Tafsir An-Nahl 99-100: Dulu, NU Mengharamkan Shalati Koruptor, Sekarang?

Tafsir An-Nahl 99-100: Dulu, NU Mengharamkan Shalati Koruptor, Sekarang?

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - Innahu laysa lahu sulthaanun ‘alaa alladziina aamanuu wa’alaa rabbihim yatawakkaluuna. Innamaa sulthaanuhu ‘alaa alladziina yatawallawnahu waalladziina hum bihi musyrikuuna.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Al-Imam Fakhruddin al-Razy, penulis al-Tafsir al-Kabir, selain dipuji, juga dicaci. Karena tafsirannya melebar ke mana-aman, muncul komentar sinis "fih kull syai' illa al-tafsir". Maksudnya, bahwa dalam kitab al-Tafsir al-Kabir itu bahasan apa saja ada, kecuali tafsir itu sendiri. Namanya kementar, itu sah-sah saja. Terserah dari sudut mana seseorang memandang wilayah bertafsir, mau satu sisi atau banyak sisi. Karena gaya tafsir ini Aktual, maka bahasannya pasti melebar, mengikuti konteksnya.

Pesan ayat 99 dan 100 al-Nahl sungguh universal. Betapa di sana dijelaskan soal kesultanan (kekuatan) Syetan yang tidak mampu menembus orang-orang beriman, karena mereka ada dalam perlindungan Allah SWT, sehingga semua tindakannya selalu dalam bimbingan Tuhan (99). Syetan hanya mampu mengendalikan aktivitas rekanannya saja, sehingga budak syetan itu mudah dijerumuskan (100). Dari topik hamba Tuhan dan hamba Syetan ini, tafsir bisa melebar mengaktualkan diri, termasuk menyorot Hari Santri, petinggi NU, dukun penipu dan lain-lain.

Mau menyorot petinggi NU misalnya, ternyata perilaku kiainya, apalagi pengurusnya tidak sama. Ada yang shalih dan betul-betul berpegang teguh kepada amanah keulamaaan, sehingga berkarakter sebagaimana mestinya pewaris Nabi. Mereka itulah yang termasuk dalam sindir ayat 99. Mereka tidak mau dibeli oleh broker politik, sehingga kebebasannya tersandera. Sikapnya tegas dan berani berkata benar serta sangat siap menanggung resiko, termasuk dicoret dalam kepengurusan. Tidak apa-apa.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Ada juga yang menjadikan NU sebagai alat pemuas nafsu politiknya, sehingga tega berbuat sefasiq apa, yang penting tujuannya goal. Orientasi besar kelompok ini adalah kepentingan duniawi yang dibungkus dengan ritual politik ke-NU-an. Komunitas ini masuk dalam sindir ayat 100 dan syetan adalah penasesatnya.

Di sudut lain ada sosok kiai yang mendewa. Hobinya bersinggahsana di atas awan dan enggan turun gunung. Maunya ingin bisa diterima oleh semua pihak, maka kata-katanya filosufis dan sebatas pesan moral. Kiai tipe ini tidak mau mengambil resiko. Meskipun sudah tahu kalau umat sangat mendesak dan butuh ketegasan, arahan dan penyelesaian perkara, tetap saja berfatwa mengambang dengan puisi dan kata-kata bijak yang diuntai dengan seribu pemanis.

Ada pezaliman yang nyata terjadi di hadapannya, kiai macam ini cenderung menasehati agar orang yang dizalimi tetap sabar, berlaku santun, jangan anarkis tanpa mencegah tangan orang yang menzalimi sedikit pun. Jadinya, kezaliman terus terjadi tanpa penyelesaian. Sikap macam ini pasti keliru dan sangat tidak proporsional. Itu bukan tindakan ulama yang pewaris Nabi, tapi pewaris Budha. Karena ajaran Budha berfilsafat begini: "Jika pipimu yang kanan ditanpar, maka berikan pipimu yang kiri juga". Yo nyonyor cak!. Sedangkan ajaran Nabi Muhammad SAW tidak demikian. Kita wajib menghentikan tangan-tangan yang berbuat zalim.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Saat warga NU Jakarta membutuhkan fatwa hukum soal pilgub, di mana salah satu calonnya ada yang nonmuslim, kiai tipe ini sebatas memberi nasehat moral, bukan panduan memilih sesuai syariah islam. Padahal yang dibutuhkan adalah keputusan memilih pemimpin sesuai syari'ah islam. Dawuhnya sebatas begini: “Jangan berlebihan bertindak, berlebihan itu zalim, berbuatlah yang santun, jangan saling menghujat, warna putih itu bisa kelihatan, jika ada di antara yang hitam. Bagaiamana bisa terlihat jika semuanya menjadi hitam, dan seterusnya.”

Sekali lagi, jika ada kiai macam ini, ustadz macam ini, maka sesungguhnya dia lebih memerankan diri sebagai budayawan, sebagai artis ketimbang sebagai seorang ulama' yang faqih, pewaris Nabi.

Ya, dia ingin aman dan tidak mau resiko. Ya, dia ingin diterima banyak orang, karena hal itu lebih menguntungkan. Al-Qur'an telah memblow-up potret sikap seperti itu, yaitu ada pada para pendeta tempo dulu. Mereka mengaharap sesuatu dari manusia, sehingga lebih takut kepada sanksi manusia (yakhsyaun al-nas), ketimbang sanksi Tuhan. Makanya, al-qur'an mengoreksi, bahwa ulama itu, selain piawai dan berilmu mendalam, juga takut kepada Allah SWT (yakhsya Allah) dan sama sekali tidak takut kepada manusia.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Dia tidak berani mengambil fatwa tegas, misalnya tidak boleh memilih pemimpin nonmuslim selagi ada pemimpin yang muslim yang mumpuni. Tentu saja syarat nashbul imam yang lain tetap wajib diperhatikan. Hal itu, karena, jika dia berfatwa hukum, maka akan masuk dalam satu kelompok. Akibatnya dijauhi oleh kelompok lain yang tidak sependapat dengan fatwanya. Nah itulah yang dia tidak siap.

Jika ada kiai macam itu, lalu untuk menjadi kiai, apa manfaatnya bagi umat. Ulama itu lentera penerang yang menuntun jalan kebenaran agar umat tidak tersesat. Wajib memberi fatwa hukum yang tegas dan mantap, bukan dengan bait-bait puisi dan lukisan abstrak.

Penulis sangat ingat, bahwa dulu para kiai NU sangat gigih memberantas korupsi. Jiwa mereka bersih dan nurani mereka sensitif, sampai-sampai ada fatwa, bahwa koruptor yang mati tidak usah dishalati. Maksudnya, bukan menelantarkan janazah koruptor begitu saja tanpa dishalati, melainkan tetap dishalati sebagaimana amanat fardhu kifayah, tetapi tidak dianjurkan umat islam lain berpartisipasi shalat janazah atau shaklat gaib untuknya. Cukup keluarga dan orang tertentu saja, yang penting fardhu sudah gugur. Fatwa hukum tersebut menyiratkan makna sebagai berikut :

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Pertama, sebuah refleksi fatwa tingkat tinggi dengan mengedepankan maslahah dan efek jera. Koruptor dipandang sebagai penjahat kelas atas yang menimbulkan dampak negatif yang cukup masif, sehingga ekonomi negara bisa terganggu. Untuk itu, korupsi wajib diberantas secara tuntas dan koruptornya layak untuk dihukum mati setelah memenuhi syarat yang disepakati.

Kedua, kiai-kiai tempo dulu lebih tegas dan berkenan menggunakan kekuatan yang mereka punya. Dalam hal ini adalah kekuatan berfatwa hukum dan memang fatwa itulah wilayahnya, bidangnya, ahlinya yang dimampui. Fatwa itulah kewajiban mereka dan fatwa itulah yang dibutuhkan oleh umat, bukan bersenandung puisi dan berpamer kata-kata mutiara.

Ketiga, kiai-kiai mendasari tugasnya sebagai ulama' sungguh ikhlas dan benar-benar Lillahi ta'ala. Tanpa ada gaji, tanpa ada bergaining politik, malahan menghidupi NU dengan uang kantong pribadinya, bukan memanfaatkan NU untuk memenuhi kantong pribadinya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Itu dulu, tapi sekarang, berkali-kali ada demo dari warga NU sendiri tertuju kepada pribadi seorang pengurus besar yang sudah terindikasi sebagai koruptor, sudah dipanggil KPK, tapi para kiai di sono cenderung diam. Situasi itu mudah dibaca oleh umat nahdliyin sehingga mengerti si A, si B, si C yang korup, bahkan umat juga sudah mengerti mana kiai yang melindungi koruptor, tapi umat masih menaruh hormat, lalu diam dan menunggu.

Mohon petinggi NU peka terhadap ketulusan hasrat warganya yang menginginkan NU bersih. Jangan terus dikutuk dan dituduh, "demo itu ditunggangi, diperalat, sarat dengan kepentingan, dipolitisir dll" terus-menerus.

Harapan umat agar kiai-kiai NU tetap teguh, tegas, tangguh, tulus sebagai pewaris Nabi yang serius kerja amr bi al-ma'ruf and al-nah 'an al-munkar. Harapan umat juga, agar NU eksis sebagai organisasi keagamaan yang bermanfaat bagi islam dan umat islam, bukan sebagai bunker yang aman bagi koruptor.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO