Tafsir An-Nahl 99-100: Sementara, Syetan Unggul di DKI Jakarta

Tafsir An-Nahl 99-100: Sementara, Syetan Unggul di DKI Jakarta

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Innahu laysa lahu sulthaanun ‘alaa alladziina aamanuu wa’alaa rabbihim yatawakkaluuna. Innamaa sulthaanuhu ‘alaa alladziina yatawallawnahu waalladziina hum bihi musyrikuuna.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Ayat kaji sebelumnya bertutur soal perintah mengusir syetan dari ruang ibadah membaca al-Qur'an. Ruangan itu, suasana itu, jiwa itu harus lebih dahulu steril dari seluruh elemen persyetanan agar pembacaan al-Qur'an berjalan sesuai yang diinginkan Tuhan. Lalu pembacanya menjadi terenyuh dan tersenyum dalam suasana religius berbalut kalamullah yang suci, lalu menjadilah jiwa itu makin suci setelah disucikan oleh Kalam yang suci.

Ayat ini ibarat implementasi dari pesan ayat sebelumnya terkait orang-orang beriman. Bahwa syetan tidak boleh ada menguasai orang-orang beriman dalam bidang apapun. (innahu lais lah sulthan 'ala al-ladzin amanu). Dengan kata lain, orang beriman sama sekali tidak boleh menggunakan referensi syetan dalam bidang apapun. Sebab arahan syetan pastilah buruk menurut pandangan Tuhan. Tidak boleh ada arahan syetan yang masuk dalam teologi, tidak dalam pendidikan, ekonomi, kebudayaan apalagi politik. Semua tindakan orang beriman harus merujuk kepada-Nya, "wa 'ala Rabbihim yatawakkalun".

Ayat selanjutnya (100) menyatakan, bahwa syetan hanya bisa menguasai para cecunguknya saja (innama sulthanuh 'ala al-ladzin yatawallawnah) dan juga pada orang-orang musyrik, kafir, munafik, murtad dan sebangsanya (..wa al-ladzin hum bih musyrikun).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Artinya, jika seorang muslim tidak lagi menggunakan keislaman sebagai acuan utama dalam berpolitik, dalam memilih pemimpin, dalam memilih pejabat publik, maka dia pasti bukan orang beriman sungguhan. Jika seorang muslim tidak rela ekonomi, pemberitaan, pendidikan, kebudayaan dikuasai nonmuslim, maka tandanya dia muslim sungguhan. Hal itu karena masih ada ketidakrelaan di hatinya dikuasi nonmuslim, meski kurang berdaya. Lalu berupaya bangkit dan merebut dengan sekuat tenaga. Itulah yang disebut dengan "ghirah" keimanan.

Di negeri ini, keimanan sebagian umat islam terpuruk dalam nafsu kekuasaan, sehingga demi elektabilitas partai, keimanan disingkirkan, tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam berpolitik. Terlihat betapa banyak orang islam yang mendukung calon kepala daerah yang nyata-nyata non muslim dan nyata-nyata dilarang Tuhan. Tapi larangan Allah SWT tidak digubris, sementara nasehat syetan justeru yang dipakai.

Syetan telah berhasil memisah-misahkan antara masjid dengan pendopo. Syetan telah berhasil mencekoki juru bicaranya agar masjid, agama, al-Qur'an, al-Hadis tidak dibawa-bawa dalam kancah politik. Itu sama halnya dengan tidak boleh berpolitik atas dasar agama. Sungguh terdengar sebagai pernyataan yang manis demi menjaga kemurnian agama, tetapi sejatinya beracun, jahat dan sangat menjerumuskan. Ketahuilah, dengan dasar agama, dengan Allah SWT dan Rasul-Nya sebagai dasar berpolitik, maka politik syetan akan gagal dan hancur berantakan. Dengan tidak membawa serta Allah SWT ke gelanggang kekuasaan, maka syetan bebas beraksi menipu kroninya yang lemah iman.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Sadarlah, para nonmuslim itu sungguh merapatkan barisan dan menyatukan suara demi mensukseskan tujuan merebut kekuasaan. Dari gereja ke gereja, dari lembaga ke lembaga, dari tokoh ke tokoh, dari pendeta ke pendeta, dari bisik ke bisik mereka membangun kekuatan ke dalam, rapi dan sitematis. Sementara ke luar, mereka bermanis-manis dengan orang-orang islam yang lemah imannya, yang mudah dirayu dan mudah dibeli. Inilah yang luput dari pemikiran kawan-kawan aktivis yang sok moderat, sok toleran. Sekali lagi, ayat studi ini mengingatkan, bahwa umat islam tidak boleh dikuasai syetan dan kroninya. "innah lais lah sulthan 'ala al-ladzin amanu".

Soal pemimpin, negeri ini tidak kekurangan pemimpin muslim, bahkan banyak. Tapi harus diakui, bahwa dalam hal elektabilitas dan nilai jual di publik pemilih sangat mungkin ada yang kalah dibanding dengan calon pemimpin yang nonmuslim. Nah, jika terjadi pertarungan demikian, justru di sinilah seninya orang beriman, di sinilah ujian bagi keimanan kita. Masih berfungsikah iman kita ketika berada di gelanggang kekuasaan?.

Kecuali keadaan krisis dan sangat darurat, di mana calon kepala daerah tidak ada lagi dari kalangan umat islam yang patut, hanya dari nonmuslim yang sudah jelas jujur dan terbukti adil, maka secara terpaksa dibolehkan memilih pemimpin non muslim macam itu. Jika hanya persepsi dan dalam tanda kutip imbang-imbang saja atau masing-masing punya plus-minus, maka bagi umat islam wajib memilih pemimpin muslim. Satu kata, yaitu wajib dan tidak bisa ada alternatif lain. Begitulah keputusan agama seperti tersurat dalam firman suci.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO