BELUM lama berselang saya menjenguk KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) yang sedang proses pemulihan operasi. Sambil berbaring di kamar pribadinya di Ndalem Kasepuhan Pesantren Tebuireng cucu pendiri NU Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari itu mengatakan ada tiga elemen utama dalam Nahdlatul Ulama (NU).
Pertama, ajaran Ahlussunnah Wal-Jamaah (Aswaja) yang dikonsep oleh Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asyari (Mbah Hasyim).
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Kedua, kiai berikut pondok pesantren.
Ketiga, jamaah NU berikut budaya NU.
Nah, untuk menjaga dan mengembangkan tiga elemen itu Mbah Hasyim dan para kiai mendirikan organisasi NU sebagai instrumen atau lembaga. Tujuannya untuk menjaga dan menyosialisasikan ajaran Aswaja, mengembangkan pesantren dan memberdayakan atau menyejahterakan warga NU.
Baca Juga: Hari Santri Nasional 2024, PCNU Gelar Drama Kolosal Resolusi Jihad di Tugu Pahlawan Surabaya
Saat pulang dari Ndalem Kasepuhan Tebuireng saya berpikir, apakah misi dan tujuan Mbah Hasyim mendirikan NU itu dijaga oleh para pengurus NU sekarang, terutama PBNU? Bukankah menjaga misi dan tujuan Mbah Hasyim itu suatu amanah yang mutlak harus dilakukan?
Pertanyaan itu muncul karena belakangan ini saya mendengar banyak keluhan, protes bahkan tangis para kiai di berbagai pesantren. Mereka menangis karena PBNU di bawah KH Said Aqil Siroj dianggap telah terkontaminasi berbagai paham dan aliran yang bertolak belakang dengan Aswaja yang dikonsep Mbah Hasyim. Yang paling santer kita dengar adalah isu Syiah, disamping Wahabi, Islam liberal dan bahkan paham komunis atau paham yang cenderung kekiri-kirian.
Jauh sebelum menjadi ketua umum PBNU, Kiai Said Aqil memang cenderung mengkritisi Aswaja yang dikonsep Mbah Hasyim. Kiai Said Aqil menganggap konsep Aswaja yang dibuat Mbah Hasyim menggelikan.
Baca Juga: Ba'alawi dan Habib Luthfi Jangan Dijadikan Pengurus NU, Ini Alasan Prof Kiai Imam Ghazali
Bahkan sembari mengeritik paham Aswaja yang dikonsep Mbah Hasyim, Said Aqil semakin terang-terangan membela Syiah di tubuh NU. Dalam bukunya berjudul "Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi", Said Aqil menulis bahwa Syiah itu juga Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Ironisnya, Kiai Said Aqil tidak hanya membela Syiah dalam ranah konseptual dan pemikiran, tapi juga dalam aksi nyata sebagai ketua umum PBNU.
Menurut KH Kholil Navis (Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU saat itu), Said Aqil secara diam-diam tanpa sepengetahuan dan seijin Rais Am Syuriah PBNU KH Sahal Mahfudz menjalin kerjasama dengan Universitas al-Musthafa Al-Alamiyah Qom Iran, pusat Syiah.
Baca Juga: Tembakan Gus Yahya pada Cak Imin Mengenai Ruang Kosong
Ini berarti PBNU di bawah Said Aqil bukan hanya melenceng tapi sudah keluar dari garis ajaran yang sudah ditetapkan Mbah Hasyim. Apalagi Mbah Hasyim dalam kitabnya berjudul Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah secara tegas menulis bahwa Syiah itu sesat karena mencaci-maki para sahabat Nabi Muhammad.
Mbah Hasyim bahkan tidak membolehkan kita (warga NU) duduk, makan, minum dan salat bersama mereka. Karena mereka tega mencaci sahabat Nabi yang dihormati dan diagungkan oleh penganut Ahlussunnah Wal-Jamaah An-Nahdliyah.
Lalu bagaimana dengan elemen NU kedua, yakni kiai dan pesantren? Sudah makin banyak kiai dan pengasuh pesantren yang kecewa terhadap Kiai Said Aqil Siroj. Mereka bahkan bukan hanya kecewa tapi juga mufaraqah (memisahkan diri) dari kepemimpinan Said Aqil Siroj. Jadi NU di bawah Kiai Said Aqil bukan saja gagal dalam mengkonsolidasi pondok pesantren tapi eksistensi Said Aqil sendiri ditolak dan tak diakui oleh para kiai pengasuh pesantren.
Baca Juga: Respons Hotib Marzuki soal Polemik PKB-PBNU
Ini berarti PBNU di bawah kepemimpin Kiai Said Aqil tak punya penyanggah dan legitimasi, baik secara kultural maupun ajaran keagamaan dalam konsep Mbah Hasyim. Jadi legitimasi Kiai Said Aqil keropos. PBNU hanya cangkang tanpa isi.
Lalu bagaimana dengan elemen NU ketiga, yaitu jamaah NU? Logikanya, kalau Kiai Said Aqil ditolak para kiai pengasuh pondok pesantren yang merupakan simpul-simpul utama NU, otomatis juga ditolak oleh jamaah para kiai di pesantren masing-masing. Bukankah warga NU umumnya jamaah para kiai di masing-masing daerah. Wallahua’lam bisshawab.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News