Gara-gara Tapioka Vietnam, Harga Ketela Jatuh, Petani Pacitan Terancam Bangkrut

Gara-gara Tapioka Vietnam, Harga Ketela Jatuh, Petani Pacitan Terancam Bangkrut

PACITAN, BANGSAONLINE.com - Para petani ketela di Kabupaten Pacitan, terancam kolaps. Betapa tidak, hasil panenan mereka banyak yang membusuk lantaran tak laku terjual. Menurut Sukatno, ‎salah seorang petani ketela di Pacitan, harga ketela pohon terjun bebas.

Semula, untuk satu kilogram (kg) ketela pohon, petani bisa menjual seharga Rp 1.500. Namun belakangan, harga semakin anjlok. "Semula pabrik tapioka di Desa Klerong, Kecamatan Jati Puro, Kabupaten Karang Anyar, Jateng, biasa menerima ketela Pacitan seharga Rp 1.500/kg. Akan tetapi saat ini hanya dihargai Rp 650/kg," keluhnya, Senin (14/11).

Selain harga beli pabrik yang ‎semakin jatuh, harga di tingkat pengepul, tentu juga semakin turun. "Saat ini pengepul hanya menerima panenan ketela petani seharga Rp 500/kg," tuturnya pada wartawan.

Lebih lanjut, pria 46 tahun ini mengatakan, jatuhnya harga ketela lebih dipengaruhi adanya kebijakan impor tepung tapioka dari Vietnam. Selain harganya lebih murah ketimbang produkan lokal, dari sisi kualitas juga lebih bagus. "Tepungnya lebih putih, bila dibandingkan tepung tapioka lokalan. Hal tersebut yang menyebabkan pabrik mengurangi produksinya," jelas dia.

Sementara itu Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Sekkab Pacitan, Joni Maryono, mengatakan, pemerintah di level kabupaten tak bisa berbuat lebih terkait anjloknya harga ketela. Sebab hal tersebut sangat berkait erat dengan hukum pasar. Selain itu, lanjut dia, kasus tersebut berlaku secara nasional.

"Kami yang di daerah hanya sebatas memantau. Namun tak bisa berbuat apa-apa, sebab sepenuhnya‎ berlaku hukum pasar," timpal Joni, di tempat terpisah.

Meski begitu, mantan Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) ini menginginkan, agar petani segera responsif terhadap dinamika pasar yang seperti itu. Artinya, petani sebaiknya mengurangi luas area tanam ketela, dan mengganti dengan komoditas lain yang lebih prospektif. "Sebaiknya petani beralih ke tanaman lain yang lebih menguntungkan," tukas dia. (yun/ns)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO