JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Mata hati para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipertanyakan Wakil Komisi III DPR RI Benny Kabur Harman. Ia mengaku heran soal perbedaan temuan KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Hasil penyelidikan, KPK tak menemukan unsur korupsi dalam kasus tersebut. Hasil kerja KPK tersebut bertentangan dengan temuan BPK yang menyebut adanya perbedaan harga lahan yang mengindikasikan kerugian Negara Rp 191 miliar.
Baca Juga: KPK Diminta Jangan Hancurkan BPK Demi Ahok
"Ini kan membingungkan. Dulu KPK bilang tunggu hasil audit investigasi BPK," ujar Benny dalam rapat kerja Komisi III dan KPK di ruang rapat Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/6).
Padahal selama berdiri, KPK dianggap selalu bekerja beriringan dengan BPK dalam menangani kasus korupsi. Terlebih BPK merupakan badan yang memang memiliki kewenangan untuk menaksir angka kerugian negara.
"Pertanyaannya, bedakah pimpinan KPK yang dulu dengan sekarang? Hukumnya sama, lembaganya sama. Mungkin mata hati yang beda," sambung politisi Partai Demokrat itu.
Baca Juga: Ahok Marah dan Usir Wartawan karena Ditanya Aliran Dana Rp 30 M ke Teman Ahok
Menanggapi pernyataan tersebut, Wakil Ketua KPK Laode Muhamnad Syarief curhat perihal tekanan selama penyelidikan kasus Sumber Waras.
"Saya ingin mengatakan bahwa kami berlima dan seluruh teman-teman ini mungkin adalah yang paling tersiksa karena kasus ini. Kami didemo hampir tiap hari," kata Laode.
"Banyak tokoh masyarakat datang katanya memberi dukungan, tapi setelah datang disodori lagi audit BPK," lanjut dia.
Baca Juga: Sebut Tak Ada Kerugian Negara dalam Kasus Sumber Waras, Rachmawati: KPK jadi Ayam Aduan Penguasa
Ia menegaskan dalam menangani kasus korupsi, KPK tak ingin melindungi pihak manapun dan selalu berusaha berlaku profesional.
Meski faktanya kini antara BPK dan KPK berbeda 180 deratjat, tapi Laode membantah jika hubungan KPK dan BPK tak baik apalagi saling serang terkait kasus tersebut.
"90 persen keberhasilan KPK juga didukung BPK karena yang diterima di pengadilan adalah perhitungan BPK dan BPKP. Hubungan kami baik," kilahnya.
Baca Juga: KPK Sebut Tak Ada Korupsi di RS Sumber Waras, DPR Curiga KPK Masuk Angin
Sebelumnya, Benny Kabur Harman sebagai ketua rombongan sempat mempertanyakan soal hasil audit investigatif yang dilakukan BPK terkait pembelian lahan Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Benny mengutarakan dalam pertemuannya dengan BPK tersebut, pimpinan BPK menegaskan bahwa audit investigatif pada Sumber Waras merupakan permintaan dari KPK. Hal itu dibuktikan dengan adanya surat permintaan dari KPK tertanggal 6 Agustus 2014.
"Setelah selesai (hasil audit), saya tanya lagi (ke BPK) apakah ada pelanggaran hukum? Dikatakan (BPK) pelanggaran hukum yang sempurna," ujar Benny, Selasa (14 Juni 2016).
Baca Juga: Nyali Ahok Ditantang, Jangan Banyak Komentar, Gugat BPK ke Pengadilan
Namun, pernyataan BPK tersebut, nyatanya berbeda dengan yang diutarakan oleh pimpinan KPK yang menyebut belum ada pelanggaran hukum atas kasus Sumber Waras.
Dikatakan Benny, kalau hanya berdasarkan ada atau tidaknya pelanggaran hukum untuk mementukan ada tidaknya kasus korupsi, KPK hanya mendasarkan kesimpulannya dari pasal nomor 2 dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Padahal, lanjutnya, masih ada pasal 3 yang intinya menyatakan korupsi juga dapat dilakukan karena penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan dirinya atau golongan. "Sudahkah KPK masuk angin atau takut, tidak tahu kita," kata Benny.
Baca Juga: Ahok Terus Tumpahkan Kekesalannya Usai Diperiksa KPK: BPK, Lu Kira Gue Takut!
Ia kembali menegaskan, pihaknya ingin KPK menjadi lembaga yang kuat dan tidak tebang pilih dalam menangani kasus, khususnya untuk kasus Sumber Waras ini yang melibatkan orang nomor 1 di Jakarta.
"Jangan sampai ada invisible (tangan tidak terlihat), intervensi yang bermain di belakang KPK. Save KPK," tandasnya.
Sementara Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan lembaganya belum memutuskan untuk menghentikan penyelidikan kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh pemerintah DKI Jakarta.
Baca Juga: Ahok Beber Pemeriksaan oleh Penyidik KPK: Lucu Banget Pertanyaan Penyidik
Dia memastikan KPK masih menggali informasi terkait dengan kasus tersebut. “Kami akan undang Badan Pemeriksa Keuangan. Diskusi penyelidik kami dan auditor BPK,” kata Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 15 Juni 2016.
Kepada anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Agus menjelaskan bahwa pada 14 Juli 2015, KPK menerima pengaduan masyarakat berupa Laporan Hasil Pemeriksaan BPK DKI Jakarta. Dalam laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2014 tersebut, terdapat pengadaan tanah RS Sumber Waras yang disebut berindikasi kerugian keuangan daerah Rp 191 miliar.
Menurut Agus, KPK mengumpulkan informasi tambahan terkait dengan aduan tersebut. Pimpinan KPK saat itu, meminta audit investigasi pada 6 Agustus 2015. Setelah itu, pada 29 September 2016 membuat surat perintah penyelidikan. "KPK berkoordinasi dengan auditor BPK dalam perolehan data dan dokumen," ujar Agus.
Baca Juga: 12 Jam Diperiksa Terkait Kasus RS Sumber Waras, Ahok: BPK Menyembunyikan Kebenaran
Agus mengatakan hasil audit tersebut menjadi tambahan informasi dalam penyelidikan. Pemaparan, ekspose penyelidik ke pimpinan dilakukan beberapa kali, terakhir pada 13 Juni 2016. "Kalau mendengar paparan tim penyelidik, mereka mengusulkan menghentikan proses penyelidikan," kata Agus.
"Poin pokoknya adalah perbedaan penggunaan aturan, itu yang nanti akan coba kami dalami saat penyelidik dan auditor BPK bertemu."
KPK menyelidiki kasus pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 2015. Saat itu, perwakilan BPK menyerahkan langsung hasil audit kepada Ketua KPK sementara, Taufiequrrahman Ruki.
BPK menyebut proses pembelian lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras senilai Rp 800 miliar pada APBD Perubahan 2014 itu tidak sesuai prosedur. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dianggap membeli dengan harga lebih mahal dari seharusnya sehingga berindikasi mengakibatkan kerugian negara Rp 191 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News