SIDOARJO, BANGSAONLINE.com - Bocornya pipa gas milik Lapindo Brantas Inc di Porong Sidoarjo masih menyisakan trauma mendalam bagi warga. Meski sudah berlangsung 10 tahun, namun warga mengaku masih trauma dan takut dengan peristiwa yang menyebabkan sejumlah desa tenggelam oleh lumpur.
Suyanto misalnya, warga RT 3 RW 2 Desa Kedungbanteng, Tanggulangin, Sidoarjo tersebut mengaku ingat betul peristiwa terjadinya kebocoran pipa gas milik Lapindo Brantas Inc.
Baca Juga: Pegiat Kebencanaan ini Raih Gelar Doktor
Pria berumur 40 tahun mengaku hingga kini masih trauma dengan kejadian itu. "Api yang keluar dari gelembung gas pada subuh itu menghebohkan kami," kata dia seperti dilansir Tempo, kemarin (29/5).
Trauma itu kembali muncul ketika mendengar kabar rencana pengeboran sumur baru di desanya, yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya.
"Gas bocor saja kami traumanya minta ampun, apalagi Lapindo mau ngebor lagi." Bocornya gas itu mengakibatkan sejumlah perabotan rumah milik tetangganya terbakar.
Baca Juga: Menteri ATR/BPN Tuntaskan Sertifikat Aset Korban Lumpur di Porong
Setelah kejadian itu, dia bersama warga lain melakukan penolakan rencana pengeboran dengan menyebar dan menempel poster di setiap rumah warga. "Alasannya satu, kami trauma. Kami tidak mau kejadian pengeboran di sumur Banjarpanji 1 di Porong 10 tahun silam itu kembali terjadi dan menimpa kami," kata dia.
Apalagi, dia bercerita, jarak sumur baru yang rencana akan dibor Lapindo hanya berjarak sekitar 3,5 kilometer dari pusat semburan. Selain itu lokasi pengeboran sumur baru yang masih satu lokasi dengan sumur exsisting Tanggulangin 1 (TGA-1) dengan pemukiman warga sangat dekat. "Seharusnya jauh dari permukiman."
Lapindo Brantas Inc pada awal Januari melakukan pengurukan tanah sebagai persiapan pengeboran sumur baru di sumur exsisting TGA-1. Kegiatan itu akhirnya dihentikan setelah diprotes warga. Selain di TGA-1, Lapindo juga berencana mengebor sumur baru di TGA-2, yang hanya berjarak 500 meter dari TGA-1.
Baca Juga: 17 Tahun Lumpur Lapindo, Korban Berharap Ada Bacapres yang Komitmen Membantu
Suyanto berharap rencana pengeboran sumur baru di desanya tidak dilakukan. Berkaca pada kasus semburan lumpur di Porong yang sampai saat ini masih mengeluarkan lumpur, dia bersama warga Kedungbanteng tetap menolak rencana pengeboran. "Ganti-rugi warga pun sampai saat ini masih belum selesai."
Vice President Public Relation, Hesti Armiwulan, mengaku setelah aktivitas pengurukan diberhentikan karena diprotes warga, rencana pengeboran sumur baru di Kedungbanteng masih menunggu instruksi SKK Migas. Namun begitu, bila SKK Migas sudah memberikan lampu hijau, manajemen perusahaan akan bergerak.
Hesti memastikan pengeboran sumur baru di Kedungbanteng aman karena kedalaman sumur yang akan dibor hanya sampai 1500 meter. Di samping itu, meski mengakui adanya penolakan dari warga, namun Hesti menjamin keselamatan pegeboran dan ganti rugi bila ada hal-hal di luar perkiraan. "Pengeboran aman-aman saja, tidak ada yang dikhawatirkan," katanya.
Baca Juga: Safari Ramadan, Minarak Brantas Gas dan Bakrie Amanah Santuni Anak Yatim
Sementara siang tadi, sebanyak 30 warga korban lumpur Lapindo, yang tergabung dalam paguyuban ojek, memperingati tragedi sepuluh tahun semburan lumpur panas Lapindo. Lumpur yang menenggelamkan kampung mereka tepat sepuluh tahun silam itu diperingati dengan aksi demonstrasi di tanggul titik 21, Desa Siring, Porong, Sidoarjo.
Sebelum menyuarakan aspirasinya, mereka jalan kaki dimulai dari Taman Dwarakarta ke tanggul titik 1. Di sepanjang jalan, aksi itu didominasi laki-laki yang berdandan menyerupai perempuan. Mereka membawa poster, tumpeng, dan sejumlah hasil bumi yang dulu sempat tumbuh di kampung mereka.
Ketua Paguyuban Ojek, Achmad Haris, mengatakan aksi ini dilakukan untuk memperingati sepuluh tahun semburan lumpur Lapindo. "Aksi ini untuk mengingatkan kepada pemerintah bahwa semburan lumpur Lapindo telah menenggelamkan kampung kami dan telah menyengsarakan kami selama sepuluh tahun," katanya.
Baca Juga: Mengandung Logam Tanah Jarang, Begini Harapan Korban Lumpur Lapindo
Kesengsaraan itu, menurut dia, disimbolkan dengan warga korban lumpur lelaki didandani menjadi perempuan.
"Hidupnya sudah tidak karuan. Sejak semburan lumpur muncrat, hidup mereka tidak jelas dan terkatung-katung," katanya. Selain itu, lanjut dia, perempuan menjadi pihak yang paling sengsara.
Pada momen sepuluh tahun ini, Haris meminta pemerintah daerah dan pusat memprihatikan nasib mereka yang tiap hari hanya menggantungkan hidup dari mengojek dengan penghasilan yang pas-pasan.
Baca Juga: Meski Ada Virus Corona, Warga Korban Lumpur Lapindo Tetap Ziarah Kubur di atas Tanggul
"Meski sebagian besar ganti rugi kami sudah lunas, hidup kami masih tetap sengsara."
Peringatan sepuluh tahun lumpur Lapindo juga diramaikan para pelukis yang tergabung dalam Komunitas Perupa Delta. Mereka melukis on the spot di tanggul titik 21 dengan obyek lukisan kolam lumpur. Lukisan itu digoreskan dalam 15 kanvas.
"Ini sebagai bentuk keprihatinan seniman terhadap korban lumpur," kata Ketua Komunitas Perupa Delta, Junarto. (tic/mer/yah/lan)
Baca Juga: Lapindo Brantas Kembali Gelar Pelatihan Hidroponik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News