan penelitian, Lapan seolah 'berkompetisi' dengan National Aeronautics and Space Administration (NASA). Peneliti dari kedua lembaga mengukur temperatur lapisan terluar matahari ketika gerhana matahari total terjadi. Dua teleskop milik Lapan dan NASA sudah berdiri di Pendopo Maba, Kota Maba, Halmahera Timur. Para peneliti sibuk mengatur instrumen yang akan mereka gunakan untuk merekam gerhana.
Peneliti Lapan Manuel Sungging Mumpuni menyebutkan lembaganya akan memanfaatkan jendela waktu pengamatan selama 3 menit untuk memotret korona. Cahaya korona dicacah menjadi berbagai warna menggunakan spektograf sebelum jatuh ke kamera. Bias sinar korona itulah yang kemudian menjadi petunjuk peneliti Lapan untuk menentukan elemen-elemen yang menyusun korona matahari.
Baca Juga: Ramai-ramai Mengamati Gerhana Matahari Cincin, Warga Kediri Kumpul di SLG
"Kami bisa mengetahui temperatur korona setelah mengetahui komposisi ini," katanya ketika ditemui di Pendopo Kota Maba.
Metode penentuan komposisi kimia yang dikerjakan Lapan akan bersaing dengan metode pengukuran intensitas korona yang dilakukan NASA. Lembaga penelitian asal Amerika Serikat ini menghitung intensitas 2 bagian korona.
"Ada bagian spektrum korona yang belum bersesuaian dengan model yang dikembangkan ahli astronomi," ujar peneliti NASA Nelson Reginald.
Ilmuwan membagi korona menjadi 2 yaitu K dan F. Korona-K merupakan jenis korona yang sinarnya berasal dari elektron di sekitar matahari. Hamburan inilah yang membuat korona ini terpolarisasi. Adapun korona-F merupakan jenis korona selain korona-K.
Terkait 'kompetisi' yang terjadi antara 2 lembaga penelitian ini, Sungging menyebutnya sebagai hal yang biasa. Menurut dia, yang terjadi sebenarnya adalah ilmuwan menggunakan 2 pendekatan berbeda untuk menyibak rahasia temperatur korona matahari. (okz/kcm/mer/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News