Vaksin Palsu Ditemukan Sejak 2008, BPOM: Berasal dari 28 Sarana Kesehatan

Vaksin Palsu Ditemukan Sejak 2008, BPOM: Berasal dari 28 Sarana Kesehatan Foto suami istri tersangka pemalsu vaksin Rita Agustina dan Hidayat Taufiqurahman warga Kemang Pratama Regency, Bekasi jadi viral di Facebook. Netizen mengutuk tindakan keduanya.

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Kasus peredaran marak diperbincangkan setelah Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menggerebek dan menangkap sepuluh pembuatnya serta dan distributornya pada Selasa pekan lalu.

Kasus tersebut rupanya bukan hal baru bagi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pelaksana tugas Kepala BPOM, Tengku Bahdar Johan Hamid, mengatakan lembaganya telah menemukan kasus sejak 2008. Saat itu, BPOM menemukan vaksin tidak sesuai dengan persyaratan secara sporadis atau tidak merata. "Kasus ini hanya terjadi dalam jumlah kecil," kata Bahdar di Jakarta Pusat, Selasa (28/6).

Baca Juga: Ke Amerika Mau Vaksin, Meninggal Tragis Tertimpa Kondominium Ambruk

Bahdar mengatakan modus pelaku umumnya menjual vaksin yang melewati masa kadaluarsa. BPOM memperingatkan kasus itu sejak 2013, setelah mereka menerima laporan dari perusahaan Glaxo Smith Kline.

Perusahaan melaporkan adanya pemalsuan produk vaksin merek Glaxo Smith Kline yang dilakukan dua sarana pelayanan kesehatan, yang tidak berwenang melakukan praktek kefarmasian. "Tindak lanjutnya, satu sarana terbukti mengedarkan vaksin ilegal," ujar Bahdar.

Kemudian, pada 2014, Bahdar menjelaskan, BPOM telah menghentikan sementara kegiatan pedagang besar farmasi resmi, yang terlibat menyalurkan produk vaksin ke sarana pelayanan kesehatan ilegal. Tempat itu diduga menjadi sumber masuknya produk .

Baca Juga: Kadinkes Jatim Jenguk 6 Balita di Pamekasan yang Dikira Korban Vaksin Palsu

Setahun setelahnya, BPOM kembali menemukan kasus serupa. Produk vaksin ilegal ditemukan di beberapa rumah sakit di daerah Serang. Sampai saat ini, menurut Bahdar, kasus tersebut dalam proses ditindak secara hukum.

Sedangkan tahun ini, BPOM dan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menerima laporan dari PT Sanofi-Aventis Indonesia terkait dengan adanya peredaran produk vaksin Sanofi yang dipalsukan. Bahdar mengaku sudah menelusurinya ke sarana distribusi yang diduga menjadi penyalur. Hasilnya, CV AM, terduga pemalsu menggunakan alamat fiktif.

Sejak 2008, Bahdar mengaku sudah menindak sesuai dengan kewenangan BPOM. Menurut dia, temuan kali ini murni kejadian kriminal karena para pelakunya tidak bertanggung jawab. "Kami dari BPOM prihatin. Kami kecewa terhadap perbuatan kriminal yang masuk ke ranah bayi," ucapnya.

Baca Juga: 6 Balita Gatal-gatal Usai Diimunisasi, Orang Tua Khawatirkan Diberi Vaksi Palsu

Hingga kemarin, BPOM terus berkoordinasi aktif dengan Bareskrim Polri dan Kementerian Kesehatan (Kemkes) untuk mengidentifikasi keaslian dan menelusuri peredaran serta para pelakunya. Dari hasil laporan sementara vaksin yang diduga palsu tersebut berasal dari 28 sarana pelayanan kesehatan.

Fasilitas kesehatan tersebut tersebar di sembilan wilayah, yaitu Pekanbaru, Serang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, Mataram, Palu, Surabaya, dan Batam.

"Vaksin palsu di 28 sarana kesehatan itu berdasarkan laporan dari 27 Balai Besar dan Balai POM di 27 provinsi. Untuk saat ini vaksin tersebut sudah diamankan," kata Bahdar Johan Hamid.

Baca Juga: Vaksin Ulang Tak Selesaikan Masalah, Korban Vaksin Palsu Gelar Aksi

Ada pun produk vaksin yang dipalsukan berasal dari PT Biofarma, PT Sanofi Grup, PT Glaxo Smith Kline (GSK). Vaksin palsu tersebut terdiri dari 12 jenis, yaitu vaksin Engerix B, vaksin Pediacel, vaksin Eruvax B, vaksin Tripacel, vaksin PPDRT23, vaksin Penta-Bio, vaksin TT, vaksin Campak, vaksin Hepatitis B, vaksin Polio bOPV, vaksin BCG, dan vaksin Harvix.

"Badan POM aktif melakukan koordinasi untuk mengetahui keaslian kandungan produk yang diduga palsu," kata Bahdar.

Menurut Bahdar, vaksin dari 28 sarana tersebut masih dalam pengujian, sehingga belum diketahui keaslian kandungannya. Adanya dugaan palsu karena harga beli vaksin oleh sarana tersebut dilaporkan sangat murah.

Baca Juga: Vaksin Palsu Sebabkan Anak Rentan Sakit, DPR Telusuri Dugaan Gratifikasi Dokter

Menurut Bahdar, selisih harga antara dengan yang dijual resmi cukup lebar. Misalnya, vaksin Pediacel dengan harga resmi sekitar Rp 800.000 sampai Rp 900.000, sedangkan palsunya dijual sekitar Rp 300.000-an.

"Dengan harga miring seperti ini, sarana kesehatan yang waras sudah seharusnya sudah bisa mencurigai adanya pemalsuan. Harusnya dia (sarana kesehatan-red) beli di sarana resmi," kata Bahdar.

Bahdar mengatakan, Badan POM hanya berwewenang untuk mencegah jangan sampai vaksin tersebut menyebar lebih luas. Sedangkan untuk sanksi terhadap sarana tersebut merupakan kewenangan Dinas Kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan, dan kepolisian.

Baca Juga: Vaksin Palsu Diduga Beredar di Jatim, Dewan: Menkes Harus Beber Faskes Pengguna

Bila sarana kesehatan tersebut terbukti sebagai penjual atau penadah, maka murni sebagai tindak kriminal.

"Kalau umpamanya kesalahan sarana kesehatan hanya membeli di jalur tidak resmi, mungkin hanya dikasih teguran atau sanksi administrasi. Tapi dengan kondisi sekarang, kemungkinan sebagai pelaku atau penadah, berarti sudah masuk kriminal," kata Bahdar.

Sementara Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengaku setuju apabila pelaku pemalsu vaksin dihukum mati. Sebab, perbuatan para pelaku sudah mengancam keselamatan banyak anak dan balita.

Baca Juga: Kasus Vaksin Palsu: Ratusan Warga Mengamuk di RS Harapan Bunda, 23 Orang jadi Tersangka

"Kalau sampai merusak generasi kita, pantas menurut saya (dihukum mati)," kata Nila di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian di Jakarta, Selasa (28/6/2016).

Nila mengatakan, anak balita yang menggunakan otomatis keselamatannya akan terancam. Sebab, yang sudah dicampur dengan gentacimin tidak akan berefek apa pun bagi kekebalan tubuh.

Nila menambahkan, dengan terungkapnya sindikat pemalsu vaksin ini, Kementerian Kesehatan akan mengadakan vaksinasi ulang untuk mengecek balita yang terkena dampaknya. Vaksinasi ulang ini, tambah dia, bisa dilakukan tanpa dipungut biaya.

Baca Juga: Menkes Beber 14 RS Penedar Vaksin Palsu, DPR: Copot Dirutnya!

"Kita periksa kekebalan tubuhnya ada (vaksin) atau tidak. Kalau tidak ada, ya kita berikan vaksin," ucap Nila. (tic/det/mer/lan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO