Ahok Usir Wartawan, PWI: Melanggar UUD Pers, Dewan Pers: Tak Patut

 Ahok Usir Wartawan, PWI: Melanggar UUD Pers, Dewan Pers: Tak Patut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Foto: harian terbit

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Inilah reaksi para tokoh pers baik di lingkungan maupun Persatuan Wartawan Indonesia () terhadap arogansi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama () yang mengusir wartawan dari Balai Kota DKI Jakarta.

"Yang Gubernur mengusir wartawan di Balai Kota ya, ya kita menyayangkan sikap yang emosional yah. Sebagai pejabat publik mungkin bersikap lebih bijak," kata anggota , Nezar Patria, kepada wartawan, Jumat (17/6).

Menurut dia, jika punya persoalan dengan pers, ada mekanisme yang bisa ditempuh. bisa memberikan hak jawab ataupun melapor ke .

"Jadi kalau ada persoalan pemberitaan pers dia merasa ada yang harus diluruskan ada dua hal yang dia harus lakukan pertama berhubungan dengan media itu memberikan hak jawab, kedua kalau memang ada pelanggaran serius dilakukan media dia bisa ke agar di bisa dibahas, bisa dicarikan solusinya seperti itu," ujar Nezar menyarankan.

"Jadi tindakan mengusir wartawan secara emosional itu tidak patut dilakukan oleh pejabat," tegasnya.

Teguh Santosa, salah satu Ketua juga berpendapat bahwa tindakan mengusir wartawan di Balai Kota pada Kamis 15 Juni 2016 merupakan perbuatan melampaui batas.

“Tindakan itu dapat digolongkan sebagai perbuatan melanggar UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, dan bisa diancam pidana paling lama dua tahun atau denda Rp500 juta. Apalagi ini sudah beberapa kali terjadi, sudah kelewatan,” ujar Teguh Santosa dalam keterangan persnya, Jumat (17/6).

Teguh mengatakan, pertanyaan yang diajukan wartawan merupakan bentuk cermin pertanyaan yang berkembang di tengah masyarakat.

Selain itu, pertanyaan tersebut sebagai upaya mengkonfirmasi kebenaran informasi yang disampaikan politisi PDI Perjuangan Junimart Girsang terkait adanya dugaan aliran dana sebesar Rp 30 miliar ke organisasi Teman .

Menurut dia, tindakan mengusir dan melarang wartawan yang meliput di Balai Kota sebagai tempat sehari-hari bekerja adalah sebuah kecerobohan dan patut disesalkan. Hal itu juga bisa dianggap sebagai tindakan menghalang-halangi wartawan mencari informasi yang bermanfaat bagi publik.

Teguh mengutip Pasal 4 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa, pertama, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kedua, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Ketiga, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Serta keempat, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Adapun ancaman pidana penjara dan denda khususnya terhadap pelanggaran Pasal 4 ayat (2) dan (3) disebutkan dalam Pasal 18 undang-undang yang sama.

Daripada mengumbar emosi yang meledak-ledak, menurut Teguh, apabila merasa dirugikan, bisa mengajukan keberatan lewat koridor yang disediakan oleh UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

Menurut Teguh, kemarahan yang berlebihan justru memperbesar kecurigaan publik mengenai dana tidak wajar yang mengalir untuk kelompok pendukung .

“Sebagai pejabat publik, semestinya bisa menjaga tutur kata dan tingkah laku di depan umum. Jangan arogan dan memberi kesan anti kritik. Itu ciri pemimpin otoriter,” katanya lagi.

Teguh menyarankan untuk mempelajari cara Presiden Joko Widodo berinteraksi dengan insan pers. Presiden Jokowi, sebutnya, memahami bahwa pers bekerja untuk kepentingan umum.

“Presiden Jokowi juga memahami bahwa kebebasan pers dibutuhkan untuk menopang sistem demokrasi yang sehat. semestinya mencamkan hal itu,” tutupnya.

Sebelumnya diberitakan sempat kesal dengan pernyataan wartawan yang dianggapnya mengadu domba. Wartawan menanyakan soal tudingan uang Rp 30 miliar ke Teman . Lalu menjelaskan bahwa itu adalah upaya memfitnah dirinya, setelah kasus Sumber Waras tak terbukti ada kesalahan.

Awalnya bercerita tentang dirinya yang konsisten ingin ada undang-undang pembuktian terbalik. Setiap pejabat harus mampu membuktikan asal-usul hartanya, jika tidak maka tak usah jadi pejabat.

"Berarti tidak ada pejabat sehebat bapak?" tanya wartawan arah.com yang bertanya ke di Balai Kota DKI, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (16/6).

kemudian merespons pertanyaan itu cukup keras. Dengan nada tinggi menyebut pertanyaan itu bernuansa mengadu domba.

"Bukan bilang begitu. Banyak. Saya cuma katakan, tidak usah ngadu domba. Saya cuma minta Anda bandingkan untuk punya pikiran... Anda kan nuduh saya tidak jujur, lalu saya tanya, kalau saya tidak jujur, kamu berani tidak nantang seluruh republik seperti ini, itu yang saya bilang, tidak usah di-spin," jawab dengan nada tinggi.

"Anda dari koran apa? Makanya lain kali tidak usah masuk sini lagi, tidak jelas kalau gitu. Saya tegasin, kamu juga tidak usah nekan-nekan saya rekan media, saya tidak pernah takut, sama kayak Tempo, mana dari Tempo? Mana! Mau nyinggung-nyinggung lagi ngirimin surat sama saya. Saya tidak pernah takut sama kalian jujur saja," ucap masih bernada tinggi sambil menunjuk-nunjuk wartawan yang bertanya tadi.

"Saya selalu katakan, kalau cahaya fajar pagi, kegelapan tidak bisa nutup, rembang cahaya fajar akan terus merekah tidak bisa kamu tahan, itu yang saya katakan. jadi tidak usah bolak-balikin kalimat gitu," pungkas dia kemudian berbalik badan menuju ruangannya.

Ketika masuk ke ruang kerjanya, beberapa wartawan langsung menuju tempat untuk mengetik berita seperti biasanya. Sementara itu yang lainnya masih ada di ruangan lokasi wawancara. Rupanya kembali ke lokasi itu dan kembali marah.

"Saya sebetulnya tak ada kewajiban untuk jawab Anda, saya tegaskan itu, bolak balik mau adu domba terus, kamu tidak boleh masuk sini lagi," kata ke wartawan arah.com.

Sumber: detik.com/okezone.com

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO