Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - "Waallaahu khalaqakum tsumma yatawaffaakum waminkum man yuraddu ilaa ardzali al’umuri likay laa ya’lama ba’da ‘ilmin syay-an inna allaaha ‘aliimun qadiirun".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Ayat yang sedang kita studi (70) memang tidak membicarakan acara Kiswah andalan TV-9, juga tidak untuk mengoreksi orang ngaji kitab kuning, tapi menyindir orang-orang kafir yang ditamsilkan bagai orang tua renta, di mana perilakunya kayak anak kecil yang seenaknya. Lebih dari itu, umur panjang yang justru menjadikan diri mereka hina tersebut (ardzal al-umur) dikesankan sebagai tidak bisa mengetahui apa-pa (Li kai la ya'lam ba'd ilm syai'a).
Sindir ini dimaksudkan agar umat islam tetap tanggap, tangkas dan cerdas seperti pada masa muda. Dengan kecerdasan dan kematangan ilmu, maka kita menjadi mengerti persoalan secara benar dan memahami masalah secara utuh. Nabi Muhammad SAW telah memberi peringatan kepada para ulama, juru dakwah, kiai, bu nyai, guru agar berbekal yang sempurna, sehingga fatwanya tidak menyesatkan umat.
Penulis termasuk kurang aktif mengikuti acara di televisi. Karena chanel TV-9 sebagai representasi acara keislaman, kesantrian dan bisa dibilang tivinya wong Nahdliyin, maka sesekali penulis mengunjunginya. Kali ini acara Ngaji kitab "Sullamut Tawfiq", karya kiai Nawawy Banten yang diasuh seorang Ning berinisial S.M. yang tayang pagi hari. Tiga kali penulis mengikuti, tiga kali pula penulis menjumpai kesalahan dan pesawat televisi langsung penulis matikan. Tiga sesi tersebut dalam waktu berdeda dan cukup lama.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Pertama, membahas batalnya wudlu, yang salah satunya karena tidur. Tidur dalam posisi duduk tegap, di mana alas bokong bertumpu penuh di lantai tidak membatalkan wudhu. Keterangan Ning itu betul. Lafadh dalam kitab itu dibahasakan dengan jajaran huruf "alif, lam, mim, mim, kaf dan nun". Ning itu membaca "al-mumkini", seharusnya dibaca "al-Mumakkini". Bacanya salah, tapi memberi maknanya benar. Wazan "amkana" (mungkin, bisa) dan "makkana" (memantapkan, menetapkan) beda. Barakallah fik.
Kedua, pembahasan soal bacaan dalam shalat, standarnya al-Fatihah. Bagi mereka yang tidak mampu membaca al-Fatihan, maka diganti dengan ayat seimbangan al-Fatihah... bla bla bla. Lafadh yang tertulis dalam kitab berjajaran huruf "alif, lam, mim, jim, za, hamzah, ta' marbuthah". Ning itu membaca "al-mujzi'ati", yang kemudian diberi makna, "kang perenco-perenco, dewe-dewe", atau semakna dengan itu.
Bacaannya benar, tapi pemaknaannya salah. Sehararusnya, diberi makna "kang nyucupi". Maksudnya, bacaan non al-Fatihah tersebut sudah mencukupi sebagai imbangan baca al-Fatihah, sehingga shalatnya sah. Karena diberi makna "dewe-dewe, perenco-perenco", maka keterangannya ngelantur dan tidak mengena. Lagi-lagi tersandung ilmu sharaf dalam pola yang sama. Wazan "ajza'a" (nyukupi) dan "Jazza'a" (bagi-bagi) tentu berbeda. Barakallah fik.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Ketiga, terjadi lagi hari Rabu pagi, 16 Maret 2016 kemarin pada pembahasan mubthilat al-shalat. Salah satu yang membatalkan shalat adalah tiga gerakan berurutan, "Tsalats harakat mutawaliyat". Belum sempat dibaca lanjutan kalam pada ta'bir kitab itu, si Ning tergesah-gesah komentar banyak dengan contoh-contoh yang mengganggu pemikiran penulis. Gerakan yang dilarang tersebut dicontohkan dengan membenahi kerudung pakai tangan kanan dan kiri sedemikian rupa, lalu dihitung satu dua tiga dan dihukumi tidak boleh.
Lebih fatal lagi ketika si Ning memberikan contoh dengan menggaruk-garukkan jari pada anggota badan yang dirasa gatal. Pakai tangan kanan, si Ning menggaruk bahu kirinya yang dirasa gatal dengan gerakan garuk jari, satu dua tiga.. dan seterusnya.. "ini tidak boleh". Setelah panjang berkomentar, lalu melanjutkan bacaan yang isinya kriteria atau sifat gerakan yang membatalkan.
Bahasa kitab itu "al-mufrithah". Si Ning memberi makna "kang anyar teko" (baru) yang diterangkan ngelantur. Subhanallah, makna yang benar adalah "kang banget, gerakan ekstrim, gerakan signifikan, gerakan besar, seperti gerakan melangkahkan kaki, pindah tempat, lompat, bisa merusak struktur gerakan shalat, bukan gerakan kecil seperti gerak jari-jemari atau sekedar pergelangan tangan. Sekali lagi, gerakan jari meski banyak tidak membatalkan shalat. Sekedar usulan:
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Pertama, Penguasa TV-9 mohon lebih selektif menayangkan acara, utamanya berkaitan dengan agama, ibadah, aturan syari'ah dan sebagainya. Sementara ini, imej publik terhadap TV9, satu sisi bagus karena paling banyak menayangkan acara keislaman, tapi sisi lain paling ngawur dan tidak selektif. Jangan salahkan publik rasan-rasan, "pokoknya bayar, ya tayang". Penceramah yang bondo wani juga masuk, meski materinya tidak mendidik dan muatan ilmunya sangat minim.
Kedua, khusus kiswah ngaji ini, sewajibnya sang pengampu sinau, nderes, mempersiapkan materi yang mau disampaikan secara saksama dan tahqiq, apa bacaan yang benar sesuai kaidah ilmu Sharaf dan ilmu Nahwu, lalu makna apa yang tepat dan sesuai siyaq al-kalam. Satu lafadh bahasa arab bisa punya lebih dari satu makna, maka perlu cerdas memilih makna mana yang cocok. Jangan sekali-sekali mengentengkan, merasa sudah bisa, merasa tak ada yang musykil karena dulu pernah ngaji.
Sekali lagi, pastikan bacaannya, pastikan pilihan maknanya, apa betul itu atau ada bacaan lain atau makna lain?. Siapapun Anda, jika sudah sengaja tampil di hadapan publik, berarti anda sudah memposisikan diri sebagai guru atau mufti yang didengar orang. Fatwa anda dijadikan pedoman umat. Tidak bisa anda berdalih, "masih belajar" karena ranah ini bukan ranah belajar, tapi memberi pelajaran. Ini bukan media kelas santri lagi, melainkan kelas guru, kelas kiai atau bu Nyai. Kiai-kiai sepuh dulu tetap mutahala'ah lebih dulu sebelum tampil mengaji.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Ketiga, sebaiknya membaca kitab itu dibaca dulu ta'birnya secara tuntas, diberi makna dulu hingga kalam sempurna (jumlah mufidah). Baru diterangkan maksudnya. Dengan demikian akan mampu menyajikan pemahanan yang utuh dan benar. Janganlah membaca kitab dengan sepotong kata, lalu komentar, sepontong lalu komentar. Jadinya beresiko kesalahan. Allah memuji hamba-Nya yang terus berusaha memperbaiki diri. Barakallah fik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News