
JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Puluhan orangtua yang pernah memvaksikan anaknya di RS Harapan Bunda, Jakarta Timur, menggelar aksi solidaritas pada Rabu (20/7). Aksi tersebut dilakukan sambil membawa berbagai spanduk sindiran terhadap pihak rumah sakit.
"Kami bukan produk coba-coba, kami punya nyawa", "Apa jawaban setelah ini", "Bayar vaksin asli dapat KW", demikian antara lain bunyi spanduk tersebut.
Salah satu orangtua yang pernah memvaksin anaknya di rumah sakit itu, yaitu Dian, mengatakan, khawatir dengan kesehatan anaknya. Ia berharap ada tanggung jawab pihak RS untuk melakukan medical chek up terhadap anak-anak penerima vaksin di RS tersebut.
"Tanggung jawab medical chek up, agar jelas apa saja yang masuk ke tubuh anak kami, dan apa saja vaksinnya," kata Dian saat memberikan pernyataan di lokasi aksi.
Dia melanjutkan, anaknya mendapat vaksin dari RS tersebut pada Maret 2016. Pembelian vaksin melalui jalur perawat.
RS Harapan Bunda mengakui, vaksin palsu di rumah sakit itu beredar pada periode Maret-Juni 2016 dan yang dibeli melalui jalur perawat.
Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma mengatakan, aksi solidaritas itu dilakukan pihak orang tua pasien bersama YLBHI dan Kontras untuk meminta kejelasan serta tanggung jawab rumah sakit.
"Kami ingin bertemu dengan pihak rumah sakit untuk melakukan tindakan medis secara jelas, untuk anak-anak dari orangtua pasien yang menuntut pertanggungjawaban," kata Alvon.
Seharusnya, kata Alvon, pihak RS memberikan penjelasan bagi para korban termasuk jaminan kesehatan akibat vaksin palsu. Pihak RS juga diminta terbuka soal rekam medis korban. Namun ada kesan rumah sakit tertutup terhadap korban.
Pihak RS juga terkesan menolak posko crisis center yang didirikan warga. "Posko crisis center tidak diberikan tempat yang sesuai dan layak. Apa pantas seorang yang dirugikan dapat tempat seperti ini," kata Alvon.
Di sisi lain, tindakan pemerintah dengan melakukan vaksin ulang terhadap para korban vaksin palsu dinilai tidak serta merta akan mengatasi masalah. Justru para korban vaksin palsu ini seharusnya memperoleh akses informasi medis dari pihak rumah sakit yakni RS Harapan Bunda.
"Respon negara sejauh ini hanya menyederhanakan masalah; mengganti vaksin palsu dengan vaksinasi ulang. Padahal ini bukan masalah hilang permen diganti dengan cokelat," kata Wakil Koordinator KontraS, Puri Kencana Putri.
Puri amat menyayangkan respons pemerintah dan pihak rumah sakit yang menganggap enteng penanganan masalah vaksin palsu. Padahal vaksin palsu merupakan bentuk kejahatan yang melanggar hak dan dijamin dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.
"Kejahatan ini merendahkan kesehatan anak-anak dan mengancam kesehatan mereka di masa depan," urainya.
Menurutnya, para korban vaksin palsu sudah seharusnya bisa memperoleh informasi medis dari RS Harapan Bunda atas pelayanan yang diperoleh selama ini.
"Saya ingin menegaskan bahwa hak atas kesehatan itu bukan hanya vaksin ulang. Hak atas kesehatan itu juga meliputi informasi yang dapat dipercaya," ucapnya.
Di sisi lain, saat ini kepolisian sudah menetapkan 23 orang sebagai tersangka.
Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Agus Rianto mengatakan, kasus vaksin palsu dibagi menjadi empat berkas perkara. Selain itu, dalam minggu ini berkas itu dapat segera dilimpahkan ke Kejaksaan.
"Info dari Satgas, di proses ini menjadikan perkara dalam 4 berkas perkara, ada yang 6 ada yang 4, lalu 8 dan 5. Pak Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus bilang, mudah-mudahan minggu ini bisa dilimpahkan tahap satu ke kejaksaan," kata Agus Rianto.
Bagi Agus, saat ini Kepolisian sedang fokus menyelesaikan berkas perkara vaksin palsu tersebut. "Kami fokus penuntasan berkas, minggu ini dan seterusnya, kami terus telusuri," sambungnya.
Untuk kasus vaksin palsu saat ini, polisi masih belum menetapkan tersangka baru. Dan masih terus menyelidiki dugaan penyebaran ke sembilan Provinsi di Indonesia.
"Itu harus ditelusuri lagi, agar masyarakat tidak dikhawatirkan dengan peredaran vaksin palsu ini," tukasnya.
Sementara pengamat kesehatan dari Universitas Indonesia Agustin Kusmayati menilai, dalam kasus vaksin palsu, dokter dinilai hanya terkena akibat dari masalah dan kelemahan sistem pengawasan obat di sisi hulu. Sedangkan peristiwa dokter menyuntikkan vaksin ke pasiennya berada di sisi hilir.
"Masalah yang terlihat di sebelah hilir, padahal akarnya ada di hulu. Banyak sekali masalahnya dan menyangkut banyak pihak atau sektor," katanya.
Hal serupa terjadi pada sistem pengawasan obat dan makanan. Jika output yang diinginkan adalah terawasinya makanan dan obat yang beredar di Indonesia, maka harus dibangun rangkaian prosesnya. Lalu harus juga disediakan seluruh input yang dibutuhkan untuk menjalankan proses tersebut.
Agustin berpandangan, Indonesia memiliki kelemahan baik pada proses maupun input-nya. "Jadi keseluruhan bangunan sistemnya menjadi tidak kuat. Banyak celah dan mudah diterobos," kata dia.
Menurut Agustin, tidak adil jika publik menimpakan kesalahan hanya kepada dokter dan rumah sakit yang secara tidak sengaja menggunakan vaksin palsu. Bisa jadi rumah sakit atau dokter melakukan kesalahan dalam proses pengadaan vaksin sehingga terjebak pada penggunaan vaksin palsu.(rol/mer/tic/lan)