JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Distribusi vaksin palsu di daerah dilacak oleh tim dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Dari hasil penyelidikan itu ada 37 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang tersebar di sembilan daerah yang diduga kuat menggunakan vaksin abal-abal lantaran mereka mendapatkan vaksin dari sumber tidak resmi.
Sembilan daerah itu antara lain Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, Serang, Bandung, Surabaya, Pangkal Pinang, Batam, dan DKI Jakarta.
Baca Juga: Ke Amerika Mau Vaksin, Meninggal Tragis Tertimpa Kondominium Ambruk
BPOM masih belum mau mengungkap jumlah fasyankes di masing-masing kota dan provinsi itu lantaran masih dalam penelitian lebih lanjut.
Direktur Pengawasan Distribusi Obat BPOM Arustiono menuturkan dari 37 fasyankes itu mereka mendapatkan 39 jenis sampel uji. Hingga kini mereka baru bisa memastikan lima sampel. Empat sampel vaksin yang dipastikan palsu. Selain itu satu sampel lain sejak awal dipastikan palsu karena labelnya tidak sesuai.
”Sebanyak 39 sampel itu kami anggap cukup representatif. Sampel lain masih kami teliti,” ujar Arustono usai rapat koordinasi satuan tugas penanggulangan vaksin palsu di kantor Kementerian Kesehatan, Jalan Rasuna Said Jakarta.
Baca Juga: Kadinkes Jatim Jenguk 6 Balita di Pamekasan yang Dikira Korban Vaksin Palsu
Penanganan vaksin palsu itu melibatkan pula Kemenkes dan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Saleh Partaonan Daulay, mendesak Kementerian Kesehatan mengungkap seluruh fasilitas kesehatan yang diduga mendistribusikan vaksin palsu.
“Saya minta hari ini diungkap,” katanya di gedung DPR, Rabu (13/7).
Baca Juga: 6 Balita Gatal-gatal Usai Diimunisasi, Orang Tua Khawatirkan Diberi Vaksi Palsu
Sebelumnya, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menyebutkan 14 rumah sakit disinyalir mendistribusikan vaksin palsu. Namun, hingga saat ini, Bareskrim dan pemerintah masih enggan menyebutkan secara konkret nama-nama rumah sakit yang diduga menyebarkan vaksin palsu itu.
Menurut Saleh, sikap pemerintah yang enggan menyebutkan secara jelas hanya akan menimbulkan prasangka buruk di masyarakat. “Nama lembaga ditutup-tutupi, seakan-akan dilindungi,” tuturnya.
Selain itu, Saleh mendesak Kementerian Kesehatan menyebutkan kandungan vaksin palsu secara jelas. Jaringan vaksin palsu pun harus diungkap secara detail, mengingat kasus vaksin palsu terjadi sejak 2003. Ia meminta pemerintah perlu menyebutkan titik sentral dari jaringan vaksin palsu.
Baca Juga: Vaksin Ulang Tak Selesaikan Masalah, Korban Vaksin Palsu Gelar Aksi
Saleh melihat fenomena vaksin palsu sangat ironis dengan anggaran vaksin yang ada di Kementerian Kesehatan. Ia menyebutkan anggaran untuk pengadaan vaksin cukup besar, mencapai Rp 1,2 triliun. “Kok masih ada vaksin palsu?” ucapnya.
DPR berencana membentuk panitia kerja dan panitia khusus untuk menangani persoalan vaksin palsu. Saleh mengatakan persoalan vaksin tidak bisa dianggap sepele. Menurut dia, hal itu tidak cukup hanya dengan melakukan vaksinasi ulang tanpa menjerat dengan tegas pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan vaksin palsu.
Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Agung Setya mengatakan saat ini ada 14 rumah sakit yang disinyalir menggunakan vaksin palsu. Menurut dia, penyidikan yang dilakukan terhadap 14 rumah sakit tersebut berkaitan dengan produksi hingga distribusi vaksin palsu.
Baca Juga: Vaksin Palsu Sebabkan Anak Rentan Sakit, DPR Telusuri Dugaan Gratifikasi Dokter
Agung memastikan 14 rumah sakit tersebut berstatus swasta. “Yang jelas tidak ada rumah sakit dari pemerintah,” katanya di kantor Kementerian Kesehatan Jakarta, Selasa, 12 Juli 2016.
Agung masih enggan menyebutkan 14 rumah sakit yang disinyalir menggunakan vaksin palsu. Ia juga belum mengungkapkan lokasi rumah sakit tersebut, apakah di Jakarta maupun di luar Ibu Kota. Ia berharap dengan menyodorkan data 14 rumah sakit itu, satuan tugas penanggulangan vaksin palsu bisa memberikan langkah konkret.
Hingga kini polisi terus berkoordinasi dengan pemerintah dalam penyidikan rumah sakit yang diduga memakai vaksin palsu. Menurut Agung, ada dua pokok penting dalam temuan 14 rumah sakit itu, yaitu kepentingan kepolisian dalam penyidikan dan keperluan tindakan kemanusiaan yang dilakukan Kementerian Kesehatan.
Baca Juga: Vaksin Palsu Diduga Beredar di Jatim, Dewan: Menkes Harus Beber Faskes Pengguna
Belasan rumah sakit tersebut diduga memperoleh vaksin palsu dari para pelaku. Polisi menduga ada peran distributor sehingga vaksin palsu sampai di tangan ke-14 rumah sakit itu. Namun hingga saat ini Bareskrim baru menetapkan 18 orang sebagai tersangka kasus vaksin palsu.
Di sisi lain, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Maura Linda Sitanggang, mengatakan identitas 14 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang diduga kuat menerima vaksin palsu belum dapat diungkapkan. Jika diungkapkan, hal tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu proses penyidikan polisi.
"Jadi bukan karena belum ada identitas atau identitasnya belum pasti, hanya saja memang masih belum dapat diungkapkan karena kepentingan penyidikan," tegas Maura ketika di Gedung DPR, Rabu (13/7).
Baca Juga: Kasus Vaksin Palsu: Ratusan Warga Mengamuk di RS Harapan Bunda, 23 Orang jadi Tersangka
Untuk saat ini, Kemenkes hanya dapat memberikan keterangan tentang klinik kesehatan Bidan Melly di Ciracas, Jakarta Timur. Bidan Melly yang saat ini ditahan oleh Bareskrim Mabes Polri telah ditetapkan sebagai tersangka yang terlibat peredaran vaksin palsu. Informasi mengenai dirinya dapat diungkap karena proses penyidikan telah selesai.
Lebih lanjut Maura memaparkan, 37 fasyankes yang berada di sembilan provinsi saat ini telah mendapat sanksi administrasi akibat memperoleh vaksin dari sumber tidak resmi. Selain mendapatkan surat peringatan, 37 fasyankes juga wajib melaporkan vaksin dan sumber vaksin, membuat laporan khusus tentang penggunaan sampai pemusnahan vaksin serta memaparkan SOP yang menjamin tidak ada peluang vaksin palsu kembali masuk.
Dalam dengar pendapat di ruang rapat Komisi IX DPR, Gedung DPR, Jakarta, kemarin, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dituntut menyampaikan permintaan maaf terkait vaksin palsu. Hal itu disampaikan Anggota Komisi IX DPR Robert Rouw.
Baca Juga: Menkes Beber 14 RS Penedar Vaksin Palsu, DPR: Copot Dirutnya!
"Tidak ada kata maaf dari pemerintah. Ini kejadian luar biasa, generasi penerus kita diberikan imunisasi abal-abal. Harus ada pernyataan pemerintah minta maaf," kata Robert.
Politikus Gerindra itu membandingkan dengan kemacetan di Tol Brebes saat mudik lebaran. Di mana, pemerintah awalnya membantah jatuhnya korban jiwa bukan karena kemacetan.
Namun, kata Robert, saat media mempublikasikan surat terbuka dari keluarga korban maka Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan permohonan maaf.
"Kemarin soal tol, wapres berikan statement. Tetapi kejadian ini yang korbannya bayi tak berdosa, tapi tak ada permohonan maaf. Ini di mana tanggungjawabnya?" tanyanya.
Robert mengatakan BPOM dan Menkes seharusnya mengusut kembali peredaran obat palsu yang beredar di pasaran. Selain itu, Robert juga menyarankan adanya standarisasi harga obat antibiotik.
"Kalau harga di bawah standar ya itu palsu. Kalau di Papua lebih murah dari Jakarta enggak masuk akal juga. Ini orang sakit rentan, masyarakat keci masih mencari yang termurah," tuturnya.(mer/tic/yah/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News