Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com – “Tsumma kulii min kulli altstsamaraati fauslukii subula rabbiki dzululan yakhruju min buthuunihaa syaraabun mukhtalifun alwaanuhu fiihi syifaaun lilnnaasi inna fii dzaalika laaayatan liqawmin yatafakkaruuna”.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
"Syarab mukhtalif alwanuh, fih syifa' li al-nas". Di kalangan para sahabat sudah umum bahwa nabi Muhammad SAW telah memberi resep kesehatan prima, sehingga mereka bisa mengobati sendiri tanpa harus konsultasi kepada dokter.
"Alaikum bi al-syifa'ain, al-qur'an wa al-'asal". Silakan you pakai al-Qur'an dan madu sebagai obat. Hadis ini memperkuat tesis ayat studi, di mana madu yang diproduk koloni lebah sungguh berguna sebagai obat bagi umat manusia, tidak sekedar sebagai minuman segar menyehatkan.
Sunnah qauliyah ini selarah dengan pesan ayat, sehingga berfungsi "mu'akkidah", penguat. Jadi, antara ayat dan Hadis saling menguatkan. Terkait fungsi obat, al-Qur'an dan madu bisa dimaknai leterleg, apa adanya, dalam arti, memang ayat al-Qur'an -dengan izin Allah- bisa menyembuhkan segala penyakit dan sudah beberapa kali dipraktikan dan terbukti.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Seperti kawanan sahabat yang tersesat dan terlantar di pedesaan jauh dari Madinah. Mereka kehabisan bekal, lalu mengobati kepala suku yang tergigit ular dengan hanya bacaan surat al-Fatihah. Pasien sembuh dan mereka dihormat dan dijamu makanan lezat, lalu dihadiahi beberapa ekor kambing. Lapor nabi dan beliau tersenyum merestui yang menandakan bahwa upah suwuk atau pengobatan itu halal.
Begitu halnya Madu. Madu difahami sebagai madu ansich, fisis seperti adanya, madu lebah. Seorang sahabat datang mengadu kepada Nabi, mengeluhkan saudaranya yang sakit perut beberapa hari, berat dan lemah.
Nabi bersabda: "Isqihi 'asala", agar minum madu. Sahabat itu pulang dan mengerjakan apa yang diperintah Nabi. Ditunggu beberapa waktu, ternyata tidak kunjung sembuh.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Lalu datang lagi sembari mengadu: "Ya Rasulallah, sudah saya beri minuman madu, tapi tetap mencret dan tidak sembuh. Nabi mengulang resep pertama dengan suara mantap, "Isqih 'asala". Minumi madu lagi.
Sahabat itu pulang dan menuruti perintah Nabi untuk kedua kalinya. Ternyata tidak ada perubahan, tetap mencret, mules-mules dan tidak kunjung sehat. Sahabat itu nampak mendongkol dan datang lagi kepada Nabi dengan nada setengah menggugat. Tersiratlah di raut wajahnya yang mengisyaratkan keraguan atas kebenaran ucapan Rasul.
Dengan nada agak mengeluh, lelaki itu berkata: "Sesuai petunjukmu ya Rasulallah, sudah dua kali kami beri minuman madu, tapi tetap saja mencret dan tidak sembuh. Bagaimana ini…".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Nabi menjawab dengan nada agak kesal: "Shadaq Allah wa kadzab bathn akhik, isqihi 'asala". Sungguh Allah itu maha benar, justru perut saudaramu yang bohong dan bermasalah... Minumi madu!".
Maksudnya, nabi itu menangkap gelagat tak baik dari sahabat terebut, seolah hendak mengatakan bahwa Tuhan berbohong dengan menunjuk madu sebagai obat sebagaimana tertera pada ayat, "fih syifa' li al-nas".
Maka Nabi membentak dengan bahasa "shadaq Allah", Allah sudah benar dan tidak pernah berbohong. Justru perut saudaramu yang dusta (bermasalah), "wa kadzab bathn akhik".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Setelah dimantapkan, bahwa resep Tuhan itu sudah benar dan yang bermasalah adalah perut, sahabat itu diam dan menyadari. Kemudian Nabi mengulang resep semula untuk ketiga kalinya, "isqih 'asala", ayo beri madu lagi.
Sahabat itu segera pulang dan memberi minuman madu kepada saudaranya untuk ketiga kalinya. Hasilnya? Sembuh dengan izin Allah.
Syarhul Hadis memberi komentar, bahwa disinyalir minuman madu pertama telah bekerja sebagai kontra bakteri, melawan dan menyerang sehingga mules dan mencret makin menjadi-jadi, ibarat pertarungan hebat sedang dimulai. Sedangkan madu kedua berfungsi sebagai pukulan telak yang melumpuhkan semua bakteri dan membuangnya keluar, maka mencret tetap berlangsung. Hal itu mengingat beratnya penyakit yang diderita oleh perut lelaki tersebut, sehingga butuh tahapan dan tidak bisa sekaligus. Baru asupan madu yang ketiga bekerja sebagai obat yang menuntaskan, sehingga perut mampet dan sembuh total.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Pemahaman kedua soal al-Qur'an dan madu sebagai obat, tidak dimaknai secara fisikly seperti terpaparkan di atas, melainkan secara filosufi, sebagai bahasa simbolis yang punya nuansa tersendiri. Al-Qur'an difahami sebagai simpel dari obat secara psikis, termasuk doa, dzikir, hizib, mantra, terapi kejiwaan, penguatan mental, konsultasi dan lain-lain. Inilah pengobatan mistik yang langsung mengunduh rahmat Tuhan.
Sedangkan Madu (al-'asal) sebagai sampel dari pengobatan secara medik yang tidak terbatas hanya madu saja, melainkan meluas pada apa saja yang secara fisis mengandung obat, baik dari flora maupun fauna. Banyak dedauan, buah-buahan, biji-bijian, bahkan racun dengan khasiat masing-masing yang lebih spesifik ketimbang madu. Sebut saja, madu adalah obat yang bersifat universal dan umum, sementara di sana masih ada banyak obat berkhasiat khusus untuk jenis penyakit khusus. Kedua pemahaman ini adalah benar dan semuanya berjalan dalam sunnah-Nya.
Justru tidaklah bijak memaknai madu ansich sebagai obat segala penyakit dengan menafikan yang lain, termasuk memaknai al-Qur'an sebagai terapi psikis satu-satunya sementara yang lain dinafikan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Ya benar, sebagai orang beriman, al-Qur'an dan semua pesannya adalah yang nomor satu dan wajib diimani. Tapi persoalannya bukan itu, melainkan ada pada ranah pemahaman.
Sebuah jurnal di Amerika menunjukkan perbandingan penyebab jatuh sakit. Ternyata 80 persen karena gangguan jiwa, tekanan mental dan sebagainya dan hanya 20 persen yang murni karena virus, bakteri dan sebagainya.
Seorang santri di sebuah pondok pesantren sakit-sakitan, demam, perut mules, males makan sehingga absen mengaji dan juga tidak masuk sekolah. Begitu ditawari, apa pingin pulang ke rumah? Dia mengangguk dan segera ganti baju dengan wajah cerah dan bersemangat. Belum sampai rumah sudah sembuh dan semun-senyum.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News