Oleh: M Mas'ud Adnan
Pengaruh Jokowi yang semakin kuat membuat beberapa parpol berebut memajang gambar Jokowi sebagai ikon politik. Teranyar Golkar memajang gambar Jokowi sebagai ikon politik –terutama dalam pilkada - sehingga PDIP dan partai lain ”kebakaran jenggot”. Konstruksi kekuatan politik Jokowi ini ditopang figur Luhut Binsar Panjaitan dan Ahok sebagai “operator”. Saya kira trio aktor politik ini bakal makin kuat jika kelak menjelma dalam konstruksi kekuasaan formal yang “pas”. Misalnya Jokowi jadi presiden, Luhut wapres dan Ahok manteri utama (meski perlu UU baru untuk ini).
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Saya kira semua orang mafhum bahwa Luhut Binsar Panjaitan mewakili atau represenstasi Kristen fanatik yang – suka atau tak suka – merupakan the real power di Indonesia. Beberapa kiai mengaku pernah mendapat “silaturahim” Luhut. Bahkan Luhut disebut-sebut sukses “mengegolkan” kandidat ketua partai maupun ketua ormas – termasuk ormas Islam besar - dalam perebutan ketua umum di muktamar dan munas.
Sedang Ahok mewakili etnis Cina. Jamak diketahui bahwa etnis Cina menguasai 80 persen perekonomian Indonesia. Ahok selama ini popular sebagai gubernur DKI Jakarta yang cenderung memback up kelas menengah ke atas yang tak lain etnis Cina.
Baik Kristen maupun Cina di Indonesia adalah the real powers terutama sejak Orde Baru (lihat dokumen-dokumen terkait CSIS).CSIS yang dimotori kelompok etnis Cina dan Kristen ini kabarnya eksis kembali di belakang Jokowi. Jadi wajah Indonesia tak lepas dari variasi Kristen dan Cina, apalagi sejak Orde Baru mereka merupakan kekuatan dominan hingga kini.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Banyak kalangan menyebut bahwa relasi politik Jokowi dengan Luhut dan Ahok tidak semata relasi kekuasaan, tapi juga bisnis. Ini mudah dipahami karena politik di Indonesia memang jumbuh, antara politik dan bisnis. Apalagi latar belakang Jokowi memang pengusaha. Begitu juga Luhut. Beberapa pihak menyebut bahwa Luhut yang berback round militer (ia mengaku pengagum LB Moerdani, seorang jenderal yang menjadi kekuatan utama kelompok Kristen pada Orde Baru) disebut-sebut punya saham di banyak perusahaan.
Sikap Jokowi terbaca jelas ketika mencopot Rizal Ramli dari posisinya sebagai menteri kordinator bidang kemaritiman. Rizal Ramli yang dikenal orang dekat Gus Dur itu sangat gigih menentang reklamasi Teluk Jakarta karena dianggap merugikan rakyat Indonesia - terutama nelayan miskin, tapi sangat menguntungkan para pengembang terutama etnis Cina. Reklamasi ini memang disebut-sebut "proyek" besar Ahok.
Apalagi Jokowi kemudian menunjuk Luhut sebagai menteri koordinator bidang kemaritiman. Luhut bahkan langsung mengisyaratkan membela Ahok, yakni meneruskan reklamasi teluk Jakarta, meski banyak yang menentang.
Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran
Sementara Jokowi tentu mewakili wajah "Indonesia melayu”. Saya sengaja tak menyebut Jokowi sebagai representasi Islam – meski ia beragama Islam - karena pasti banyak yang protes. Apalagi faktanya Jokowi bukan tokoh Islam, baik sebagai aktivis pergerakan Islam maupun intelektual Islam. Sebelum jadi presiden publik juga tak mengidentikkan Jokowi sebagai tokoh Islam seperti Gus Dur, Cak Nur, Syafi'i Ma'arif atau yang lain. Jokowi justeru dikenal sebagai pengusaha mebel. Jadi jelas, kini trio aktor politik inilah yang meng-"hitam-putih"-kan Indonesia. Kini kita tinggal melihat, apakah akrobat politik trio aktor politik ini akan berjalan mulus atau justeru sebaliknya.
Lalu mana representasi Islam? Sulit menjelaskan. Karena faktanya Islam tak pernah bersatu sehingga tak bisa diklaim dalam representasi figur atau perorangan.
Demikianlah, komposisi Jokowi-Luhut-Ahok ini merupakan representasi realitas politik Indonesia kini dan mungkin juga masa depan. Entah lagi kalau tiba-tiba ada badai politik yang mengharuskan mereka turun panggung.
Baca Juga: Di Banyuwangi, Khofifah Ucapkan Selamat untuk Prabowo dan Gibran
Dalam kontek ini kita tak bisa bicara lagi SARA.
Silakan Anda tak setuju, tapi inilah the real powers…! Faktanya tokoh-tokoh lain - di luar trio aktor politik itu - hanyalah figuran.....! Bahkan banyak yang hanya bisa "nempel" dan memanfaatkan trio aktor politik itu - terutama pada Jokowi sebagai ikon dan "gandholan politik" !
M Mas'ud Adnan, direktur HARIAN BANGSA, alumnus Pondok Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Unair
Baca Juga: Di Penghujung Jabatan Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Gebuki Mafia Tanah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News