Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - Dharaba allaahu matsalan ‘abdan mamluukan laa yaqdiru ‘alaa syay-in waman razaqnaahu minnaa rizqan hasanan fahuwa yunfiqu minhu sirran wajahran hal yastawuuna alhamdu lillaahi bal aktsaruhum laa ya’lamuuna.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Masih terkait keimanan dan kekufuran. Orang mukmin menyembah Allah SWT dan orang kafir menyembah berhala. Tidak henti-hentinya al-Qur'an mengajak mereka berpikir jernih dan berdialog secara sehat soal keimanan. Berkali-kali dikatakan bahwa selain Allah SWT bukan Tuhan sehingga tidak pantas disembah. Bila ada yang tetap menyembah kepada selain Tuhan, maka pasti itu dipaksakan, bukan murni karena kebenaran keimanan.
Pada ayat studi ini Tuhan kembali membuat tamsilan antara diri-Nya dengan berhala sesembahan. Terhadap Diri-Nya, Tuhan mengibaratkan sebagai sosok majikan yang punya harta berlimpah, sehingga bisa berbuat apa saja dengan hartanya itu, termasuk membeli banyak budak. Sedangkan berhala dipadankan dengan budak yang lemah dan tidak punya kewenangan apa-apa meski atas diri sendiri. Semuanya tergantung pada sang majikan. Ya, meskipun sudah begitu logik tamsilan ini, tapi kebanyakan mereka tetap tidak mau mengerti. "..bal aktsaruhum la ya'lamun".
Dengan tamsilan ini, al-qur'an sesungguhnya ingin mengatakan agar umat manusia berpikir wajar-wajar saja, seperti umumnya manusia sehat dan berakal waras. Semua manusia ingin menjadi majikan dengan harta berlimpah dan berkecukupan. Tidak satupun ada yang berangan-angan ingin menjadi budak yang diperjual belikan di pasaran.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Bila tesis ini dipertegas, maka pesan ayat ini adalah melarang manusia dalam hal keimanan menggunakan logika budak, di mana lebih menyukai menjadi budak ketimbang menjadi majikan. Jadi status seseorang dalam hidup bersosial dan beragama itu begini :
Pertama, ada orang yang dalam kehidupan sehari-hari menggunakan logika majikan, sehingga status sosialnya tinggi, asetnya banyak, kewibawannya mapan dan lain-lain. Begitu halnya dalam keimanan, dia juga menggunakan logika majikan, sehingga Tuhan yang dipilih adalah Tuhan kelas majikan, yakni Allah SWT. Dzat yang maha kuasa dan serba bisa. Mereka itulah orang islam.
Kedua, ada orang yang dalam kehidupan sosialnya berstandar majikan, pakai logika majikan sehingga dirinya berkelas dan prestisius. Tapi sayang, dalam berteologi menggunakan standar budak, memakai logika budak sehinga Tuhan yang dipilih adalah Tuhan murahan, Tuhan kelas budak yang banyak dijual-belikan pasaran. Tuhan palsu yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa. Itulah para penyembah berhala, para penyembah manusia, para penyembah selain Allah SWT.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Ketiga, ada orang yang dalam berkeimanan menggunakan logika majikan dan itu harga mati dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Inilah yang prinsip, sehingga komitmen teologiknya mantap dan kepada-Nya total berserah diri. Tapi dalam hal kehidupan duniawi, terserah alur nasibnya menggelinding, dia terima dengan lapang dada dan tangan terbuka. Tidak ada standar yang dia patok, tidak logika majikan dan tidak juga logika budak, baginya sama saja.
Bila ditakdir sebagai bernasib majikan, maka dia akan memanfaatkan semua miliknya untuk membeli ridha Tuhan. Surga sudah jauh-jauh hari dibooking, berapapun harganya. Itulah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi tempo dulu, seperti Utsman ibn Affan, Abu Bakr, Abdur Rahman ibn Auf dan lain-lain. Itulah yang disindir nabi sebagai orang kaya yang pandai bersyukur.
Bila saja garis tangan berkata lain dan nasib berjalan di atas logika budak, maka dengan senang hati mereka jalani. Bagi mereka, kemiskinan adalah anugerah, sehingga tidak berat-berat menanggung amanah. Ibarat turis plesiran, mereka melenggang tanpa barang bawaan apapun. Tidak repot, tidak ribet dan tidak banyak persoalan terkait barang bawaan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Di sini, ternyata membeli surga tidak harus dengan uang, melainkan cukup dengan kesabaran. Inilah yang disindir Nabi sebagai orang-orang fakir yang bersabar. Abu Dzarr al-Ghifari, Abu Hurairah, Bilal ibn Abi Rabah, Khabbab ibn Art termasuk tokohnya. Justeru golongan ini yang lebih cepat dan lebih ringan langkahnya memasuki pintu surga ketimbang golongan yang pertama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News